A.
Sekilas
Biografi Ibnu Rusyd
Ibnu
Rusyd bernama lengkap Abu al-Wahid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Ia
lahir di Cordoba, salah satu kota di Andalusia (Spanyol) pada tahun 1126 M./520
H. ia merupakan keturunan dari keluarga yang ahli dalam ilmu fikih. Ayah dan
kakeknya pernah menjabat di Andalusia sebagai kepala pengadilan.[1]
Pemikiran Ibnu Rusyd di barat terkenal dengan nama Averoisme. Sedangkan
pengikutnya disebut Averroistae.
Filosuf
Eropa satu ini lahir pada masa pemerintahan al-Mufarriah yang digulingkan oleh
golongan al-Muhadiah di Marrakusy pada tahun 542 H/1147 M., yang menaklukkan
kota Cordoba pada tahun 543 H./1148 M. Gerakan al-Muhaddiah dimulai oleh Ibnu
Tumart yang menyebut dirinya sebagai al-Mahdi. Dia berupaya meniru
golongan-golongan Fatimiyah, yang muncul seabad sebelumnya dan berhasil
membentuk kekaisaran di Mesir.[2]
Banyak
ilmu yang sudah dipelajari Ibnu Rusyd, semisal matematika, fisika, astronomi,
logika, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat, Ibnu Rusyd lebih
banyak menelaah dan mengulas pemikiran-pemikiran Aristoteles lewat
karya-karyanya. Sehingga ia disebut sebagai “juru ulas” dan dengan sebutan
itulah ia dikenal oleh masyarakat Eropa abad pertengahan.[3]
Karya-karya Aristoteles inilah yang berpengaruh besar dalam pemikiran-pemikiran
Ibnu Rusyd, termasuk filsafat.
Beberapa
karya yang diukir oleh Ibnu Rusyd antara lain, Fashl Maqal, al-Kasyf ‘an Manahij al-Adillah, dan Tahafut
al-Tahafut. Ketiganya merupakan pandangan-pandangan filosofinya, Bidayatul
Mujtahid, buku ini adalah karya yang memuat pendapat-pendapat ulama madzhab
tentang problematika yurisprudensi Islam (fikih), Colligent (kulliyah),
berisi tentang tata cara pengobatan, dan karya-karyanya yang lain.
Ibnu
Rusyd merupakan seorang filosuf Muslim yang ingin memadukan filsafat dan
syariat. Sebab keduanya mempunyai signifikansi dalam ranah keislaman.
Menurutnya, filsafat dan syariat terkadang beriringan dan terkadang pula
berbeda. Titik kesamaannya bertumpu pada kesamaan metode dan tujuan. Keduannya
menggunakan metode demonstratif (burhani) dan sama-sama memiliki tujuan
untuk mengetahui Tuhan. Sementara perbedaan yang ada pada keduanya berkisar
pada sasaran yang dituju. Filsafat lebih ditujukan pada sebagian kecil
masyarakat, akan tetapi syariat diperuntukkan bagi seluruh golongan masyarakat.[5]
Bertolak
pada perbedaan sasaran, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan masyarakat menjadi dua
komunitas. Pertama, masyarakat
terpelajar yang mampu menggunakan akalnya secara maksimal. Kedua, masyarakat
awam yang hanya menggunakan kemampuan indrawinya. Perbedaan keduanya ini
terletak pada perinciannya, sesuai dengan kemampuan nalar, tabiat, kebiasaan,
dan aktifitas pembelajarannya, bukan pada objek pembelajarannya.[6]
Ibnu
Rusyd membagi kategori masyarakat terpelajar berdasarkan kemampuan menggunakan
akal menjadi dua cabang, yakni filosuf dan non-filosuf (Hasyawiyah, ahli kalam,
dan Sufi). Perbedaan keduanya terletak pada kualitas metodenya. Perbedaan keduanya
terletak pada kualitas metodenya. Ibnu Rusyid membagi metode berpikir menjadi
dua: 1) metode berpikir non-rasional yang biasanya berbentuk retorika, dan 2) metode
berpikir rasional yang terdiri dari dua metode, yakni dialektika dan
demonstratif.[7]
Dalam konteks ini, Ibnu Rusyd sebagai seorang filosuf muslim murni menerapkan
metode berpikir demonstratif.
Sebagai
seorang filosuf tentunya ia sangat mengunggulkan metode berpikir komunitasnya. Ibnu
Rusyd menjelaskan metode retorika hanya diperuntukkan bagi masyarakat awam,
sebab mereka hanya mengandalkan kepuasan indrawi semata. Sedangkan dua metode
rasional diperuntukkan untuk masyarakat terpelajar yang menggeluti pemikiran
rasional. Akan tetapi dalam pandangan Ibnu Rusyd, metode demonstratif tetaplah
lebih unggul daripada metode dialektika, karena metode dialektika tidak bisa
mencapai derajat metode demonstratif. Metode dialektika tidak bisa memuaskan masyarakat
awam dan juga tidak bisa juga memuaskan filosuf yang menggeluti metode
demonstratif.[8]
Dalam
interpretasinya pada al-Qur’an, Ibnu Rusyd mengklasifikasikan ayat-ayat
al-Qur’an menjadi tiga. Pertama, ayat-ayat tertentu yang hanya memiliki satu
makna lahir. Ia cukup dipahami secara lahiriyah dan tidak boleh ditakwilkan.
Ada dua hukum yang berkaitan dengan kategori ini. Jika ayat-ayat itu membahas
persoalan-persoalan prinsipil dalam syariat, maka tindakan penakwilan dihukumi
kafir. Namun jika ayat-ayat yang ditakwilkan itu menyangkut hal-hal non
prinsipil dalam syariat, maka ia menghukumi tindakan penakwilan itu sebagai
bid’ah.[9]
Sebagai contoh untuk persoalan prinsipil adalah tentang iman kepada Allah,
kenabian Muhammad, dan keberadaan hari akhir.[10]
Kedua,
ayat-ayat tertentu yang yang mempunyai dua makna, yakni makna lahiriyah dan
makna bathiniyah. Ayat-ayat kategori ini wajib ditakwilkan, terutama oleh orang
yang menggunakan metode demonstratif. Dia menghukumi kafir terhadap ahli
interpretasi demonstratif yang mengartikan ayat (syariat) seperti itu hanya
pada aspek lahiriyahnya saja. Sebaliknya, ia menghukumi kafir atau bid’ah bagi
mereka yang menakwilkan ayat kategori ini, dan kemudian membeberkannya pada
masyarakat awam. Contohnya seperti istiwa’ dan hadis al-Nuzul. [11]
Selain itu, dia juga menghukumi kafir bagi masyarakat awam yang menerima hasil takwil.[12]
Dari
kategori ini (dua makna), muncullah tiga kategori wacana al-Qur’an. Pertama,
wacana lahiriyah al-Qur’an yang khusus diberikan pada masyarakat awam, seperti
ayat tentang istiwa’ dan nuzul Tuhan. Hal ini tidak berarti makna
hakikinya terletak pada lahiriahnya, akan tetapi karena keterbatasan kemampuan
orang awam. Sehingga makna hakiki tersebut disimbolkan dengan makna
lahiriyahnya. Kedua, wacana bathiniyah al-Qur’an yang khusus diberikan kepada
masyarakat terpelajar. Ketika hendak diberikan pada masyarakat awam, ayat-ayat
kategori ini harus diberikan dalam bentuk perumpamaan. Misalnya tentang
keberadaan Allah sebagai pencipta. Ketiga, wacana bathiniyah al-Qur’an yang
diberikan pada masyarakat terpelajar dan awam secara bersama-sama dengan cara
menggunakan perumpamaan, seperti ayat yang berbicara tentang keesaan Allah.[13]
Ketiga,
ayat-ayat yang ambigu, yakni ayat-ayat yang berada di antara dua kategori di
atas. Kategori ini, menurut Ibnu Rusyd bisa melahirkan ragu di kalangan
pemikir, khususnya yang menggeluti metode demonstratif. Sebagian menganggap
kategori ini termasuk aspek lahiriyah syariat yang tidak boleh ditakwilkan dan
sebagian yang lain menganggap aspek bathiniyah syariat. Oleh sebab itu, Ibnu
Rusyd melarang filosuf (ulama) membawanya ke makna lahiriyah. Perbedaan pendapat
ini terjadi disebabkan pelik dan samarnya ayat-ayat ketegori ketiga ini. Akan tetapi,
jika diantara mereka melakukan kesalahan dalam bidang ini, hal itu bisa
dimaafkan. [14]
Dalam kategori ini juga, Ibnu Rusyd menghukumi kafir bagi terhadap ahli
demonstratif yang membeberkan wacana takwilnya pada masyarakat awam. Bagi
masyarakat awam, ia wajib dibawakan pada makna lahiriyahnya. Dia juga menghukumi
kafir terhadap masyarakat awam yang menerima wacana takwil tersebut.[15]
Contoh dari kategori ini adalah kebangkitan kembali manusia.[16]
Dalam
pandangan Aksin Wijaya, dimensi pemikiran Ibnu Rusyd dalam bidang interpretasi
al-Qur’an ini bisa dikategorisasikan menjadi dua bentuk interpretasi, yaitu
berbasis Aristotelean dan berbasis Dzahiriyah. Keduannya terluapkan dalam
pemikiran Ibnu Rusyd terhadap al-Qur’an. Dikatakan berbasis Aristotelean, sebab
ia memang sangat dipengaruhi oleh filsafat demonstratif Aristoteles. Kecenderungan
ini termanifestasikan dalam bentuk teori interpretasi al-Qur’an yang
dijabarkannya bahwa metode demonstratiflah yang menjadi metode paling tinggi
dalam segi pemikiran. Selain itu, ia juga sangat memuja-muja Aristoteles sebagai
manusia yang Ma’sum (jauh dari kesalahan). Sedangkan disebutkan berbasis
Dzahiriyah, karena dalam teori interpretasi al-Qur’an ia lebih banyak menggunakan
metode yang lahir dari Syari’at yang bersifat sederhana. Sebab Syari’at
diperuntukkan untuk mayoritas jenis masyarakat. Selain itu, basis Dzahiriyah
ini juga kentara dari responnya terhadap golongan-golongan keagamaan yang ada
pada masanya, yaitu Hasyawiyah, Mutakallimin (Asyariyah dan Mu’tazilah), dan
Sufi. Ibnu Rusyd mencela mereka sebab telah menyebarluaskan perdebatan-perdebatan
pada kaum awam yang seharusnya hanya diketahui oleh kaum terpelajar. Hal ini
menyebabkan kebingungan golongan awam itu sendiri pada Syariat. Menurut Filosuf
Anadalusia ini, masyarakat awam seharusnya hanya diberitahukan makna lahiriyah
al-Qur’an saja tanpa menyebutkan dimensi bathinyahnya. Disinilah terlihat
dualisme pemikirannya, di satu sisi ia sebagai seorang filosuf yang harus
rasional, tetapi disisi lain dia lebih banyak mengadopsi makna lahiriyah
al-Qur’an dalam rangka pembelaannya terhadap syari’at.[17]
C.
Interpretasi
al-Qur’an Berbasis Responsif Terhadap Gejolak Pemikiran
Gejolak
pemikiran yang terjadi pada era Ibnu Rusyd sangat dahsyat, apalagi setelah
al-Ghazali menolak dan mengkafirkan filsafat dan termanifestasikan dalam
bukunya tahafut falasifah.[18]
Dampak penolakan al-Ghazali ini terhadap filsafat sangat mempengaruhi umat
Islam kala itu, sehingga banyak orang Islam menolak mempelajari filsafat serta
mengharamkannya. Hal inilah yang banyak dianggap intelektual sebagai awal
stagnasi dalam pemikiran Islam. Sebagai seorang filosuf yang sangat
mengedepankan filsafat sebagai landasan epistimologinya, Ibnu Rusyd tidak
tinggal diam. Ia menulis buku tandingan al-Ghazali tersebut yang berjudu tahafut
al-Tahafut. Namun, gejolak intelektual ini tidak bisa menghadang hujaman
“kafir” al-Ghazali terhadap filsafat. Disinilah terdapat perang pemikiran (gazwul
fikri) antara al-Ghazali dan Ibnu Rusyd yang keduanya saling mengkafirkan
satu sama lain. Selain itu, era Ibnu Rusyd juga dipenuhi oleh Hasyawiyah, golongan
Mutakallimin (Asyariyah dan Mu’tazilah) serta sufi yang banyak menceritakan perdebatan-perdebatan
yang sulit dijangkau akal pada masyarakat awam. Sehingga berdampak kebingungan pada
syariat yang ada.
Interpretasi
al-Qur’an Ibnu Rusyd tercipta sebagai respon atas problematika tersebut. Sebagai
seorang filosuf yang sangat mengagungkan akal sekaligus juga ulama yang ingin
menjaga syariat, Ibnu Rusyd mengkritik lawan pemikirannya tersebut dalam
berbagai aspek. Tercatat semua golongan yang bertentangan dengan pemikirannya
dikritik lewat teori interpretasinya pada al-Qur’an.
Hasyawiyah
(literalis) umpama, Ibnu Rusyd memberikan penilaian sebagai “aliran sesat”,
sebab aliran ini “membatasi maksud Syari’at” sebatas metode retorika yang biasa
digunakan masyarakat awam. Metode ini, menurut Ibnu Rusyd kontradiksi dengan
semangat al-Qur’an. Karena banyak ayat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk
berpegang pada argumentasi-argumentasi rasional. Semisal kata “wajah” dan
“tangan”, kalangan Hasyawiyah memaknainya secara literal. Akibatnya menjadikan
Allah serupa dengan makhluk. [19]
Ibnu Rusyd menolak pemaknaan secara literalis ini, sebab pada hakikatnya teks
al-Qur’an ada yang memiliki makna bathin dan makna dzahir. Sehingga kata
tersebut tidak bisa hanya diinterpretasikan secara lahiriyah saja.
Golongan
Mutakallimin juga tidak luput dari kritikan Ibnu Rusyd. Asyariyah, sebagai
golongan aliran kalam yang dominan pada waktu itu, dikatakan tidak mempunyai
metode yang tidak meyakinkan dalam mengetahui Allah, kendatipun mereka memakai
akal dan wahyu dalam hal mengetahui Allah. Argumentasi Asyariyah tidak dapat
memuaskan para filosuf muslim. Dia juga menilai metode tersebut bukan metode
sederhana yang sesuai dengan metode syari’at karena ia sulit diterima dan
memuaskan masyarakat awam.[20]
Selain Asyariyah, golongan kalam yang dikritik Ibnu Rusyd adalah Mu’tazilah. Kritiknya
pada Mu’tazilah sama seperti krtitiknya pada Asy’ariyah. Penyamaan metode ini
disebabkan karena buku-buku Mu’tazilah pada era itu belum sampai ke Andalusia.
Melalui Asyariyah inilah Ibnu Rusyd mengkritik Mu’tazilah.[21]
Aliran
terakhir yang dikritik Ibnu Rusyd adalah filsafat peripatetik. Ibnu Rusyd juga
mengkritik filsafat peripatetik yang diwakili oleh al-Farabi dan Ibnu Sina.
Dalam memahami Tuhan, kedua filosuf peritpatetik ini dituduh menggunakan metode
dialektika yang umum digunakan oleh ahli kalam, dan sama sekali tidak mengikuti
metode demonstratif yang dikemukakan Guru Pertama, Aristoteles. Sebagai misal,
ketika membahas tentang Tuhan, Ibnu Sina acap kali mendasarkan argumennya pada
kategori wujud mungkin (mumkin al-Wujud) untuk alam dan wujud wajib (wajib
al-Wujud) untuk Tuhan.[22]
Sementara
al-Ghazali, Ibnu Rusyd menuduhnya sebagai perusak syari’at dan filsafat sekaligus.
Al-Ghazali juga dinilai membuat masyarakat awam meyakini filsafat bertentangan
dengan syari’at dan akhirnya mereka membenci filsafat. Al-Ghazali juga dianggap
salah dalam memahami syari’at. Hal itu terjadi karena dia acap kali menakwilkan
ayat-ayat al-Qur’an dan membeberkannya kepada masyarakat awam yang pada
gilirannya membuat mereka membenci filsafat.[23]
[1] A. Musthofa, Filsafat
Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 284.
[2] A. Musthofa, Filsafat
Islam..., hlm. 285.
[3] A. Musthofa, Filsafat
Islam..., hlm. 286.
[4] Deskripsi ini
dikemukakan berdasarkan penelitian Aksin Wijaya pada tiga karya Ibnu Rusyd,
yakni Fashl Maqal, al-Kasyf ‘an
Manahij al-Adillah, dan Tahafut al-Tahafut.
[5] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hemeneutis (Yogyakarta:
LkiS, 2009), hlm. 5.
[6] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 154.
[7] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 155.
[8] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 155.
[9] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 211-212.
[10] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 181.
[11] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 212.
[12] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 213.
[13] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 182-194.
[14] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 212.
[15] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 213.
[16] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 194.
[17] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 205-242
[18] Kitab ini
merupakan kumpulan hasil perlawanan al-Ghazali terhadap para filosuf yang
dianggapnya terlalu mengagungkan falsafah yunani melebihi ajaran-ajaran Islam,
yang dimulai dari Nishapur sampai ke Baghdad. Lihat Mahfudz Masduki, Spiritualitas
dan Rasionalitas al-Ghazali (Yogyakarta: TH Press, 2005), hlm. 18.
[19] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 214-215.
[20] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 216.
[21] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 219-220.
[22] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 211.
[23] Aksin Wijaya, Teori
Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd..., hlm. 211.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar