Teori
mutawa>tir yang tercakup dalam teologi (ilm al-Kala>m),
metodologi hukum Islam (us}u>l al-Fiqh), dan kritik hadis (‘ulu>m
al-H{adis\), pada dasarnya dalam perspektif historis, menurut Husyein
Hansu, kemunculannya bisa dikatakan bermula dari diskursus keilmuan teologi
pada abad kedua hijriyah, meskipun pada saat sekarang para sarjana sudah tidak
lagi menunjukkan pemakaiannya dalam konsep teologi. Terma ini kemudian baru
digunakan pada metodologi hukum Islam. Terakhir, keilmuan hadis pun ikut
memakai istilah ini pada era-era setelahnya.[1]
Teolog
dari kalangan Mu’tazilah merupakan sarjana muslim pertama yang mencoba untuk
mengembangkan sebuah epistemologi yang akan menciptakan perangkat aturan
koheren untuk menentukan basis keyakinan yang kuat. Teks teologi Islam klasik
melaporkan bahwa komunitas Bara>himah, Sumaniyyah, dan Sophist menurut
cerita menjunjung tinggi ide aliran dalam filsafat modern yang menolak
transmisi pengetahuan religius dan wahyu, disebabkan karena mereka bukanlah
subjek yang mengalaminya. Menurut pandangan mereka, subjek yang berasal dari
luar alam pengalaman manusia tidak bisa diketahui. Lantas karena hal tersebut,
maka pengetahuan religius tidak bisa dikategorikan sebagai pengetahuan (knowledge).[2]
Untuk
menyangkal teori ini, kalangan Mu’tazilah berusaha keras untuk membuat basis
epistemologi yang kuat bagi pengetahuan religius. Mereka berargumentasi bahwa
keyakinan yang kuat bisa diperoleh hanya dari sumber pengetahuan yang dapat
dipercaya yang bukan termasuk subjek yang diragukan. Keyakinan haruslah
didasarkan pada pengetahuan yang pasti. Untuk mendapat-kannya, pengetahuan yang
pasti haruslah berdasar pada bukti, yakni h}ujjah atau burha>n.[3]
Menurut
para sarjana teologi (Mu’tazilah), manusia bisa mendapatkan pengetahuan tentang
eksistensi Tuhan dan alam semesta melalui indera, khabar yang dapat
dipercaya atau melalui rasio. Tiga hal inilah merupakan sumber pengetahuan yang
objektif.[4]
Eksistensi atau kebenaran hanya dapat diketahui melalui tiga sumber tersebut.
Pengetahuan yang diperoleh melalui satu dari ketiga hal tersebut dianggap
sebagai kebutuhan dan kepastian. Bagi manusia untuk mendapatkan kebenaran, tiga
sumber tersebut sangat dibutuhkan, sebab tak satupun dari ketiganya tergolong
dari yang lain. Dengan kata lain, satu sama lain saling melengkapi.[5]
Pengetahuan yang
berasal dari rasio tidak dapat dicapai melalui persepsi indera atau vice
verca. Begitu pula pengetahuan yang berasal dari khabar tidak bisa
diperoleh dari rasio dan persepsi indera. Indera merupakan sumber pengetahuan
tentang dunia fisik, dan khabar adalah sumber pengetahuan masa lampau.
Untuk memahami alam metafisika, seseorang harus memiliki penolong untuk
kesimpulan yang rasional atau khabar dari Nabi.[6]
Khabar sendiri memiliki dua kemungkinan
antara benar dan bohong.[7]
Karena masih punya dua kemungkinan ini, maka sarjana muslim memberikan
kualifikasi dengan perkataan khabar al-S{a>diq (berita dari orang
yang terpercaya) atau khabar s}a>diq (berita yang terpercaya).[8]
Dijelaskan juga bahwa pada dasarnya Kala>m Tuhan tidak mengandung
kebohongan. Sebaliknya, pada dasarnya pula khabar dari sumber yang
meragukan tidak mengandung kebenaran.[9]
Khabar sendiri memiliki dua bentuk, yakni ah}a>d dan mutawa>tir.
Pembuktian
bahwa sebuah khabar merupakan sumber pengetahuan yang dapat dipercaya
berkaitan erat dengan pembuktian kebenaran kenabian. Hal ini berpijak pada
komunitas Bara>himah dan Sabeans, yang menolak ide kenabian sebagai sesuatu
yang tidak sesuai dengan rasio. Menurut mereka, mustahil untuk mengetahui
kebenaran seorang yang mengklaim sebagai Nabi, sebab klaim kenabiannya hanya
bersumber dari khabar dirinya sendiri dan khabar dimung-kinkan
benar atau bohong.[10]
Sebagai
usaha untuk membuktikan kebenaran kenabian, para teolog menggu-nakan dua konsep
penting, yakni mu’jizat dan tawa>tur. Mu’jizat adalah kejadian atau
tindakan di luar kebiasaan manusia yang dilakukan oleh Nabi sebagai bukti
kenabiannya. Manusia yang sezaman dengannya menyaksikan mu’jizat ini secara
langsung dan menerima pengetahuan yang tersedia. Pengetahuan ini lantas
ditransmisikan secara mutawa>tir, yakni oleh sejumlah jalur yang
menghalangi segala kemungkinan pemalsuan. Hal ini dibangun untuk membuktikan
realitas kemu’jizatan tersebut bagi orang yang tidak menyaksikannya secara
langsung, baik orang yang hidup semasa ataupun juga orang yang hidup
belakangan, sebab pengetahuan yang ditransmisikan secara mutawa>tir
mengandung kepastian (ilm dharu>ri>).[11]
Dengan demikian, adanya teori mutawa>tir dalam studi Islam, khususnya
teologi dapat dikatakan bermula dari isu-isu tentang pembuktian kenabian
Muhammad.
Karena
ketelitian dan status epistemologi kata-kata Nabi hanya dapat diketahui melalui
teologi, maka isu ini telah didiskusikan secara mendalam oleh para teolog sejak
abad ketiga hijriyah. Misalnya saja, Abu> Hudhayl al-‘Alla>f
(135-235/752-849) yang memakai konsep tawa>tur secara eksplisit dan
mendisku-sikan syarat-syaratnya. Konsep tersebut juga dibicarakan oleh sarjana
yang semasa dengan al-‘Alla>f dan murid-muridnya, seperti Mu’ammar bin
Abba>d al-Sulami> (w. 215/830), Abu> Abd al-Rah}ma>n, dan
Hisya>m al-Fuwa>ti> (w. 227/824).[12]
Lebih
lanjut, pedoman teologi paling klasik memulai kajiannya dengan topik tentang
pengetahuan dan mencurahkan perhatian yang sungguh-sungguh pada evaluasi secara
epistemologis terhadap khabar (ah}a>d-mutawa>tir). Kemudian
evaluasi terhadap khabar ini juga didiskusikan pula dalam metodologi
hukum Islam (us}u>l al-Fiqh), yang dimulai pada abad kedua hijriyah
sebagai dampak dari kemunculannya dalam teologi, semisal al-Sya>fi’i>
(150-204) dalam risalahnya yang bertitel Jima>’ al-‘Ilm. Hal ini
disebabkan karena kekuatan terhadap penguasaan hukum seringkali bergantung pada
otentisitas khabar Nabi dan penentuan status khabar sepenuhnya
penting untuk memperkirakan nilai episte-mologis dari premis-premis hukum.[13]
Dalam
kesarjanaan hadis sendiri, kemunculan teori mutawa>tir tampaknya
memerlukan waktu yang relatif cukup lama. Meskipun teori ini sebelumnya sudah
ada, akan tetapi dalam buku-buku kritik hadis awal, seperti
al-Ra>mahurmuzi> (w. 360/971) dan al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri>
(w. 405/1014)[14]
tidak memakai istilah ini. Kemudian, mulai abad tujuh hijriyah, teori ini baru
dipakai dalam skala yang lebih luas. Dimulai pada era Ibn al-S{ala>h}
al-Syahrazu>ri> (w. 643/1245),[15]
yang merujuk pada kalangan sarjana us}u>l, mulai mengkaji konsep
tersebut dan mengaplikasinya pada hadis, yang kemudian juga membaginya dalam
dua kategori, yakni mutawa>tir lafz}i> dan mutawa>tir ma‘nawi>.
Secara general, diakui bahwa mutawa>tir ma‘nawi>
lebih banyak daripada mutawa>tir lafz}i>.[16]
[1] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 384.
[2] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 385. Lihat juga Abu> ‘Abdilla>h
al-Katta>ni>, Naz}m al-Mutana>s\ir..., hlm. 13.
[3] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 385.
[4] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 385.
[5] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 386.
[6] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 386.
[7] Abu> H{a>mid
al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}ul (Beirut: Da>r
Kutub Ilmiyah, 2010), hlm. 172.
[8] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 387.
[9] Abu> H{a>mid
al-Ghaza>li>, al-Mustas}fa> min ‘Ilm al-Us}ul..., hlm. 172.
[10] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 388.
[11] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 388-389.
[12] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 389-390.
[13] Huseyin Hansu “Notes on
the Term Mutawa>tir...”, hlm. 390.
[14] Al-H{a>kim hanya
menjelaskan perihal hadis masyhu>r dan ghari>b saja.
Al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri>, Ma’rifah ‘Ulu>m al-H{adi>s\ wa
Kamiyyati Ajna>suhu> (Beirut: Da>r Ibnu H{azm, 2003).
[15] Ibnu S{ala>h}}
sendiri mencantumkan hadis mutawa>tir termasuk bagian hadis masyhu>r.
Ibnu S{ala>h}}, Ma’rifah Anwa>’ fi> ‘Ilm al-H{adi>s\ (Muqaddimah
Ibnu S{ala>h}) (Beirut: Da>r Kutub al-‘Ilmiyah, 2002).
[16] Pasca masa Ibnu S{ala>h}},
para sarjana hadis mulai mengembangkan teori mutawa>tir dan mulai
mengumpulkan hadis-hadis yang termasuk kategori mutawa>tir. G.H.A.
Juynboll, “(Re) Appraisal of Some Technical Term in Hadith Science”, Islamic
Law and Society, VIII, 2001, hlm. 327. Hasjim Abbas, Kritik Matan Hadis
Versi Muhaddisin dan Fuqaha
(Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 131.