QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Kamis, 12 Januari 2012

Ya Allah, Ampunilah Aku dan Kedua Orangtuaku

       Sore itu, Alvan duduk termenung sendirian di dekat tebing. Tak ada yang ia perbuat selain mencabik-cabik rumput yang sebenarnya sudah tertata rapi. Jari-jemarinya melungking bak singa yang siap menerkam mangsa. Ingin rasanya dirinya terjun melewati tebing dan tenggelam dalam derasnya gelombang air laut yang cukup besar itu. Namun diurungkannya, ia sadar bahwa bunuh diri bukanlah solusi terbaik dalam setiap problem yang menimpa anak adam. Hanyalah penyelesalan di akhir yang akan datang, sebab neraka lah tempat yang pantas diberikan bagi manusia yang frustasi hingga membunuh dirinya sendiri. 
       “Ya Allah! apa yang sedang engkau cobakan untuk hambaMu ini? Siapakah diriku yang sebenarnya ini wahai Tuhan? Apakah diriku ini anak haram? lantas karena tak kuat menahan malu hingga orangtuaku tega membuangku? Tolong jawab ya Allah!!!” 
       Di dekat tebing itulah Alvan bingung memikirkan siapakah jati dirinya. Siapa ayah dan ibunya yang sebenarnya. Hanya tangisan air mata yang menemaninya kala itu. Tak ada yang mendengarkan rintihan hatinya. Kepada Allah lah ia menyandarkan segala keluh kesah yang dideritanya. Alvan pun terlelap dalam lamunan yang menderanya sore itu. Akan tetapi, lamunan itu pun tiba-tiba saja lenyap lantaran terdengar suara menyeruak diantara rerumputan. Suara itu sepertinya merupakan suara yang tidak asing lagi baginya. Lantunan kalimat merdu dari orang yang sudah merawatnya dari kecil sampai sekarang ini. 
       “Alvan, ternyata kamu ada di sini nak. Ibu mencarimu dari tadi” “Kenapa ibu baru sekarang menceritakan peristiwa itu? Aku sedih memikirkannya Bu. Kenapa orang tuaku tega membuangku ke terminal? Orang tua macam apa yang tega membuang anaknya sendiri. Apa sebenarnya salahku? Apa aku ini anak hasil zina? sehingga mereka malu bila harus merawatku?” tanya Alvan dengan air mata yang membasahi pipinya. 
       “Ibu baru menceritakannya sekarang, sebab umurmu sekarang sudah 18 tahun dan ibu rasa kamu sudah cukup dewasa untuk mengetahui kenyataan yang ada. Tapi yang harus kamu pegang, jangan berburuk sangka terlebih dahulu. Bisa jadi yang terjadi adalah hal yang berlainan dengan apa yang kamu pikirkan sekarang” tutur ibu Sumirah. 
       “Berbeda bagaimana maksud ibu?” tanya Alvan dengan mengusap derai air matanya. 
       “Ya mungkin saja orang tuamu sebenarnya sangat mencintai dirimu, tetapi karena suatu sebab hingga menaruhmu di terminal. Tidak semua peristiwa buruk pada hakikatnya buruk nak. Ingat peristiwa Ibu Nabi Musa yang menaruh Musa bayi di sungai Nil? Menghanyutkan bayi di sungai kalau dinalar sungguh sangat keji, tetapi sebenarnya maksud Ibu Musa itu baik, yaitu ingin menyelamatkan Musa dari pembunuhan yang akan dilakukan oleh Fir’aun. Begitulah nak, janganlah anggap jelek orang tuamu sebelum kamu mengerti kejadian yang sesungguhnya. Namun yang paling penting saat ini, dirimu sudah punya keluarga yang sangat menyayangimu. Ada Bapak dan ada pula Ibu yang selalu setia merawatmu dari kecil hingga dewasa seperti sekarang, walaupun ibu dan bapakmu hanyalah penjual koran di terminal” jawab bu Sumirah. 
        Nasihat Bu Sumirah sungguh meredakan kebingungan yang sempat menghujani hatinya. Sekarang ia sudah tidak lagi memikirkan masalah yang menghantuinya itu. Air mata yang tadinya mengucur deras lambat laun semakin hilang. Senyuman dari bibirnya yang merah mulai menghiasi wajahnya. Pandangan mata yang pada mulanya sayup-sayup kini kelihatan segar kembali. Alvan sore itu juga memutuskan pulang ke rumah bersama Bu Sumirah serta melupakan semua memori buruk yang terjadi di masa lalu. Yang terpenting adalah bagaimana menata orientasi hidupnya ke depan. 
        Sesampainya di rumah, Alvan menceritakan keinginan yang dipendamnya sejak dulu pada Bu Sumirah dan Pak Arifin, pasangan yang rela mengasuhnya mulai bayi. Ia berencana meninggalkan Semarang, kota dia menetap sekarang dan merantau ke ibukota Jakarta. Ia mendambakan penghidupan yang lebih baik, sehingga bisa membahagiakan ayah serta ibunya. Walaupun hanya berbekal pengetahuan yang ia dapatkan dari Sekolah Dasar, tetapi ia sudah berbulat tekad berjuang di Jakarta. Ia bukan tanpa pertimbangan. Di lingkungan sekitar rumahnya, ia memang dikenal suka berdagang dan termasuk tipe pekerja keras, pekerjaan apa saja ia lakukan. Misalnya, berjualan koran sebagaimana bapak dan ibunya, berdagang jagung bakar, mainan anak-anak, dan lain sebagainya. Semua itu menjadi modal utamanya ketika bertarung dengan atmosfer baru kota Jakarta. 
        Awalnya, Pak Arifin dan Bu Sumirah tak merelakan kepergian anak yang dulu ditemukan di terminal itu. Meskipun bukan dari darah daging mereka berdua, tetapi Alvan mendapat perhatian dan kasih sayang layaknya anak kandung sendiri. Karena pasangan tersebut tidak memiliki seorang buah hati pun. Oleh karenanya, sangat berat mengizinkan satu-satunya penerang hidup mereka itu pergi menjajal kehidupan baru ke Jakarta, ibukota yang terkenal sangat keras. 
        “Tenang saja Pak, Bu, Alvan tidak akan melakukan perbuatan haram demi keberhasilan dan juga demi sesuap nasi yang masuk ke dalam perut. Bapak, Ibu, Alvan janji akan berlaku jujur dan pantang menyerah dalam menghadapi rintangan yang menghadang. Alvan akan selalu mengingat pesan yang biasa bapak sampaikan, bahwa kejujuran akan membawa keberhasilan” ucap Alvan meyakinkan kedua orang tuanya.
        “Ya, kalau niatmu memang sudah bulat, bapak merestui saja. Bapak hanya memiliki simpanan uang sebesar satu juta. Mudah-mudahan uang ini menjadi wasilah keberhasilanmu kelak di Jakarta. Bapak juga ingin memberikan padamu nomor handpone kenalan bapak yang sekarang tinggal di Jakarta, namanya Rohim. Mungkin kamu bisa bisa tinggal di rumahnya untuk sementara waktu sebelum mendapatkan kontrakan. Orangnya baik, dia dulu sering membantu bapak” kata Pak Arifin. 
        “Ibu juga merestuimu. Ibu hanya bisa mendoakanmu dari sini nak. Semoga Allah akan selalu menjaga dan memberikan pertolongan kepadamu agar selalu berada di jalan-Nya. Ibu juga mau memberikan kalung emas ini padamu. Kalung ini tergantung di lehermu ketika ibu menemukanmu di terminal. Pada mulanya ibu ingin sekali menjual kalung ini, sebab ibu tidak punya uang kala itu. Namun ibu urungkan karena takut kalung itu bermakna bagimu” tambah bu Sumirah seraya mengambil kalung di almari. 
        “Terima kasih Pak, Bu, atas semua kebaikan yang diberikan pada Alvan” ucap Alvan. 
-------- 
        Alvan, anak yang ditemukan Bu Sumirah ketika sedang berjualan koran kini berhasil menginjakkan kakinya di kota Jakarta. Untuk sementara waktu, ia tinggal di rumah sederhana milik Pak Rohim, kenalan bapaknya. Awalnya ia sempat bingung, lewat apa ia memanfaatkan uang pemberian Pak Arifin. Setelah melihat-lihat keadaan sekitar dan juga mempertimbangkan aspek untung ruginya serta meminta saran Pak Rohim, akhirnya ia menginfestasikan uang tersebut untuk berjualan baju di dekat Stasiun Pasar Senen. 
        Setelah menapaki jalan terjal yang penuh dengan batu rintangan, maka jerih payah pertamanya berhasil dengan sukses. Dalam waktu seminggu baju laku terjual habis. Dengan modal yang berlipat-lipat, ia menjual baju lagi dengan kuantitas yang lebih besar. Selang beberapa minggu kemudian, baju yang ia jual ternyata ludes lagi dibeli oleh pembeli. Hal ini pun menjadikannya semakin percaya diri. Maka Alvan pun mencoba melebarkan sayap ke bisnis baru di bidang makanan, berupa warung kecil-kecilan yang menjual ayam dan nasi goreng. Sementara bisnis baju pun diserahkan pada Herman, anak sulung Pak Rohim. 
        Dengan bantuan tambahan modal pinjaman dari Pak Rohim, Alvan pun mulai membuka warung tersebut. Tak disangka juga, warung sederhana itu ramai dengan pengunjung. Maklum, cita rasa yang diberikan oleh racikan tangan Alvan mampu menghipnotis orang, sehingga ingin selalu datang ke warungnya. Ia bersyukur, ternyata seringnya membantu Bu Sukinah, tetangganya di Semarang membawa berkah tersendiri baginya. Laksana seorang ibu, Bu Sukinah inilah yang mengajari Alvan tentang cara mengolah dan memasak nasi serta ayam goreng dengan rasa spesial. 
        Selang lima tahun kemudian, warung sederhana pun berubah menjadi restoran mewah nan megah. Modal pinjaman dari Pak Rohim pun sudah dikembalikan plus tambahannya sebagai hadiah pada beliau. Rumah agak besar sudah ia miliki. Pak Arifin dan Bu Sukinah sudah beralih tinggal di rumahnya. Bahkan sekarang, Pak Rohim, isterinya, serta anak-anaknya juga sudah dipekerjakan di restoran mewah miliknya. Ia tak henti-hentinya mengucapkan kalimat tahmid, Alhamdulillah, sebab Allah selalu mengingatkan dirinya untuk selalu berlaku jujur sehingga kesuksesan selalu menaunginya. 
-------- 
        Di kolong jembatan kota Jakarta, seorang agak tua bernama Suhandi termenung memikirkan nasibnya sekarang ini. Mungkinkah ini balasan atas kejahatan yang diperbuatnya 22 tahun silam? Tak ada yang tahu, kecuali Tuhan. Dulu ia termasuk kalangan elit di kota Malang, tetapi karena sifat buruknya yang suka berjudi, maka seluruh kekayaan serta aset-aset di beberapa perusahaan pun harus melayang. Tak hanya itu, isteri serta dua anaknya pun meninggal selang beberapa hari kemudian karena kecelakaan. Dia hampir gila memikirkan keadaannya kala itu. Namun ia tersadar dan memutuskan merantau ke ibukota. Ia berpikir, mungkin kehidupan yang ia jalani akan kembali lagi manakala ia hijrah dan sukses di sana. 
        Namun realitas yang ada berkata lain. Ia sekarang menjadi pengemis dan gembel yang sering menjadi target buronan patroli polisi. Ia harus tetap siaga supaya tidak tertangkap. Mengemis dan meminta belas kasihan orang lain di jalan-jalan menjadi pekerjaannya sehari-hari. Terkadang juga ia mengemis ke beberapa rumah. Hingga suatu hari ia mengemis di sebuah rumah agak besar bercat pelangi. 
        Di depan rumahnya, karena melihat wajah si pengemis yang agak pucat dan pakaian compang-camping, Alvan pun menjadi iba hatinya dan mengajak si pengemis masuk ke dalam rumahnya. Di sana, Suhandi disuguhi berbagai macam hidangan dan diajak ngobrol. Namun anehnya, Suhandi diam dan hanya mengeluarkan sepatah dua patah kata saja. Sepertinya ada suatu rahasia yang terpendam dalam hatinya, tetapi tak bisa diungkapkan. Bibirnya sulit digerakkan laksana penuh dengan jahitan. Namun akhirnya dengan terbata-bata ia berusaha berbicara. 
        “Anu, e... sebelumnya mohon maaf, wajah anda mengingatkan saya dengan saudara kandung saya di Malang. E... Kalau boleh tahu, anda asli mana?” tanya Suhandi. 
        “Saya asli orang Semarang. Nama saya Alvan. Kenalkan juga, ini bapak dan ibu saya” jawab Alvan. 
        “Anu, e... Sebelumnya mohon maaf sekali lagi kalau perkataan saya kurang ajar. Apakah anda bukan anak kandung mereka berdua? Ehm..., maksud saya, orang tua anda menemukan anda di terminal Semarang dengan tanda kalung emas yang bergelantung di leher anda?” kata Suhandi 
        “Loh, bagaimana anda bisa tahu semuanya??” tanya Alvan dengan penuh tanda tanya. 
        “Tolong maafkan pamanmu ini nak, sebenarnya aku lah yang membuang dirimu dulu ke Semarang karena ingin menguasai harta kedua orangtuamu. Orang tuamu meninggal karena kecelakaan dan kamu termasuk orang yang beruntung sebab bisa selamat dari tabrakan maut itu. Waktu itu usia kamu masih satu tahun. Maafkan paman anakku, paman khilaf dulu. Sekarang paman sudah berubah, sudah bertaubat” kata Suhandi sambil berlutut di hadapan Alvan. 
        Cerita Suhandi layaknya pisau yang mengiris hatinya. Bagaimana tidak, orang yang telah membuang dirinya sekarang berada di depan matanya. Ingin rasanya mencabik-cabik kulit Suhandi sebagaimana ia mencabik rerumputan ketika termenung di dekat tebing dulu. Hanya raut kebencian mendalam yang dipancarkan oleh wajah Alvan kala itu. 
         “Kurang ajar!!! jadi kamu yang telah membuangku ke Semarang karena gila harta. Bukan, kau bukan pamanku, pamanku tidak mungkin membuang keponakannya sendiri!” hardik Alvan. 
        “Maafkan pamanmu ini nak, kalau engkau mau paman rela dihukum atas kejahatan yang dulu paman lakukan” kata Suhandi dengan isak air mata yang meluncur dari matanya. 
        “Keluar!!!!! Jangan injakkan kakimu lagi di rumahku. Najis rasanya kalau ada dirimu!” maki Alvan sambil berdiri dari kursi. 
        Bentakan Alvan dengan penuh kebencian membuat Suhandi ketakutan dan semakin merasa bersalah atas ulah bodohnya dulu. Namun sebelum Suhandi melangkahkan kakinya keluar dari pintu Rumah, buru-buru pak Arifin mendinginkan suasana serta menasehati Alvan. Kata-kata mutiara yang sarat makna pun keluar dari lisan orang yang selama 18 tahun selalu sabar merawatnya itu dan akhirnya menjadikan Alvan bersedia memaafkan pamannya serta menerima Suhandi tinggal di rumahnya. 
        Saat tahajud datang, tetesan air mata keluar dari mata Alvan. Hanya pada Allah lah ia curahkan segala isi hatinya, sebab hanya Ia yang Maha menerima doa. Sambil menghadap kiblat ia panjatkan doa untuk kedua orang tuanya. Semua pertanyaan yang sempat menghujam di otaknya sekarang sudah terjawab sudah. 
        “Ya Allah, ampunilah aku dan kedua orang tuaku, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu kecil. Ampunilah hambamu ini ya Allah, yang sempat berprasangka buruk pada kedua orang tuaku. Aku hanyalah manusia, tempatnya salah dan lupa” ucap Alvan dengan derai air mata di pipinya. 
        *Yang penting bukan faktualitasnya, akan tetapi ibrah yang dapat diambil* 
(Ahmad Muhammad Khalafullah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj