QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Jumat, 13 April 2012

Sejarah Kemunculan Teori Mutawatir


Teori mutawa>tir yang tercakup dalam teologi (ilm al-Kala>m), metodologi hukum Islam (us}u>l al-Fiqh), dan kritik hadis (‘ulu>m al-H{adis\), pada dasarnya dalam perspektif historis, menurut Husyein Hansu, kemunculannya bisa dikatakan bermula dari diskursus keilmuan teologi pada abad kedua hijriyah, meskipun pada saat sekarang para sarjana sudah tidak lagi menunjukkan pemakaiannya dalam konsep teologi. Terma ini kemudian baru digunakan pada metodologi hukum Islam. Terakhir, keilmuan hadis pun ikut memakai istilah ini pada era-era setelahnya.[1]
Teolog dari kalangan Mu’tazilah merupakan sarjana muslim pertama yang mencoba untuk mengembangkan sebuah epistemologi yang akan menciptakan perangkat aturan koheren untuk menentukan basis keyakinan yang kuat. Teks teologi Islam klasik melaporkan bahwa komunitas Bara>himah, Sumaniyyah, dan Sophist menurut cerita menjunjung tinggi ide aliran dalam filsafat modern yang menolak transmisi pengetahuan religius dan wahyu, disebabkan karena mereka bukanlah subjek yang mengalaminya. Menurut pandangan mereka, subjek yang berasal dari luar alam pengalaman manusia tidak bisa diketahui. Lantas karena hal tersebut, maka pengetahuan religius tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan (knowledge).[2]
Untuk menyangkal teori ini, kalangan Mu’tazilah berusaha keras untuk membuat basis epistemologi yang kuat bagi pengetahuan religius. Mereka berargumentasi bahwa keyakinan yang kuat bisa diperoleh hanya dari sumber pengetahuan yang dapat dipercaya yang bukan termasuk subjek yang diragukan. Keyakinan haruslah didasarkan pada pengetahuan yang pasti. Untuk mendapat-kannya, pengetahuan yang pasti haruslah berdasar pada bukti, yakni h}ujjah atau burha>n.[3]
Menurut para sarjana teologi (Mu’tazilah), manusia bisa mendapatkan pengetahuan tentang eksistensi Tuhan dan alam semesta melalui indera, khabar yang dapat dipercaya atau melalui rasio. Tiga hal inilah merupakan sumber pengetahuan yang objektif.[4] Eksistensi atau kebenaran hanya dapat diketahui melalui tiga sumber tersebut. Pengetahuan yang diperoleh melalui satu dari ketiga hal tersebut dianggap sebagai kebutuhan dan kepastian. Bagi manusia untuk mendapatkan kebenaran, tiga sumber tersebut sangat dibutuhkan, sebab tak satupun dari ketiganya tergolong dari yang lain. Dengan kata lain, satu sama lain saling melengkapi.[5]
Pengetahuan yang berasal dari rasio tidak dapat dicapai melalui persepsi indera atau vice verca. Begitu pula pengetahuan yang berasal dari khabar tidak bisa diperoleh dari rasio dan persepsi indera. Indera merupakan sumber pengetahuan tentang dunia fisik, dan khabar adalah sumber pengetahuan masa lampau. Untuk memahami alam metafisika, seseorang harus memiliki penolong untuk kesimpulan yang rasional atau khabar  dari Nabi.[6]
 Khabar sendiri memiliki dua kemungkinan antara benar dan bohong.[7] Karena masih punya dua kemungkinan ini, maka sarjana muslim memberikan kualifikasi dengan perkataan khabar al-S{a>diq (berita dari orang yang terpercaya) atau khabar s}a>diq (berita yang terpercaya).[8] Dijelaskan juga bahwa pada dasarnya Kala>m Tuhan tidak mengandung kebohongan. Sebaliknya, pada dasarnya pula khabar dari sumber yang meragukan tidak mengandung kebenaran.[9] Khabar sendiri memiliki dua bentuk, yakni ah}a>d dan mutawa>tir.
Pembuktian bahwa sebuah khabar merupakan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya berkaitan erat dengan pembuktian kebenaran kenabian. Hal ini berpijak pada komunitas Bara>himah dan Sabeans, yang menolak ide kenabian sebagai sesuatu yang tidak sesuai dengan rasio. Menurut mereka, mustahil untuk mengetahui kebenaran seorang yang mengklaim sebagai Nabi, sebab klaim kenabiannya hanya bersumber dari khabar dirinya sendiri dan khabar dimung-kinkan benar atau bohong.[10]
Sebagai usaha untuk membuktikan kebenaran kenabian, para teolog menggu-nakan dua konsep penting, yakni mu’jizat dan tawa>tur. Mu’jizat adalah kejadian atau tindakan di luar kebiasaan manusia yang dilakukan oleh Nabi sebagai bukti kenabiannya. Manusia yang sezaman dengannya menyaksikan mu’jizat ini secara langsung dan menerima pengetahuan yang tersedia. Pengetahuan ini lantas ditransmisikan secara mutawa>tir, yakni oleh sejumlah jalur yang menghalangi segala kemungkinan pemalsuan. Hal ini dibangun untuk membuktikan realitas kemu’jizatan tersebut bagi orang yang tidak menyaksikannya secara langsung, baik orang yang hidup semasa ataupun juga orang yang hidup belakangan, sebab pengetahuan yang ditransmisikan secara mutawa>tir mengandung kepastian (ilm dharu>ri>).[11] Dengan demikian, adanya teori mutawa>tir dalam studi Islam, khususnya teologi dapat dikatakan bermula dari isu-isu tentang pembuktian kenabian Muhammad.   
Karena ketelitian dan status epistemologi kata-kata Nabi hanya dapat diketahui melalui teologi, maka isu ini telah didiskusikan secara mendalam oleh para teolog sejak abad ketiga hijriyah. Misalnya saja, Abu> Hudhayl al-‘Alla>f (135-235/752-849) yang memakai konsep tawa>tur secara eksplisit dan mendisku-sikan syarat-syaratnya. Konsep tersebut juga dibicarakan oleh sarjana yang semasa dengan al-‘Alla>f dan murid-muridnya, seperti Mu’ammar bin Abba>d al-Sulami> (w. 215/830), Abu> Abd al-Rah}ma>n, dan Hisya>m al-Fuwa>ti> (w. 227/824).[12]
Lebih lanjut, pedoman teologi paling klasik memulai kajiannya dengan topik tentang pengetahuan dan mencurahkan perhatian yang sungguh-sungguh pada evaluasi secara epistemologis terhadap khabar (ah}a>d-mutawa>tir). Kemudian evaluasi terhadap khabar ini juga didiskusikan pula dalam metodologi hukum Islam (us}u>l al-Fiqh), yang dimulai pada abad kedua hijriyah sebagai dampak dari kemunculannya dalam teologi, semisal al-Sya>fi’i> (150-204) dalam risalahnya yang bertitel Jima>’ al-‘Ilm. Hal ini disebabkan karena kekuatan terhadap penguasaan hukum seringkali bergantung pada otentisitas khabar Nabi dan penentuan status khabar sepenuhnya penting untuk memperkirakan nilai episte-mologis dari premis-premis hukum.[13]
Dalam kesarjanaan hadis sendiri, kemunculan teori mutawa>tir tampaknya memerlukan waktu yang relatif cukup lama. Meskipun teori ini sebelumnya sudah ada, akan tetapi dalam buku-buku kritik hadis awal, seperti al-Ra>mahurmuzi> (w. 360/971) dan al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri> (w. 405/1014)[14] tidak memakai istilah ini. Kemudian, mulai abad tujuh hijriyah, teori ini baru dipakai dalam skala yang lebih luas. Dimulai pada era Ibn al-S{ala>h} al-Syahrazu>ri> (w. 643/1245),[15] yang merujuk pada kalangan sarjana us}u>l, mulai mengkaji konsep tersebut dan mengaplikasinya pada hadis, yang kemudian juga membaginya dalam dua kategori, yakni mutawa>tir lafz}i> dan mutawa>tir manawi>. Secara general, diakui bahwa mutawa>tir manawi> lebih banyak daripada mutawa>tir lafz}i>.[16]


[1] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 384.
[2] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 385. Lihat juga Abu> ‘Abdilla>h al-Katta>ni>, Naz}m al-Mutana>s\ir..., hlm. 13.
[3] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 385. 
[4] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 385.
[5] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 386.
[6] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 386.
[7] Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}ul (Beirut: Da>r Kutub Ilmiyah, 2010), hlm. 172.
[8] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 387.
[9] Abu> H{a>mid al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}ul..., hlm. 172.
[10] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 388.
[11] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 388-389. 
[12] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 389-390.  
[13] Huseyin Hansu “Notes on the Term Mutawa>tir...”, hlm. 390.
[14] Al-H{a>kim hanya menjelaskan perihal hadis masyhu>r dan ghari>b saja. Al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri>, Ma’rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa Kamiyyati Ajna>suhu> (Beirut: Da>r Ibnu H{azm, 2003).
[15] Ibnu S{ala>h}} sendiri mencantumkan hadis mutawa>tir termasuk bagian hadis masyhu>r. Ibnu S{ala>h}}, Ma’rifah Anwa>’ fi> ‘Ilm al-H{adi>s\ (Muqaddimah Ibnu S{ala>h}) (Beirut: Da>r Kutub al-‘Ilmiyah, 2002).
[16] Pasca masa Ibnu S{ala>h}}, para sarjana hadis mulai mengembangkan teori mutawa>tir dan mulai mengumpulkan hadis-hadis yang termasuk kategori mutawa>tir. G.H.A. Juynboll, “(Re) Appraisal of Some Technical Term in Hadith Science”, Islamic Law and Society, VIII, 2001, hlm. 327. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis Versi Muhaddisin dan Fuqaha  (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 131.  
Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj