Al-Qur’an, sebagai sumber utama agama Islam merupakan teks yang mempunyai banyak penafsiran (multi-interpretasi). Penafsiran-penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh background penafsir dan juga kondisi sosio-historis yang menyelimuti dirinya. Sehingga tidak jarang terlihat perbedaan interpretasi antara satu penafsir dengan penafsir lainnya yang berbeda zaman maupun latar belakang. Umpamanya Tafsir Ibnu Jarir al-Thabari (w. 923 M.) yang menggunakan nalar mitis (menerima apa adanya dari periode terdahulu) berbeda dengan tafsirnya Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) yang banyak mengadopsi akal dalam menafsirkan al-Qur’an; dan tafsir Bintu Syathi’ (w. 1998 M.) yang bercorak sastrawi berbeda dengan tafsirnya Tantawi Jauhari (w. 1940 M.) yang bercorak ilmi (kauniyah).
Keilmuan di bidang tafsir semakin berkembang, baik dari segi metodologi maupun pendekatan (approach). Jika dalam khazanah tafsir klasik kita hanya akan mendapatkan bentuk-bentuk penafsiran yang “tradisional”, yakni al-Qur’an dengan al-Qur’an, hadis Nabi, Qaul sahabat dan Tabi’in, serta syair Arab, maka dalam kajian tafsir modern-kontemporer kita akan mendapatkan berbagai macam variasi, dari mulai tafsir bercorak sastrawi, hermeneutik hingga bercorak ilmi (saintific interpretaion). Semuanya menjadi kekayaaan tersendiri yang dimiliki oleh Tafsir al-Qur’an.
Falak (astronomi) sebagai salah satu alternatif tafsir al-Qur’an bisa dikatakan sebagai bentuk penafsiran yang bersifat saintific atau menggunakan keilmuan kealaman. Kandungan materi yang diberikannya dapat menolong umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam serta ibadah sehari-hari. Hal yang paling mudah adalah membantu dalam penunjukkan arah kiblat dan juga menjadi alat pembantu dalam menentukan hari raya idul Fitri maupun idul Adha.
Jika diruntut secara historis, Ia merupakan tradisi yang bisa dikatakan berasal dari keilmuan pra-Islam. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal tradisi ilmu perbintangan (astronomi), medis (tabīb), catatan keturunan (ansāb), dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian, embrio dari ilmu falak sendiri sudah muncul jauh sebelum Islam disyiarkan oleh Nabi Muhammad pada abad ke 7 M.
Dalam kitab-kitab tafsir klasik maupun pertengahan sebenarnya sudah banyak kajian-kajian mengenai astronomi. Hal ini terjadi karena banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menyinggung tentang astronomi. Akan tetapi pembahasan yang diberikan tidak begitu mendalam dan dan kadangkala sukar dicari justifikasinya secara ilmiah. Karena teknologi yang ada pada masa itu belum berkembang pesat. Contoh yang bisa dilihat adalah perdebatan seputar makna kata falak (garis edar) dalam surat al-Anbiyā: 33: وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ كُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ “Dan dialah yang Telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya”. Apakah kata tersebut merupakan bentuk jisim (kongkret/berbentuk) yang menjadi tempat beredarnya planet-planet ataukah ia bukan bentuk jisim (tidak berbentuk/hanya sekedar lintasan)?. Permasalahan ini sukar dicari pembenaran secara ilmiah dan menyentuh tataran realitas. Solusi yang ditawarkan pun hanya berkutat pada pendekatan kebahasaan saja.
Waktupun berlanjut, pada era kontemporer sekarang ini keilmuan astronomi juga menjadi salah satu pendekatan tafsir al-Qur’an. Semisal penafsiran dari seorang mufassir kontemporer asal Mesir, Tantawi Jauhari. Ia mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur’an yang berisi pelbagai kajian ilmu-ilmu sains modern, yaitu tafsir al-Jawāhir fī Tafsīr al-Qur’an al-Karīm. Kitab ini adalah karya yang paling terkenal pada abad ke 20 di bidang tafsir ilmi. Selain itu juga, kitab tafsir ini cukup menarik, sebab menampilkan gambar-bambar dan foto-foto dalam penjelasannya, termasuk pula ilmu-ilmu astronomi misalnya gambar planet-planet. Motivasi yang ada pada benak Jauhari dalam kepengarangannya bukanlah untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an. Namun lebih kepada penyadaran umat Islam agar pada masa modern ini mereka seharusnya lebih concern pada ilmu-ilmu pengetahuan modern daripada menyibukkan diri dalam pembahasan-pembahasan fikih. Karena pada hakikatnya ayat-ayat kauniyah berjumlah lebih banyak, yakni 750-an daripada ayat-ayat tentang hukum yang berjumlah tidak lebih dari 500-an.
Jenis tafsir ini (saintific interpretation) mengundang banyak perdebatan-perdebatan di kalangan mufassir kontemporer. Kubu yang menolak tafsir jenis ini beralasan karena al-Qur’an seharusnya dipahami berdasarkan makna sebagaimana ia diturunkan pada masa Nabi. Selain itu juga, al-Qur’an bukanlah kitab ilmu pengetahuan, akan tetapi lebih pada kitab petunjuk (hudan li al-Nās) yang membimbing manusia dengan memberikan pada mereka sistem moral dan keyakinan. Namun dibalik itu semua, sebenarnya penafsiran saintific banyak memberikan nilai positif, semisal memberikan tambahan kemukjizatan al-Qur’an bagi orang yang tidak mampu mengapresiasi i’jaz al-Qur’an dari segi gaya bahasa serta tentunya memberikan kontribusi baru dan bermanfaat dalam kajian tafsir al-Qur’an.
Lepas dari pro-kontra tafsir ilmi, pada dasarnya astronomi bukanlah sesuatu yang buruk, sebab pada hakikatnya tidak ada ilmu yang buruk. Ilmu bersifat netral. Oleh karenanya, ia layak juga dikategorikan sebagai salah satu pendekatan dalam tafsir al-Qur’an. Namun, hal yang harus dipahami bahwa penafsiran dengan ilmu astronomi haruslah menggunakan terma-terma yang sudah baku dan tidak berubah-ubah. Karena sudah menjadi karakteristik ilmu pengetahuan sains bahwa ia selalu berkembang. Boleh jadi pengetahuan yang dikatakan di hari ini tidak cocok dengan pembuktian ilmiah di kemudian hari, semisal paham tentang pusat tata surya adalah bumi (geosentris) yang kemudian dinasakh dengan pengetahuan berikutnya bahwa pusat tata surya yang sebenarnya adalah matahari (heliosentris). Maka dari pada itu, kiranya sangat penting memilih dan memilah mana pengetahuan astronomi yang benar dan baku untuk dijadikan patokan dalam penafsiran al-Qur’an.
Dalam al-Qur’an sendiri banyak ayat yang berbicara tentang astronomi, semisal al-Anbiyā: 33 dan Yasin: 40 yang bercerita tentang rotasi dan revolusi; al-Baqarah: 187 yang menjelaskan tentang panjangnya waktu berpuasa, dan lain-lain. Hal tersebut tidakah bisa dimanfaatkan secara maksimal jika ayat itu belum dikolerasikan dengan ilmu yang memang sangat berhubungan dengan itu, yakni ilmu astronomi. Dalam paradigma keilmuan integratif-interkonektif, pemahaman al-Qur’an dan hadis harus diintegrasi-interkoneksikan dengan keilmuan umum maupun filsafat. Sehingga tidak akan didapatkan pandangan hitam-putih, dikhotomi ilmu agama dan umum, serta pandangan tentang superioritas sebuah ilmu. Begitu pula ayat-ayat yang berbicara tentang astronomi haruslah diintegrasi-interkoneksikan dengan keilmuan yang berbicara tentang itu supaya mendapatkan penafsiran yang bisa dikatakan ideal bagi masa sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar