QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Sabtu, 07 Januari 2012

Dualisme Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Sebuah Tindakan Responsif Pergolakan Pemikiran Antar Golongan


A.     Sekilas Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd bernama lengkap Abu al-Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Ia lahir di Cordoba, salah satu kota di Andalusia (Spanyol) pada tahun 1126 M./520 H. ia merupakan keturunan dari keluarga yang ahli dalam ilmu fikih. Ayah dan kakeknya pernah menjabat di Andalusia sebagai kepala pengadilan.[1] Pemikiran Ibnu Rusyd di barat terkenal dengan nama Averoisme. Sedangkan pengikutnya disebut Averroistae.
Filosuf Eropa satu ini lahir pada masa pemerintahan al-Mufarriah yang digulingkan oleh golongan al-Muhadiah di Marrakusy pada tahun 542 H/1147 M., yang menaklukkan kota Cordoba pada tahun 543 H./1148 M. Gerakan al-Muhaddiah dimulai oleh Ibnu Tumart yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi. Dia berupaya meniru golongan-golongan Fatimiyah, yang muncul seabad sebelumnya dan berhasil membentuk kekaisaran di Mesir.[2]
Banyak ilmu yang sudah dipelajari Ibnu Rusyd, semisal matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat, Ibnu Rusyd lebih banyak menelaah dan mengulas pemikiran-pemikiran Aristoteles lewat karya-karyanya. Sehingga ia disebut sebagai “juru ulas” dan dengan sebutan itulah ia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan.[3] Karya-karya Aristoteles inilah yang berpengaruh besar dalam pemikiran-pemikiran Ibnu Rusyd, termasuk filsafat.          
Beberapa karya yang diukir oleh Ibnu Rusyd antara lain, Fashl Maqal,  al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dan Tahafut al-Tahafut. Ketiganya merupakan pandangan-pandangan filosofinya, Bidayatul Mujtahid, buku ini adalah karya yang memuat pendapat-pendapat ulama madzhab tentang problematika yurisprudensi Islam (fikih), Colligent (kulliyah), berisi tentang tata cara pengobatan, dan karya-karyanya yang lain.
B.     Deskripsi Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd[4]
Ibnu Rusyd merupakan seorang filosuf Muslim yang ingin memadukan filsafat dan syariat. Sebab keduanya mempunyai signifikansi dalam ranah keislaman. Menurutnya, filsafat dan syariat terkadang beriringan dan terkadang pula berbeda. Titik kesamaannya bertumpu pada kesamaan metode dan tujuan. Keduannya menggunakan metode demonstratif (burhani) dan sama-sama memiliki tujuan untuk mengetahui Tuhan. Sementara perbedaan yang ada pada keduanya berkisar pada sasaran yang dituju. Filsafat lebih ditujukan pada sebagian kecil masyarakat, akan tetapi syariat diperuntukkan bagi seluruh golongan masyarakat.[5]  
Bertolak pada perbedaan sasaran, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua komunitas. Pertama,  masyarakat terpelajar yang mampu menggunakan akalnya secara maksimal. Kedua, masyarakat awam yang hanya menggunakan kemampuan indrawinya. Perbedaan keduanya ini terletak pada perinciannya, sesuai dengan kemampuan nalar, tabiat, kebiasaan, dan aktifitas pembelajarannya, bukan pada objek pembelajarannya.[6]  
Ibnu Rusyd membagi kategori masyarakat terpelajar berdasarkan kemampuan menggunakan akal menjadi dua cabang, yakni filosuf dan non-filosuf (Hasyawiyah, ahli kalam, dan Sufi). Perbedaan keduanya terletak pada kualitas metodenya. Perbedaan keduanya terletak pada kualitas metodenya. Ibnu Rusyid membagi metode berpikir menjadi dua: 1) metode berpikir non-rasional yang biasanya berbentuk retorika, dan 2) metode berpikir rasional yang terdiri dari dua metode, yakni dialektika dan demonstratif.[7] Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd sebagai seorang filosuf muslim murni menerapkan metode berpikir demonstratif.  
Sebagai seorang filosuf tentunya ia sangat mengunggulkan metode berpikir komunitasnya. Ibnu Rusyd menjelaskan metode retorika hanya diperuntukkan bagi masyarakat awam, sebab mereka hanya mengandalkan kepuasan indrawi semata. Sedangkan dua metode rasional diperuntukkan untuk masyarakat terpelajar yang menggeluti pemikiran rasional. Akan tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, metode demonstratif tetaplah lebih unggul daripada metode dialektika, karena metode dialektika tidak bisa mencapai derajat metode demonstratif. Metode dialektika tidak bisa memuaskan masyarakat awam dan juga tidak bisa juga memuaskan filosuf yang menggeluti metode demonstratif.[8] 
Dalam interpretasinya pada al-Qur’an, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan ayat-ayat al-Qur’an menjadi tiga. Pertama, ayat-ayat tertentu yang hanya memiliki satu makna lahir. Ia cukup dipahami secara lahiriyah dan tidak boleh ditakwilkan. Ada dua hukum yang berkaitan dengan kategori ini. Jika ayat-ayat itu membahas persoalan-persoalan prinsipil dalam syariat, maka tindakan penakwilan dihukumi kafir. Namun jika ayat-ayat yang ditakwilkan itu menyangkut hal-hal non prinsipil dalam syariat, maka ia menghukumi tindakan penakwilan itu sebagai bid’ah.[9] Sebagai contoh untuk persoalan prinsipil adalah tentang iman kepada Allah, kenabian Muhammad, dan keberadaan hari akhir.[10]  
Kedua, ayat-ayat tertentu yang yang mempunyai dua makna, yakni makna lahiriyah dan makna bathiniyah. Ayat-ayat kategori ini wajib ditakwilkan, terutama oleh orang yang menggunakan metode demonstratif. Dia menghukumi kafir terhadap ahli interpretasi demonstratif yang mengartikan ayat (syariat) seperti itu hanya pada aspek lahiriyahnya saja. Sebaliknya, ia menghukumi kafir atau bid’ah bagi mereka yang menakwilkan ayat kategori ini, dan kemudian membeberkannya pada masyarakat awam. Contohnya seperti istiwa’ dan hadis al-Nuzul. [11] Selain itu, dia juga menghukumi kafir bagi masyarakat awam yang menerima hasil takwil.[12] 
Dari kategori ini (dua makna), muncullah tiga kategori wacana al-Qur’an. Pertama, wacana lahiriyah al-Qur’an yang khusus diberikan pada masyarakat awam, seperti ayat tentang istiwa’ dan nuzul Tuhan. Hal ini tidak berarti makna hakikinya terletak pada lahiriahnya, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan orang awam. Sehingga makna hakiki tersebut disimbolkan dengan makna lahiriyahnya. Kedua, wacana bathiniyah al-Qur’an yang khusus diberikan kepada masyarakat terpelajar. Ketika hendak diberikan pada masyarakat awam, ayat-ayat kategori ini harus diberikan dalam bentuk perumpamaan. Misalnya tentang keberadaan Allah sebagai pencipta. Ketiga, wacana bathiniyah al-Qur’an yang diberikan pada masyarakat terpelajar dan awam secara bersama-sama dengan cara menggunakan perumpamaan, seperti ayat yang berbicara tentang keesaan Allah.[13]   
Ketiga, ayat-ayat yang ambigu, yakni ayat-ayat yang berada di antara dua kategori di atas. Kategori ini, menurut Ibnu Rusyd bisa melahirkan ragu di kalangan pemikir, khususnya yang menggeluti metode demonstratif. Sebagian menganggap kategori ini termasuk aspek lahiriyah syariat yang tidak boleh ditakwilkan dan sebagian yang lain menganggap aspek bathiniyah syariat. Oleh sebab itu, Ibnu Rusyd melarang filosuf (ulama) membawanya ke makna lahiriyah. Perbedaan pendapat ini terjadi disebabkan pelik dan samarnya ayat-ayat ketegori ketiga ini. Akan tetapi, jika diantara mereka melakukan kesalahan dalam bidang ini, hal itu bisa dimaafkan. [14] Dalam kategori ini juga, Ibnu Rusyd menghukumi kafir bagi terhadap ahli demonstratif yang membeberkan wacana takwilnya pada masyarakat awam. Bagi masyarakat awam, ia wajib dibawakan pada makna lahiriyahnya. Dia juga menghukumi kafir terhadap masyarakat awam yang menerima wacana takwil tersebut.[15] Contoh dari kategori ini adalah kebangkitan kembali manusia.[16]      
Dalam pandangan Aksin Wijaya, dimensi pemikiran Ibnu Rusyd dalam bidang interpretasi al-Qur’an ini bisa dikategorisasikan menjadi dua bentuk interpretasi, yaitu berbasis Aristotelean dan berbasis Dzahiriyah. Keduannya terluapkan dalam pemikiran Ibnu Rusyd terhadap al-Qur’an. Dikatakan berbasis Aristotelean, sebab ia memang sangat dipengaruhi oleh filsafat demonstratif Aristoteles. Kecenderungan ini termanifestasikan dalam bentuk teori interpretasi al-Qur’an yang dijabarkannya bahwa metode demonstratiflah yang menjadi metode paling tinggi dalam segi pemikiran. Selain itu, ia juga sangat memuja-muja Aristoteles sebagai manusia yang Ma’sum (jauh dari kesalahan). Sedangkan disebutkan berbasis Dzahiriyah, karena dalam teori interpretasi al-Qur’an ia lebih banyak menggunakan metode yang lahir dari Syari’at yang bersifat sederhana. Sebab Syari’at diperuntukkan untuk mayoritas jenis masyarakat. Selain itu, basis Dzahiriyah ini juga kentara dari responnya terhadap golongan-golongan keagamaan yang ada pada masanya, yaitu Hasyawiyah, Mutakallimin (Asyariyah dan Mu’tazilah), dan Sufi. Ibnu Rusyd mencela mereka sebab telah menyebarluaskan perdebatan-perdebatan pada kaum awam yang seharusnya hanya diketahui oleh kaum terpelajar. Hal ini menyebabkan kebingungan golongan awam itu sendiri pada Syariat. Menurut Filosuf Anadalusia ini, masyarakat awam seharusnya hanya diberitahukan makna lahiriyah al-Qur’an saja tanpa menyebutkan dimensi bathinyahnya. Disinilah terlihat dualisme pemikirannya, di satu sisi ia sebagai seorang filosuf yang harus rasional, tetapi disisi lain dia lebih banyak mengadopsi makna lahiriyah al-Qur’an dalam rangka pembelaannya terhadap syari’at.[17]        
C.      Interpretasi al-Qur’an Berbasis Responsif Terhadap Gejolak Pemikiran
Gejolak pemikiran yang terjadi pada era Ibnu Rusyd sangat dahsyat, apalagi setelah al-Ghazali menolak dan mengkafirkan filsafat dan termanifestasikan dalam bukunya tahafut falasifah.[18] Dampak penolakan al-Ghazali ini terhadap filsafat sangat mempengaruhi umat Islam kala itu, sehingga banyak orang Islam menolak mempelajari filsafat serta mengharamkannya. Hal inilah yang banyak dianggap intelektual sebagai awal stagnasi dalam pemikiran Islam. Sebagai seorang filosuf yang sangat mengedepankan filsafat sebagai landasan epistimologinya, Ibnu Rusyd tidak tinggal diam. Ia menulis buku tandingan al-Ghazali tersebut yang berjudu tahafut al-Tahafut. Namun, gejolak intelektual ini tidak bisa menghadang hujaman “kafir” al-Ghazali terhadap filsafat. Disinilah terdapat perang pemikiran (gazwul fikri) antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd yang keduanya saling mengkafirkan satu sama lain. Selain itu, era Ibnu Rusyd juga dipenuhi oleh Hasyawiyah, golongan Mutakallimin (Asyariyah dan Mu’tazilah) serta sufi yang banyak menceritakan perdebatan-perdebatan yang sulit dijangkau akal pada masyarakat awam. Sehingga berdampak kebingungan pada syariat yang ada.
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd tercipta sebagai respon atas problematika tersebut. Sebagai seorang filosuf yang sangat mengagungkan akal sekaligus juga ulama yang ingin menjaga syariat, Ibnu Rusyd mengkritik lawan pemikirannya tersebut dalam berbagai aspek. Tercatat semua golongan yang bertentangan dengan pemikirannya dikritik lewat teori interpretasinya pada al-Qur’an.
Hasyawiyah (literalis) umpama, Ibnu Rusyd memberikan penilaian sebagai “aliran sesat”, sebab aliran ini “membatasi maksud Syari’at” sebatas metode retorika yang biasa digunakan masyarakat awam. Metode ini, menurut Ibnu Rusyd kontradiksi dengan semangat al-Qur’an. Karena banyak ayat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk berpegang pada argumentasi-argumentasi rasional. Semisal kata “wajah” dan “tangan”, kalangan Hasyawiyah memaknainya secara literal. Akibatnya menjadikan Allah serupa dengan makhluk. [19] Ibnu Rusyd menolak pemaknaan secara literalis ini, sebab pada hakikatnya teks al-Qur’an ada yang memiliki makna bathin dan makna dzahir. Sehingga kata tersebut tidak bisa hanya diinterpretasikan secara lahiriyah saja.         
Golongan Mutakallimin juga tidak luput dari kritikan Ibnu Rusyd. Asyariyah, sebagai golongan aliran kalam yang dominan pada waktu itu, dikatakan tidak mempunyai metode yang tidak meyakinkan dalam mengetahui Allah, kendatipun mereka memakai akal dan wahyu dalam hal mengetahui Allah. Argumentasi Asyariyah tidak dapat memuaskan para filosuf muslim. Dia juga menilai metode tersebut bukan metode sederhana yang sesuai dengan metode syari’at karena ia sulit diterima dan memuaskan masyarakat awam.[20] Selain Asyariyah, golongan kalam yang dikritik Ibnu Rusyd adalah Mu’tazilah. Kritiknya pada Mu’tazilah sama seperti krtitiknya pada Asy’ariyah. Penyamaan metode ini disebabkan karena buku-buku Mu’tazilah pada era itu belum sampai ke Andalusia. Melalui Asyariyah inilah Ibnu Rusyd mengkritik Mu’tazilah.[21]
Aliran terakhir yang dikritik Ibnu Rusyd adalah filsafat peripatetik. Ibnu Rusyd juga mengkritik filsafat peripatetik yang diwakili oleh al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam memahami Tuhan, kedua filosuf peritpatetik ini dituduh menggunakan metode dialektika yang umum digunakan oleh ahli kalam, dan sama sekali tidak mengikuti metode demonstratif yang dikemukakan Guru Pertama, Aristoteles. Sebagai misal, ketika membahas tentang Tuhan, Ibnu Sina acap kali mendasarkan argumennya pada kategori wujud mungkin (mumkin al-Wujud) untuk alam dan wujud wajib (wajib al-Wujud) untuk Tuhan.[22]     
Sementara al-Ghazali, Ibnu Rusyd menuduhnya sebagai perusak syari’at dan filsafat sekaligus. Al-Ghazali juga dinilai membuat masyarakat awam meyakini filsafat bertentangan dengan syari’at dan akhirnya mereka membenci filsafat. Al-Ghazali juga dianggap salah dalam memahami syari’at. Hal itu terjadi karena dia acap kali menakwilkan ayat-ayat al-Qur’an dan membeberkannya kepada masyarakat awam yang pada gilirannya membuat mereka membenci filsafat.[23]


[1] A. Musthofa, Filsafat Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 284.
[2] A. Musthofa, Filsafat Islam..., hlm. 285.
[3] A. Musthofa, Filsafat Islam..., hlm. 286.
[4] Deskripsi ini dikemukakan berdasarkan penelitian Aksin Wijaya pada tiga karya Ibnu Rusyd, yakni Fashl Maqal,  al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dan Tahafut al-Tahafut.  
[5] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hemeneutis (Yogyakarta: LkiS, 2009), hlm. 5.
[6] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 154.
[7] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 155.
[8] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 155.
[9] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 211-212.
[10] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 181.
[11] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 212.
[12] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 213.
[13] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 182-194.
[14] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 212.
[15] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 213.
[16] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 194.
[17] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 205-242
[18] Kitab ini merupakan kumpulan hasil perlawanan al-Ghazali terhadap para filosuf yang dianggapnya terlalu mengagungkan falsafah yunani melebihi ajaran-ajaran Islam, yang dimulai dari Nishapur sampai ke Baghdad. Lihat Mahfudz Masduki, Spiritualitas dan Rasionalitas al-Ghazali (Yogyakarta: TH Press, 2005), hlm. 18.  
[19] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 214-215.
[20] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 216.
[21] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 219-220.
[22] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 211.
[23] Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 211.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj