Mayoritas umat Islam meyakini bahwa
pengumpulan al-Qur’an pertama kali dilakukan oleh Abu Bakar atas inisiatif Umar.
Alasan pengumpulan ini berkutat pada
banyaknya huffadz yang meninggal dalam perang Yamamah.[1]
Disebutkan dalam satu riwayat Bukhari bahwa korban berjumlah 70 orang.[2]
Pada awalnya, Abu Bakar tidak menerima usulan
Umar, tetapi setelah memberikan penjelasan, maka terbukalah hati Abu Bakar dan
menerima usul untuk mengumpulkan al-Qur’an tersebut. Abu Bakar lantas menyuruh
Zaid bin Sabit untuk mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an. Setali tiga uang dengan
Abu Bakar, sebenarnya Zaid sempat menolak, tetapi setelah melalui tahapan sharing,
maka Zaid pun menerima perintah itu. Setelah itu, ia mengumpulkan al-Qur’an
dari pelepah kurma, bebatuan, dan kulit binatang. Dalam proses penerimaan ayat
al-Qur’an, dia hanya akan menerimanya jika disaksikan oleh dua saksi. Serta diceritakan
pula bahwa akhir surat al-Taubah hanya didapatkan dari Abu Khuzaimah
al-Anshary.[3]
Dari informasi tersebut, banyak intelektual muslim menyebutkan orang yang
pertama kali mengumpulkan al-Qur’an adalah Abu Bakar, Sebut saja, al-Lais bin
Sa’ad yang disebutkan oleh Ibnu Asytah dalam kitab Masahifnya dan Ibnu Syihab dalam
kitab Maghazi Musa bin Uqbah.[4]
Namun informasi tidak lantas sunyi dari
perdebatan, sebab sebagian ahli sejarah ragu pada peristiwa yang dikisahkan
dalam hadis shahih tersebut. Apakah peristiwa itu benar-benar terjadi ataukah
hanya rekaan ulama-ulama belakangan. Mereka meragukan alasan pengumpulan itu adalah
karena banyaknya penghafal yang gugur dalam perang Yamamah, sebab setelah
diteliti ternyata sebagian besar yang meninggal dalam perang tersebut adalah
orang yang baru masuk Islam dan hanya satu dua saja yang terbukti hafidz.
Dalam sebuah versi riwayat lain disebutkan, Abu Bakar tidak menyetujui gagasan
Umar dan oleh karena itu, pengumpulan
al-Qur’an sejatinya dilakukan oleh Umar secara personal.[5]
Dalam riwayat lain disebutkan, Ibnu Baridah mengatakan bahwa orang yang pertama
kali mengumpulkan al-Qur’an adalah Salim maula Abu Hudzaifah. Namun,
al-Suyuthi mengatakan bahwa maksudnya adalah dia merupakan salah satu orang
yang diperintah Abu Bakar untuk mengumpulkan al-Qur’an.[6]
Menurut asumsi penulis, wilayah sejarah
memang niscaya akan menuai perbedaan antara satu narasumber dengan narasumber lainnya.
Akan tetapi paling tidak kita menelaah kembali sumber yang dijadikan referensi,
apakah ia “sehat” atau dalam artian shahih ataukah ia mempunyai “penyakit” atau
dalam artian lemah atau bahkan mungkin palsu. Oleh sebab itu, standarisasi dalam
proses penerimaan informasi haruslah dilakukan. Dalam konteks ini, cerita yang
masyhur di kalangan orang Islam mengenai pengumpulan al-Qur’an pada era Abu
Bakar ini lebih mempunyai kualitas yang bisa dipertanggung jawabkan. Informasi
ini terekam dalam Shahih Bukhari, Sunan al-Tirmidzi, Musnad Ahmad, dan
lain-lain. Sehingga menurut penulis, kisah pengumpulan al-Qur’an pada masa Abu
Bakar bisa diterima.
Penulis juga menambahi bahwa dimungkinkan juga
ada mushaf-mushaf yang ditulis pada masa Nabi (Pra-Abu Bakar), sebab banyaknya penulis
wahyu pada masa Rasulullah. adapun penulisan yang sistematis baru dilakukan di
Madinah. Al-Zanjani menyebutkan sekitar 30-an nama yang terlibat di dalamnya.[7]
Sehingga sangat memungkinkan mereka menulis mushaf bagi diri mereka pribadi. Selain
itu, adanya mushaf-mushaf sahabat juga menunjukkan kemungkinan tersebut,
seperti mushaf Ubay, Ibnu Mas’ud, dan Ibnu Abbas. Akan tetapi menurut penulis, Abu
Bakar tidak serta merta mengumpulkan al-Qur’an melalui media mushaf-mushaf
tersebut. Sebab sebagaimana dilansir oleh al-Suyuthi bahwa mushaf-mushaf itu kontennya
tidak lengkap dan berbeda-beda, semisal Mushaf Ubay 116 atau 115 surat dan
Mushaf Ibnu Mas’ud 112 surat.[8]
Selain itu, mushaf-mushaf tersebut juga merupakan mushaf pribadi kepunyaan
masing-masing. Dengan demikian, manuskripnya tidak bisa diserahkan pada orang
lain.
[1] Banyak riwayat yang berbicara tentang ini, semisal HR. Bukhari no.
4311, 4603, dan 6654.
[2] Lihat HR. Bukhari no. 3770.
[3] Lihat HR. 4311. Ulama berbeda pendapat dalam memahami akan dua saksi
ini, Ibnu Hajar menginterpretasikannya sebagai hafalan dan tulisan. Sementara al-Sakhawi
menyebutkan yang dimaksud adalah dua orang saksi yang menyaksikan catatan
tersebut ditulis di era Rasulullah. Lihat Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon fi
Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar Fikr, 2008), hlm. 83.
[4] Lihat Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon fi Ulum al-Qur’an...,
hlm. 81-84.
[6] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon fi Ulum al-Qur’an..., hlm. 83.
[8] Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqon fi Ulum al-Qur’an..., hlm. 92-93.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar