QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Kamis, 12 Januari 2012

MELACAK AKAR-AKAR PEMIKIRAN HADIS SHĀH WALIYULLĀH AL-DIHLAWĪ TENTANG SUPERIORITAS KITAB AL-MUWATTHĀ’ KARYA IMĀM MĀLIK


A.     PENDAHULUAN
            Rasulullah mengibarkan panji-panji Islam di saudi arabia selama 23 tahun, baik di Makkah maupun di Madinah. Selama itu pula beliau susah payah memberikan cahaya terang bagi kegelapan yang menimpa orang-orang kafir. Di Makkah, Nabi mempunyai posisi sebagai pemuka agama. Akan tetapi berbeda dengan yang terjadi Madinah. Di sana, Rasul memiliki double position, yakni sebagai pemuka agama sekaligus sebagai pemimpin negara.  
            Sepeninggal Nabi Muhammad yang wafat pada tahun 632 M, tampuk kepemimpinan Islam dipegang oleh Khalifah Abu bakar al-Shiddiq. Ia melanjutkan estafet penyiaran Islam ke berbagai wilayah. Pada masa ini, dimulailah ekspansi ke luar Arab, yang kemudian dilanjutkan oleh Khalifah-khalifah selanjutnya, baik itu Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta dinasti Umayyah dan Abbasiyah.
            Ekspansi Islam juga sampai ke tanah India. Jika diruntut secara historis, ekspedisi muslim pertama ke India sudah diusahakan 15 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad saw. Sejak itu pula, bangsa arab membanjiri negara ini dari arah barat laut sampai abad ke-18. Beberapa diantara mereka menetap di sana selama-lamanya dan mengadakan pemerintahan yang dipengaruhi oleh kebudayaan Islam.[1] Dari situlah muncul wajah Islam yang menghiasi negeri yang terkenal dengan taj mahalnya itu.
            Pada abad ke-18 di negeri ini muncul seorang ulama yang mempunyai pengaruh yang sangat kuat, seorang ulama yang banyak memperoleh hal-hal mistis, seorang ulama yang muncul sebagai pembaharu. Dia adalah Shāh Waliyullāh al-Dihlawī. Ulama satu ini sangat produktif dalam karya tulis. Banyak kitab dalam berbagai kajian ilmu telah ia ukir, termasuk kajian hadis. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan dipaparkan mengenai pemikirannya dalam bidang hadis serta pembahasan yang lebih spesifik mengenai superioritas al-Muwatthā’ dalam pandangannya.    
B.     BIOGRAFI SHĀH[2] WALIYULLĀH AL-DIHLAWĪ
            Nama lengkapnya adalah Quṭb al-Dīn[3] Aḥmad bin Abd al-Raḥīm bin Wājih al-Dīn al-Syahīd bin Mu’aẓam bin Manṣūr bin Aḥmad bin Maḥmūd bin Qiwām al-Dīn al-Dihlawī. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4 Syawal 1114 H. atau 21 Februari 1704 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat Delhi.[4] Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Aurangzeb wafat (w. 1707), sementara pengganti berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik. Ketika kematian Aurangzeb ini terjadi, al-Dihlawī  berusia empat tahun. Adapun transformasi ide dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi.[5]
            Waliyullāh al-Dihlawī merupakan anak dari isteri kedua ayahnya. Pada saat menikah dengan ibunya, ayahnya (Shāh Abd al-Raḥīm) berusia 60 tahun. Walaupun menerima kecaman dari beberapa orang sebab menikah di usia senja, akan tetapi ia mantap untuk melakukannya. Hal ini dikarenakan ia mendapat isyarat mistik bahwa akan mendapatkan seorang anak yang mencapai derajat mistik yang lebih tinggi. Kenyataanya, Shāh Abd al-Raḥīm masih hidup sampai al-Dihlawī berusia 17 tahun dan malah mendapatkan seorang anak laki-laki lain yang ia namai Ahlullāh. Diceritakan pula, ibu al-Dihlawī adalah anak dari murid ayahnya sendiri yang bernama Syekh Muhammad.[6]    
            Dari sisi genealogisnya (nasab), al-Dihlawī hidup dalam keluarga yang mempunyai sislsilah keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya (Syaikh Wājih al-Dīn) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir dan pembantu Awrangzeb[7] (1658-1707 M.) dalam perang perebutan tahta. Sementara ayahnya, Syaikh Abd al-Raḥīm (w. 1719 M./1131 H.), adalah seorang yang mempunyai keilmuan yang sangat tinggi, sufi yang membantu penyusunan kitab Fatāwa-I-Alamghiri, sebuah buku tentang hukum Islam. Selain itu, ia juga menjadi ustadz di Madrasahnya sendiri “al-Rahīmiyah”, sebuah Madrasah yang mencetak banyak regenerasi mujaddid (pembaharu), termasuk Shāh Waliyullāh al-Dihlawī. Apalagi jika nasabnya diruntut ke atas maka akan sampai pada Khalifah Umar bin Khattāb dari jalur Abdillāh.[8] Sementara dari jalur ibunya, maka ia akan sampai pada Mūsā al-Kāẓīm (w. 1294 M.), Imam ketujuh dari golongan Syiah Iṡna Asyariyah. Dengan demikian ia termasuk keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.[9]
            Al-Dihlawī menikah di usia 14 tahun dengan anak paman dari pihak ibunya (Syaikh Ubaidllāh) yang bernama Fatimah atas desakan ayahnya. Perihal pernikahannya yang terburu-buru tersebut terdapat alasan yang dirahasiakan. Dan memang setelah pernikahannya tersebut banyak kerabatnya yang meninggal berturut-turut, sehingga jika ia tidak segera menikah mungkin saja ia akan menunggu dalam waktu yang cukup lama atau bahkan pernikahannya akan dibatalkan.[10]  
            Tatkala ia berusia 15 tahun, ayahnya menerima al-Dihlawī sebagai murid dalam tariqat Naqsyabandiyah dan ia mulai menjalankan pelatihan dan amalan sufi. Pada umur itu pula al-Dihlawī menyelesaikan sekolahnya dalam bidang agama Islam dan diizinkan oleh ayahnya untuk mengajar teman-temannya.[11]
            Menurut Sayyid Sābiq,[12] perjalanan intelektual Shāh Waliyullāh al-Dihlawī paling tidak terbagi menjadi tiga tahap. Pertama, menghafalkan al-Qur’an dan ia sanggup melakukannya pada usia tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti linguistik (luġah), tafsir, hadis, fikih, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq, kedokteran, filsafat, dan matematika. Ia memulai belajar pada usia sepuluh tahun dan dapat menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalanan menunaikan ibadah haji sekaligus mengembangkan karir intelektual ke Hijaz selama kurang dari dua tahun (14 bulan).[13] Ia pergi ke Hijaz pada tahun 1143 H./1731 M. (selang beberapa waktu setelah ayahnya meninggal) dan kembali ke tanah kelahirannya, India pada tahun 1145 H./1733 M.[14] Sehingga bisa dikatakan perjalanannya dilaksanakan pada umur 29 tahun.
            Masa tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawī dan kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada sejumlah guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abū Thāhir al-Kurdi al-Madani (w. 1733 M.), Syekh Wafd Allāh al-Makki al-Mālikī, dan Syekh Tāj al-Dīn al-Qala’i al-Hanafī.[15] Guru-gurunya memperkenalkan kepada al-Dihlawī kecenderungan meningkatnya kosmopolitanisme dalam ilmu hadis yang mulai muncul di sana pada abad ke-18 sebagai perpaduan dari tradisi kajian dan penilaian dari Afrika Barat, Suria, dan India.[16] Di Hijaz ini pula, ia banyak memperoleh pengalaman mistik, seperti mimpi bertemu Nabi. Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Nabi dan dijawab dengan lugas. Kemudian diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Nabi tersebut.[17]
            Barangkali dari pengembaraan intelektual di Hijaz itulah al-Dihlawī terinspirasi ide pembaharuan dari kaum pembaharu yang gencar-gencarnya dicuatkan pada waktu itu. Sehingga tak ayal, slogan “Back to Qur’an and Sunna” dan menghilangkan taqlid buta menjadi inti pemikirannya.[18] Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa orang Islam harus berpegang teguh pada al-Qur’an, sunnah, dan aqidah, serta amalan mayoritas sahabat dan tabi’in.  
            Menurut al-Dihlawī pula, “Back to Qur’an and Sunna” menjadi solusi atas problematika yang menghadang umat Islam di India, semisal para elit pemerintahan yang gemar hidup berfoya-foya, pemberontakan-pemberontakan dari dalam, serangan-serangan dari luar, bahkan tingkah laku ulama yang jumud dan para sufi yang cenderung menyia-nyiakan ketentuan syari’at.[19]
Shāh Waliyullāh al-Dihlawī memiliki dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya beberapa saat setelah kepulangannya dari Hijaz. Dari isteri pertamanya,  ia mendapatkan seorang putra  bernama Shāh Muhammad (1730-1793)[20] dan seorang putri bernama Ammatul Aziz. Sedangkan dari isteri keduanya, al-Dihlawī memperoleh empat orang putra (Shāh Abdul Aziz Muhaddith Dehlavi, Shāh Rafi’ al-Din,  Shāh Abdul Qadir, dan  Shāh Abdul Ghani) dan seorang putri. Melalui merekalah, terutama putranya, Shāh Abdul Aziz (w. 1823), Shāh Rafi’ al Din (w. 1818) , serta cucunya, Shāh Ismail Syahid (w. 1831) ajaran beliau  tersebar ke sebagian besar wilayah India.[21] Ia wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762 dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya.[22]
Karya-karya yang telah diukir oleh Ulama multidisipliner ini sangat banyak. Zafrul Islam Khan menyebutkan bahwa kitab karangan Shāh Waliyullāh al-Dihlawī berjumlah 100 buah yang mencakup berbagai varian ilmu, mulai al-Qur’an, hadis, tarikh, fikih, usul fikih, tasawwuf, filsafat, dan politik. Hasil karya tersebut ditulis dalam bahasa Arab maupun persia dan kebanyakan dibuat setelah rihlah ilmiyah selama 14 bulan di Hijaz, termasuk Ḥujjah Allāh al-Bāliġah[23] yang memuat metodologi pemahaman hadis al-Dihlawī. J.M.S. Baljon menyebutkan ada dua karya al-Dihlawī yang dikarang sebelum keberangkatannya ke Hijaz. Dua karya tersebut adalah al-Qasīda al-Lāmiya (lirik puisi, bahasa arab) dan al-Qawl al-Jamīl fī Bayān Sawā’ al-Sabīl (kualifikasi-kualifikasi sufi, bahasa arab).[24]
C.      PEMIKIRAN HADIS AL-DIHLAWĪ
            Definisi hadis menurut al-Dihlawī tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, yakni segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan (Qaul), perbuatan (Fi’il), maupun ketetapan beliau (taqrīr).[25] Eksistensi hadis sangat penting, sebab seseorang tidak akan bisa mengetahui syariat dan hukum-hukum Allah kecuali melalui hadis Nabi. Dalam hal ini, ia membagi hadis ke dalam dua kategori, yaitu Risālah dan Ģairu Risālah.
            Kategori pertama (Risālah), yaitu hadis yang disampaikan dengan jalan risalah (mā sabīluhū sabīlu tablīgh al-Risālah). Hadis ini muncul dari diri Nabi sebagai pembawa Risalah dan harus ditaati. Sebab bisa dikatakan bahwa apa yang diterima Nabi pada kedudukan tersebut merupakan wahyu atau juga ijtihad Nabi atas bimbingan wahyu. Adapun dasar yang dipakai dalam merumuskan hal tersebut adalah QS. Al-Hasyr ayat 7.
وما اتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فنتهوا
“Apa yang diberikan Nabi kepadamu maka ambillah, dan apa yang ia larang maka jauhilah” QS. Al-Hasyr ayat 7.

            Selanjutnya, menurut al-Dihlawī jenis hadis yang masuk dalam kategori Risālah adalah sebagai berikut:[26]
1.      Ilmu-ilmu tentang hari akhirat dan keajaiban-keajaiban yang tidak dapat dicapai oleh manusia biasa. Semua hal ini berdasarkan wahyu dari Allah.
2.      Aturan-aturan syariat, batasan-batasan ibadah, dan masalah-masalah irtifāqat (muamalah sesama manusia). Sebagian dari hal yang disebutkan merupakan hasil wahyu yang diberikan Allah. Sementara sebagian yang lain adalah hasil ijtihad Nabi Muhammad yang setingkat dengan wahyu, sebab Allah melindungi beliau dari pemikiran yang salah.
3.      Kebijakan-kebijakan praksis (Hikam mursalah) dan kemaslahatan mutlak yang Nabi tidak menetapkannya untuk waktu tertentu dan tidak pula menentukan batasannya, seperti penjelasan Nabi tentang yang baik dan buruk. Hal ini termasuk ijtihad Nabi, akan tetapi Allah sebelumnya telah memberikan prinsip-prinsip irtifāqat atau bisa dikatakan berdasarkan bimbingan wahyu. Seperti penjelasan tentang baik dan buruk.
4.      Keutamaan-keutamaan perbuatan dan sifat-sifat istimewa dari orang yang berbuat kebajikan. Menurut al-Dihlawī, sebagian dari hal ini berdasar pada wahyu dan sebagian lainnya berdasarkan pada ijtihad Nabi.
            Kategori kedua (Ģairu Risālah) adalah hadis yang tidak termasuk dalam jalan penyampaian risalah (mā laisa min bāb tablīgh al-Risālah). Jika Nabi berada dalam posisi ini, maka tidak wajib ditaati, sebab kapasitasnya adaah sebagai manusia biasa. Pengetahuan yang dimiliki Nabi diperoleh melalui pengalaman. Al-Dihlawī menyandarkan pendapatnya ini pada dua hadis Nabi.
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ قَالَ عِكْرِمَةُ أَوْ نَحْوَ هَذَا قَالَ الْمَعْقِرِيُّ فَنَفَضَتْ وَلَمْ يَشُكَّ
“Aku hanyalah manusia biasa, jika aku memerintah kalian dalam urusan agama maka ambillah, dan jika aku memerintah sesuatu menurut pendapatku sendiri, maka sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa.”[27]
فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku hanya membuat perkiraan, maka jangan kalian mencelaku dengan pendapatku ini. Namun, jika aku memberitahumu tentang sesuatu mengenai Allah, maka terimalah. Sebab aku tidak akan pernah berdusta mengenai Allah Azza wa Jalla”.[28]
            Menurut al-Dihlawī, yang termasuk dalam kategori ini adalah:[29]
1.      Ilmu-ilmu tentang pengobatan (medis), misalnya bekam.
2.      Ilmu-ilmu yang didapatkan melalui pengalaman, seperti pesan yang tercakup dalam hadis “Akan lebih baik jika kalian terdorong untuk memperoleh (yang terbaik untuk jihad) seekor kuda hitam yang punya cahaya keputih-putihan di dahinya”.  
3.      Segala hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan Nabi dan bukan masalah ibadah (ritual keagamaan), misalnya cara tidur Nabi.
4.      Berbagai topik yang biasa Nabi bicarakan layaknya pembicaraan orang kebanyakan, misalnya obrolan Zaid bin Sabit dengan Nabi tentang makanan.
5.      Segala hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya juz’iyyah (temporal) dan bukan sebagai kebijakan yang berlaku selamanya bagi seluruh umat, seperti hadis tentang ramal.[30]
            Sebagai seorang intelektual dan mistikus yang sebenaranya lebih concern di bidang hukum Islam, Shāh Waliyullāh al-Dihlawī menyebutkan bahwa dalam apa yang datang dari syāri’ (pembuat hukum) – termasuk hadis Nabi -- mengandung dua jenis ilmu, yakni maṣālih (kemaslahatan) dan syarā’i (hukum agama). Dua hal ini mempunyai kedudukan dan derajat yang berbeda-beda. Pertama, ilmu tentang kemaslahatan dan kerusakan (al-Maṣālih wa al-Mafāsid), yakni sesuatu yang dijelaskan dengan upaya pembersihan jiwa dengan melakukan berbagai aktifitas kebaikan dan menghindarkan akhlak yang tercela. Karena itu, urusan-urusan yang berkenaan dengan tentang pengaturan rumah tangga, pemenuhan kebutuhan hidup, urusan pengaturan kota tidak pernah ditetapkan dengan ukuran dan standart tertentu. Misalnya Nabi memuji keberanian dan kepandaian seseorang. Beliau tidak menjelaskan definisi kepandaian dan keberanian seseorang sehingga bisa disebut pandai. Kedua, ilmu tentang syariat, hukuman-hukuman (hudud), dan kewajiban-kewajiban (farāiḍ), yakni segala sesuatu yang dijelaskan oleh syariat dengan cara menentukan ukuran kebaikan di dalam sesuatu yang dipersangkaan adanya maslahah dan tanda-tanda tertentu. Lantas menjalankan hukum pada tempat yang dipersangkaan adanya maslahah tersebut, membebani manusia dengan aturan tersebut, dan menentukan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara pelaksanaannya.[31]   
        Al-Dihlawī juga menjelaskan tentang cara masyarakat menerima syariat dari Rasulullah. Pertama, melalui jalur periwayatan berupa riwayat mutawatir atau tidak mutawatir. Riwayat mutawatir sendiri terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir ma’nawi dan mutawatir lafdzi. Mutawatir lafdzi contohnya adalah al Qur’an dan sebagian kecil hadis nabi. Sedangkan mutawatir ma’nawi seperti aturan-aturan mengenai bersuci, shalat, puasa, zakat, pernikahan, jual-beli dan lain sebagainya. Sedangkan riwayat yang tidak mutawatir (ahād), menurut al-Dihlawī yang paling tinggi ialah hadis mustafid,[32] yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga atau empat orang sahabat, kemudian para periwayatnya bertambah banyak hingga generasi kelima, dan riwayat ini paling banyak dijumpai. Dari hadis inilah kebanyakan diolah menjadi pokok-pokok fikih.[33]
      Kategori riwayat berikutnya adalah riwayat (khabar) yang dinilai sahih atau hasan menurut para ulama’ hadis terkenal - karena mereka telah hafal banyak hadis - dan orang-orang besar di antara mereka. Kategori riwayat berikutnya adalah riwayat (khabar) yang dinilai sahih atau hasan menurut para ulama’ hadis terkenal - karena mereka telah hafal banyak hadis - dan orang-orang besar di antara mereka. Selain itu terdapat pula riwayat yang diperselisihkan (di kalangan ulama’ hadis), sehingga sebagian dari mereka menerima dan sebagian lagi menolaknya. Menurut al Dihlawi juga di antara hadis-hadis tersebut jika didukung oleh periwayatan yang sama atau pendapat kebanyakan ulama’ atau mengandung pemahaman yang jelas; hadis-hadis semacam itu harus diamalkan.[34]
      Kedua, mengambil syariat dengan memahami dilālah, yakni sahabat menyaksikan perkataan dan perbuatan Rasulullah, kemudian mereka mengambil hukum dari hal tersebut. Praktek semacam ini berlangsung turun temurun mulai era sahabat, tabi’in, dan generasi ketiga (tabiut tabi’in).[35]
      Menurut al-Dihlawī, kedua metode ini mempunyai kelemahan. Metode pertama, yaitu dengan memahami secara lahir kelemahannya adalah akan masuknya periwayatan secara makna (bi al-Ma’na),[36] sehingga  kadang bisa merusak makna suatu hadis. Adapun kelemahan yang dimiliki cara kedua ialah terlibatnya ijtihad para sahabat, tabi’in, dan lainnya dengan deduksi hukum yang mereka ambil dari al Qur’an dan hadis, sedangkan mereka tidak selalu benar dalam setiap keadaan. Karena terkadang suatu hadis tidak sampai kepada salah seorang di antara mereka, atau sampai namun belum cukup kuat untuk dijadikan hujjah, kemudian keadaan sebenarnya diketahui melalui riwayat lain. Oleh sebab itu, menurut al-Dihlawī seseorang yang berkecimpung di bidang hukum Islam harus menguasai keduanya. Dalam konteks ini pula, al-Dihlawī  menyatakan bahwa kesepakatan sebagian sahabat tidak bisa dijadikan salah satu sumber syariat (ushul syar’i). Hal ini terjadi karena seringkali di antara para sahabat bersepakat mengenai sesuatu karena pemikiran rasional yang menunjukkan kemanfaatan.[37]
      Pada era sekarang, menurut al-Dihlawī satu-satunya cara untuk menerima riwayat adalah dengan menelitinya dari kitab-kitab hadis secara langsung, sebab tidak ada riwayat yang dipercaya kecuali riwayat tersebut telah dituliskan dalam kitab-kitab hadis yang ada. Dalam hal ini, ia membagi tingkatan kitab-kitab hadis menjadi lima. Pertama, al-Muwatthā’ Mālik (w. 179 H.), shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh Muslim (w. 261 H.).[38]
      Kedua, kitab-kitab hadis yang berada di bawah tiga kitab tersebut, yang diketahui pengarangnya dapat dipercaya, adil, hafalannya kuat, dan mumpuni dalam bidang ilmu hadis, seperti Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī (w. 303 H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.), dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.).[39]
      Ketiga, kitab-kitab musnad, jāmī’, dan muṣannaf yang didalamnya  terdapat hadis sahih, hasan, dhaif, ma’rūf, gharīb, shād, munkar, khata’, ṣawab, ṡabit, dan maqlūb. Kitab yang termasuk kategori ini misalnya Musnad Abī Ya’lā (w. 1034 H.), Muṣannaf Abd al-Razāq (w. 827 H.), Muṣannaf Abū Bakar bin Abī Syaibah (w. 235 H.), Musnad al-Ṭayālīsī (w. 818 H.), kitab al-Baihaqī (w. 458 H.), al-Ṭahawī (w. 321 H.), dan al-Ṭabrānī (w. 360 H.).[40]
      Keempat, Kitab-kitab yang disusun untuk menghimpun hadis-hadis yang tidak termuat dalam kitab tingkatan pertama dan kedua, dan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab jāmī’ dan Musnad yang kurang populer. Lebih jelasnya lagi, kitab yang memuat riwayat yang dari dai yang suka mengoceh, para ahli bid’ah, orang yang tidak dapat dipercaya, atau hadis-hadis yang berupa tradisi sahabat, tabi’in, atau dongeng israiliyat dan lain sebagainya. Misalnya al-Dhu’afā’ Ibnu Hibbān (w. 354 H.), al-Kāmil Ibnu ‘Ādī (w. 976 H.) dan lain-lain.[41]
      Kelima, kitab-kitab yang diantaranya memuat hadis-hadis yang populer atau tersebar luas di kalangan fuqahā’, sufi, ahli sejarah dan selainnya serta tidak memiliki dasar pijakan pada keempat peringkat di atas. Meliputi juga hadis-hadis yang dibuat oleh orang-orang yang tidak memperdulikan agamanya, orang yang mengetahui bahasa hadis kemudian menciptakan mata rantai yang kelihatannya kuat, sehingga dianggap sebagai hadis dari nabi Saw.[42]
      Maka menurut Shāh Waliyullāh al-Dihlawī, hadis-hadis yang ada dalam peringkat pertama dan kedua itulah yang menjadi sandaran para ulama hadis. Sementara untuk hadis pada peringkat ketiga, tidak ada yang mempercayainya sebagai hadis shahih kecuali orang benar-benar mumpuni dalam ilmu hadis. Pada tingkatan keempat, al-Dihlawī menjelaskan bahwa hadis-hadis pada tingkatan ini merupakan objek para penulis belakangan yang menyibukkan diri untuk mengumpulkan hadis-hadis itu atau menarik hukum darinya. Ia menambahkan bahwa kelompok-kelompok seperti Rafidhah, Mu’tazilah, dan yang sepadan dengan mereka banyak memakai hadis jenis ini untuk mendukung pendapat pribadi mereka.[43]      
        Selain itu, Shāh Waliyullāh al-Dihlawī menjelaskan secara panjang lebar tentang metode yang diambil apabila terjadi kontradiksi dalam hadis Nabi. Secara metodologis, cara yang diberikan oleh al-Dihlawī hampir sama seperti ulama hadis pada umumnya. Terdapat empat cara, yakni al-Jam’u (kompromisasi), nasikh-mansukh, tarjih, dan tawaqquf. Al-Dihlawī memberikan eksplansi bahwa metode yang terbaik adalah mengkompromikan hadis yang bertentangan tersebut. Jika tidak bisa terlaksana, maka menggunakan metode nasikh-mansukh. Ia menambahi bahwa proses itu bisa dilaksanakan kalau terdapat bukti (keterangan Nabi) atas hal tersebut atau dengan mengetahui hadis yang lebih akhir dibanding yang lain.[44]
      Setelah itu jika hadis-hadis yang bertentangan benar-benar tidak dapat didamaikan, atapun dibatalkan, maka kedua hadis tersebut tetap dianggap bertentangan, dan langkah berikutnya adalah memilih salah satu dari hadis itu (tarjih), baik dengan meneliti kualitas sanadnya (jumlah perawi pada setiap level sanad, intuisi hukum perawinya, kekuatan mata rantai sanad kepada Nabi, keterlibatan rawi terhadap masalah tersebut), atau dengan meneliti kekuatan matannya (ketegasan dan kejelasannya, meneliti kesesuaian hukum), atau dengan melihat faktor dari luar misalnya, hadis tersebut diterima oleh banyak orang yang berilmu. Begitulah kita memilih satu hadis di antara dua atau beberapa hadis yang bertentangan, namun jika kita tetap tidak dapat menemukan melalui semua cara yang disebutkan di atas, maka menurut Al-Dihlawī sesungguhnya hadis-hadis tersebut tidak memiliki kekuatan, dan fenomena seperti ini sangat jarang ditemukan.[45]         
D.     SUPERIORITAS AL-MUWATTHĀ’ DALAM PEMIKIRAN SHĀH WALIYULLĀH AL-DIHLAWĪ
            Sebagaimana disebutkan dalam paradigma pemikiran hadis Shāh Waliyullāh al-Dihlawī bahwa ia menempatkan kitab al-Muwatthā’ karya salah satu ulama besar Madinah yang hidup pada abad kedua hijriyah ini setara dengan dua kitab hadis yang sudah disepakati kesahihannya oleh mayoritas ulama, yaitu shahīh Bukhārī, dan shahīh muslim. Malah secara tersirat – menurut penulis -- al-Dihlawī terkesan lebih mengunggulkan karya Imam Mālik itu daripada shahīhain. Hal ini didasarkan pada urutan penulisan al-Muwatthā’ lebih didahulukan daripada shahīhain dalam kitab Ḥujjah Allāh al-Bāliġah. Tentunya superioritas ini menimbulkan tanda tanya besar, kenapa ia bisa menyamakannya dengan shahīh Bukhārī, dan shahīh muslim? Apakah kiranya yang menyebabkan peletakkan posisi seperti itu bisa terjadi? Apakah hal memang kualitas al-Muwatthā’ memang benar-benar sama dengan shahīhain?
             Kalau dikaji lebih dalam, ternyata al-Dihlawī banyak memberikan pujian pada al-Muwatthā’.[46] Ia mengutip opini Imam Syafi’i ra. “Kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah al-Muwatthā’             Imam Mālik”. Al-Dihlawī menambahi, para ahli ilmu hadis telah bersepakat bahwa semua hadis di dalamnya adalah shahih menurut Imam Mālik dan orang-orang yang setuju dengannya. Sebagian ulama lain berpandangan bahwa di dalam al-Muwatthā’         tidak ada hadis yang terputus sebelum sampai kepada Nabi (mursal), kecuali jika sanadnya bersambung pada Nabi melalui jalur lain, sehingga karenanya hadis itu dianggap shahih.[47]
             Shāh Waliyullāh melanjutkan pujiannya, terbukti secara historis bahwa lebih dari seribu orang meriwayatkan kitab ini dari Imam Mālik tanpa terputus dan banyak orang yang menempuh perjalanan dari daerah-daerah yang jauh mendatangi Imam Mālik untuk belajar darinya, seperti yang disebutkan Nabi dalam hadisnya.[48] Ia juga seperti membuat sensasi ketika seseorang ingin mendapatkan kebenaran yang nyata dari al-Muwatthā’ ini, maka terlebih dahulu harus dikomparasikan dengan dua karya dari dua murid Abu Hanifah, yaitu Kitāb al-Āṡār karya Muhammad al-Syaibānī dan Amalī karya Abu Yusūf. Maka niscaya akan diperoleh perbedaan yang sangat besar, bagai Timur dan Barat, sebab menurut al-Dihlawī tidak ada ahli hadis atau ahli fikih yang menaruh perhatian pada karya-karya itu.[49]
            Dalam pernyataan al-Dihlawī yang lain disebutkan “Kamu telah mengetahui ketentuan bahwasanya praktek pintu ijtihad telah tertutup, kecuali kamu menghafalkan (menjaga) al-Muwatthā’. Al-Muwatthā’ adalah lebih bersuara, lebih terkenal, dan buku fikih yang paling penting”. tentunya statemen ini sangat menunjukkan pengaruh yang sangat kuat pada diri al-Dihlawī terhadap al-Muwatthā’. Untuk mendukung hal ini, ia memberikan argumentasi tambahan dalam kitabnya “al-Musawwā’”. Al-Dihlawī mengatakan:
1.      Semua hadis yang diriwayatkan dalam al-Muwatthā’ diriwayatkan Nabi melalui Imam Mālik, tidak hanya melalui seorang atau dua orang rawi. Karena itu sanad mereka sangat mudah diteliti, dan transmisinya kebanyakan diketahui dari habitat Madinah yang kebenarannya tidak dipertanyakan oleh pemahaman para Imam.
2.      Semua kitab selain al-Muwatthā’ dikodifikasikan setelah karya Imam Mālik tersebut, seperti shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh muslim (w. 261 H.), Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī (w. 303 H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.), dan Musnad Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.). Kebanyakan dari mereka hanya komentar dari al-Muwatthā’. Oleh sebab itu, sebagai karya yang didukung oleh kebenaran isnad yang lain untuk hadis yang diriwayatkan dalam karya Imam Mālik tersebut adalah mereka marfū’, mursal, dan mauquf.
3.      Imam Syafi’i (w. 204 H.) dan Imam Muhammad bin Hasan al-Syaibāni (w. 185 H.) merupakan dua murid Imam Mālik. Keduanya telah menulis komentar tentang al-Muwatthā’ . Walaupun ide-ide mereka berbeda dari penjelasan yang diberikan oleh karya Imam Mālik. Mereka tidak mempertanyakan mata rantai dari rawi. Karya-karya hadis lain hanya mendukung kepada al-Muwatthā’ dalam hal menambahi isnad yang lebih banyak, dan itu sudah dapat ditemui dalam katya Imam Mālik itu.[50]
               Tak hanya cukup itu saja, dalam bidang kajian hukum Islam, menurut al-Dihlawī jikalau seorang faqīh menemukan ketidaksepahaman dengan dalil argumentasi yang digunakan oleh golongan madzhab dalam kasus tertentu, maka seharusnya mereka kembali pada kitab al-Muwatthā’ Mālik (w. 179 H.), kemudian pada shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh muslim (w. 261 H.) dan kepada Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.) dan Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.).[51] Stratifikasi ini tentunya memberikan pemahaman bahwa al-Dihlawī memang benar-benar memposisikan al-Muwatthā’ begitu superior dibanding karya-karya kitab hadis lainnya. Bahkan seolah olah, ia menjadikan kedudukan  al-Muwatthā’ berada di bawah al-Qur’an.
E.      SUPERIORITAS AL-MUWATTHĀ’; MELACAK AKAR-AKAR PEMIKIRAN
            Dalam mengkaji pemikiran seseorang, sangat penting mempertimbangkan kondisi sosio-historis yang ada di sekitar orang itu ketika ia hidup. Sehingga kita tidak akan terjebak pada pemahaman yang bersifat tekstual-legal-formal dan implikasi lebih jauhnya, akan mengakibatkan persepsi bahwa apa yang disampaikan selalu benar atau bisa terkesan sangat “aneh” jika bersebrangan dengan pendapat mayoritas. Padahal pemikiran yang diberikan sebenarnya sangatlah berkolerasi dengan keadaan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dimana ia hidup. Apa yang ia alami, apa yang dia peroleh, dan apa yang dilakukan sangat mempengaruhi ide yang dicuatkannya.
            Begitu pula ketika mengkaji salah satu pemikiran hadis Shāh Waliyullāh al-Dihlawī, yakni superioritas kitab al-Muwatthā’ Mālik dalam tingkatan kitab-kitab hadis. Bahkan bisa dikatakan bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada shahīh Bukhārī dan shahīh muslim. Tentunya apa yang diwacanakan menjadi sangat problematik, sebab sudah tak diragukan lagi sebenarnya shahīh Bukhārī dan shahīh muslim dalam pandangan jumhur menjadi kitab nomero uno, kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Maka untuk itu, pembacaan secara historis-kriris haruslah diterapkan untuk menyelesaikan masalah ini.   
            Sebenarnya pemikiran yang sangat mengunggulkan kitab al-Muwatthā’ sangat terkait dengan kondisi ketika dia menjalani perjalanan ibadah haji serta pengembangan inteletual di Hijaz (Makkah dan Madinah). Sebagaimana disebutkan di awal bahwa lamanya al-Dihlawī menetap di sana selama 14 bulan. Dalam jangka waktu selama itu, ia belajar banyak hal, terutama menyangkut kajian hadis yang memang sangat berkembang pesat di Hijaz saat itu (abad ke-18). Di Makkah, al-Dihlawī membaca al-Muwatthā’ pada Wafd Allāh al-Makki al-Mālikī dan diperbolehkan oleh Syekh Tāj al-Dīn al-Qala’i al-Hanafī, mufti Makkah pada saat itu untuk mengkaji lebih dalam al-Muwatthā’.[52] Dua guru al-Dihlawī tersebut merupakan dua dari tiga gurunya yang paling berpengaruh dalam diri Shāh Waliyullāh sebagaimana disebutkan dalam salah satu bukunya “Anfās al-Ārifīn”.[53] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa di Hijaz inilah al-Dihlawī terpesona dan memberikan perhatian khusus pada kitab karangan Imam Mālik tersebut.
            Kecenderungan terhadap al-Muwatthā’ ini juga termanisfestasikan dalam kepengarangan kitab-kitab al-Dihlawī selanjutnya. Tercatat dua kitab yang ditulis oleh al-Dihlawī tentang al-Muwatthā’, dua kitab itu berisi syarah atau ulasan atas kitab tersebut, yakni al-Musawwā’ dan al-Mushaffā’. Dua kitab ini dikarang oleh al-Dihlawī setelah pulang dari Hijaz. Jadi sangat mungkin keterpengaruhan yang sangat kuat dari kitab karangan Imam Mālik berasal dari Hijaz, terutama saat berada di Makkah.
   Jika dilacak lebih jauh, maka akan terasa lebih jelas dan gamblang mengapa al-Dihlawī lebih memilih al-Muwatthā’ ketimbang kitab yang lain. Pada umur 17 tahun, ia mendapatkan julukan faqīh-muhaddiṣ, saat menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin dari Madrasah ayahnya (al-Rahīmiyah).[54] Sehingga tak akan aneh jika kecenderungan yang ada pada dirinya lebih mengarah pada hukum Islam dan hadis. Sementara kita ketahui sendiri bahwa kitab al-Muwatthā’ sebenarnya berkonten antara fikih dan hadis. Bahkan sempat menimbulkan perdebatan, apakah ia merupakan kitab hadis ataukah fikih. Dalam masalah ini, Abu Zahra berpendapat bahwa al-Muwatta’ adalah kitab fikih. Adapun mengenai argumentasi yang dipegang adalah karena tujuan Imam Mālik mengumpulkan hadis adalah untuk melihat fikih dan undang-undangnya dan bukan kesahihannya. Selain itu, Imam Mālik menyusun kitabnya berdasarkan bab fikih. Senada dengan itu, Ali Hasan dan Abdul Qadir juga melihat al-Muwatta’ sebagai kitab fikih sebagai dengan dalil hadis. Sebab tradisi yang dipakai adalah tradisi kitab fikih yang sering kali hanya menyebut sebagian sanad atau bahkan tidak menyebut sanadnya sama sekali adalah dalam rangka kepraktisan atau keringkasan.[55]
   Sikap agak moderat muncul dari Abu Zahwu. Ia berpendapat bahwa kitab ini bukan semata-mata kitab fikih, tetapi sekaligus kitab hadis, karena sistematika fikih juga dipakai dalam kitab-kitab hadis lain, disamping Imam Mālik sesekali juga mengadakan kritik melalui pendapat beliau dalam mengomentari sebuah riwayat hadis dan juga menggunakan kriteria-kriteria dalam menyeleksi hadisnya.[56]
            Lepas dari perdebatan tersebut, bisa diambil benang merah bahwa al-Muwatthā’ mempunyai aspek-aspek yurisprudensi Islam (fikih) yang sangat kuat, selain sebagai kitab hadis. Oleh sebab itu, sangat wajar jika al-Dihlawī lebih menyukai al-Muwatthā’ dari pada kitab lainnya. Karena hal ini sangat berkesesuaian dengan kecenderungan yang melekat pada dirinya, yaitu fikih dan hadis.  
F.      KOREKSI ATAS PEMIKIRAN SHĀH WALIYULLĀH AL-DIHLAWĪ
            Menurut penulis, perlu adanya pembahasan lebih dalam pada al-Muwatthā’ ini serta aspek-aspek yang bertalian dengannya. Sehingga perlu adanya koreksi atas pandangan al-Dihlawī ini. Dari penuturan yang diberikannya dalam kitab “al-Musawwā”, bisa dipahami secara mudah bahwa al-Dihlawī argumentasi yang dipaparkan untuk mendukung superioritas al-Muwatthā’ adalah karena penulisan kitab Imam Mālik tersebut lebih awal masanya daripada shahīhain.
            Hal ini tentunya menimbulkan kerancuan tersendiri, sebab secara jelas dijelaskan dalam paradigma keilmuan hadis bahwa karya Bukhārī dan Muslim lebih baik. Dua kitab tersebut mencakup konten-konten yang lengkap, seperti tauhid, fikih, sejarah, etika dalam hidup, tafsir, dan lain-lain. Selain itu juga, kriteria kesahihannya pun lebih bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini berbanding terbalik dengan yang hanya konsen pada pembahasan-pembahasan fikih. Ditambah lagi, bukan hanya hadis Nabi saja yang ada di dalamnya, ada pendapat sahabat, qaul tabi’in, ijma’ ahlul Madinah, serta pendapat Imam Mālik sendiri. Kriteria penyaringan hadisnya pun masih dipertanyakan, walaupun pada era selanjutnya terdapat ulama yang mencoba me-muttasil-kan hadis-hadis yang munqathi’, mursal, dan mu’ḍal yang ada di dalamnya, semisal Sufyān bin Uyainah, Sufyān al-Ṡaurī, dan Ibnu Abī Zi’bī.[57] Semua hal itulah yang menyebabkan dalam pandangan jumhur, karya Bukhārī dan Muslim menjadi number one daripada kitab hadis lain dan bahkan tidak memasukkan al-Muwatthā’ dalam kutub al-Sittah (kitab babon enam).[58] Mungkin penilaian yang paling tepat untuk al-Muwatthā’ adalah kitab yang paling shahih sebelum munculnya shahīhain.   
            Mengenai opini Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa Kitab paling shahih setelah al-Qur’an adalah al-Muwatthā’ Imam Mālik sebenarnya membutuhkan analisis lebih jauh. Dalam hal ini, kiranya perlu adanya penelusuran historis. Sebagaimana yang tertulis dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada tahun 150 sampai 204 H. Pada masa itu belum muncul kitab-kitab hadis yang kita kenal sebagai kutub al-Sittah yang banyak memuat hadis shahih (shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh Muslim (w. 261 H.), Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī (w. 303 H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.)). Oleh karenanya sangat wajar jika Imam Syafi’i mengatakan hal demikian. Selain itu juga bisa jadi ia mengucapkan perkataan tersebut dilatarbelakangi untuk menghormati serta memberikan rasa ta’dzim pada hasil karya gurunya itu.     
            Poin terakhir yang perlu dikritisi adalah pandangan al-Dihlawī tentang posisi al-Muwatthā’ dalam kajian hukum Islam. Ia mengatakan bahwa jika diperoleh ketidaksepahaman dengan dalil argumentasi yang digunakan oleh golongan madzhab dalam kasus tertentu, maka seharusnya mereka kembali pada kitab al-Muwatthā’ Mālik (w. 179 H.), kemudian pada Shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan Shahīh muslim (w. 261 H.) dan kepada Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.) dan Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.). Menurut penulis, konsep seperti ini terkesan agak cenderung seperti menaruh rasa fanatisme pada madzhab Maliki. Sebab al-Muwatthā’ adalah karangan Imam Mālik, yang merupakan founding father dari madzhab tersebut. Konten yang ada di dalamnya pun bukan hanya hadis, tetapi juga fikih. Padahal seharusnya jika terjadi ketidaksetujuan, harusnya merujuk pada karya yang benar-benar non-blok atau tidak memihak atau juga bisa dengan mengkomparasikan pendapat-pendapat yang ada. Oleh sebab itu, kiranya menurut penulis akan lebih baik merujuk pada kitab yang lebih netral dan shahih, seperti shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh muslim (w. 261 H.) terlebih dahulu.
            Penulis menambahi, pandangan al-Dihlawī ini sepertinya kontradiksi dengan statemennya yang menyebutkan bahwa kesepakatan sebagian sahabat tidak bisa dijadikan salah satu sumber syariat.[59] Karena sebagaimana diketahui bahwa komposisi al-Muwatthā’ Mālik bukan hanya hadis Nabi saja, ada qaul sahabat, tabi’in, ijma’ ahlul Madinah, bahkan pendapat Imam Malik sendiri.[60] Variasi isi ini lantas apakah tidak menunjukkan ambiguitas pemikiran jikalau terjadi ketidakpuasan malah disuruh merujuk pada al-Muwatthā’? Sementara dari sisi lainnya, ia mengatakan kesepakatan sebagian sahabat tidak bisa dijadikan salah satu sumber syariat?  Seharusnya sumber yang diajukan merupakan kitab yang memuat hadis Nabi secara mayoritas.  
G.     KESIMPULAN DAN PENUTUP
            Berdasarkan seluruh pembahasan yang dipaparkan oleh penulis di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu :
1.      Al-Dihlawī menjadikan posisi al-Muwatthā’ lebih superior dalam tingkatan kitab-kitab hadis disebabkan karena ia lebih tertarik dan mendalami kajian kitab tersebut ketika berada di Hijaz. Interestnya pada karya Imam Mālik itu terkait dengan basic yang dimilikinya lebih cenderung pada fikih-hadis dan itu sangat sesuai dengan karakter kitab al-Muwatthā’.
2.      Perlu adanya koreksi atas pemahaman hadis Al-Dihlawī tentang superioritas al-Muwatthā’ dalam tingkatan kitab hadis supaya tidak terjadi kerancuan secara metodologis, sebab pada hakikatnya shahīhain baik daripada al-Muwatthā’ dan mungkin juga termasuk kutub al-Sittah yang lain.
            Demikian makalah pemikiran hadis kontemporer ini kami buat. Penulis yakin bahwa dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan maupun kecacatan. Oleh sebab itu, penulis meminta bimbingan dan arahan dari bapak dosen serta teman-teman semua.     


                [1] Hassan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, terj. Djahdan Humam (Yogyakarta: Kota Kembang, 1997), hlm. 84.
                [2] Shāh adalah julukan dalam bahasa Persia yang mempunyai arti raja (al-Mulk). Gelar Shāh biasanya diberikan untuk para ulama sufi dan syaikh. Ayah al-Dihlawī, ia sendiri serta seluruh anak keturunannya diberikan julukan tersebut. 
                [3] Nama Quṭb al-Dīn sebenarnya adalah julukan (Laqab). Adanya julukan ini disebabkan karena Syaikh Quṭb al-Dīn al-Bakhtiyar al-Kākī (w. 1236 M.) bermimpi bahwa Syaikh Abd al-Raḥīm (ayah al-Dihlawī) akan mempunyai anak laki-laki yang cerdas dan shalih. Jika mimpi ini benar-benar terjadi, maka Syaikh Quṭb al-Dīn akan sangat senang sekali kalau namanya dipakai oleh anak tersebut. Ternyata benar, Syaikh Abd al-Raḥīm pun memiliki anak laki-laki, maka al-Dihlawī pun dijuluki dengan nama tersebut (Quṭb al-Dīn). Lihat Sayyid Sābiq, “Baina Yaday Kitāb” dalam Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah (Beirut: Dār al-Jail, 2005), hlm. 12-13. Sementara J.M.S. Baljon menyebutkan bahwa al-Dihlawī berkata “Ketika saya lahir, bagaimanapun, Allah menyebabkan ayahku lupa memberi nama Quṭb al-Dīn padaku. Ia memanggilku dengan nama Waliyullāh (kekasih Allah) yang mengindikasikan bahwa aku akan menjadi objek kemurahan tetap kasih Tuhan (mutawalla). Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī (Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.               
                [4] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi dalam Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an dan Hadis Vol. 10, No. 1 Januari 2009, hlm. 114.
                [5] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 27. Di India ketika al-Dihlawī hidup, mayoritas umat islam di sana bermadzhab Hanafi, termasuk ia sendiri sebelumnya bermadzhab Hanafi.  
                [6] “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak Allah, terj. Nurrudin Hidayat dan C. Romli Bihar Anwar (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hlm. 684. Peristiwa mistik bukan hanya didapatkan ayah Al-Dihlawī, akan tetapi ibunya juga memperoleh hal tersebut. Ketika sang ibu baru saja selesai menyapih (weaned) Al-Dihlawī, ia bermimpi melihat burung dengan bentuk yang sangat indah datang kepada ayah Al-Dihlawī. Burung tersebut membawa selembar kertas yang bertuliskan nama Allah dalam tulisan berwarna emas. Selanjutnya, burung kedua datang pada ayahnya juga sambil membawa selembar kertas lainnya yang berisikan “Dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Jikalau kenabian pasca Muhammad masih mungkin, maka kami akan jadikan dia Nabi. Namun, dengan datangnya Muhammad, maka kenabian pun telah berakhir”. Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī..., hlm. 3.  
                [7]  Ia adalah salah satu raja kerajaan Mughal yang sangat memperhatikan syariat. Diceritakan bahwa ia mengharamkan minuman keras, perjudian, prostitusi, penggunaan narkotik, mengharamkan sati, praktek pengorbanan Hindu terhadap para janda, menghancurkan patung-patung hindu, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan kebencian dari komunitas Hindu dan akhirnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan dari masyarakat Hindu. Lihat Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 33-34.  
                [8] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 27-28.  
                [9] J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī..., hlm. 1.
                [10] “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak Allah..., hlm. 684.
                [11] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 29.   
                [12] Ia adalah pentahqiq kitab Ḥujjah Allāh al-Bāliġah cetakan Dār al-Jail Beirut tahun 2005.  
                [13] Terdapat praduga-praduga mengenai tinggalnya Syah Waliyullah di Hijaz setelah haji. Ada yang berpendapat bahwa beliau lebih dulu menetap di Hijaz karena ingin memperluas ilmunya, namun menurut M. Mujeeb hal ini dikarenakan al-Dihlawi ingin menghindari reaksi dari ulama’ konservatif yang tidak setuju terhadap perbuatannya yang telah menterjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa Persia. Menerjemah al Qur’an ke dalam bahasa lain adalah sesuatu yang sangat berani pada saat itu.
                Pendapat M. Mujeeb tersebut tidak dapat dibuktikan, sebab dalam kata pengantar terjemahnya al Dihlawi mengatakan bahwa setelah selesainya surat al Baqarah dan Ali Imran ia belum dapat melanjutkannya sebab harus berangkat ke Makkah-Madinah. Lihat Siti Masfufah,“Klasifikasi Sunnah Menurut Pemikiran Syah Waliyullah al Dihlawi“, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, tidak diterbitkan, Yogyakarta, 2008, hlm. 45.
                [14] Sayyid Sābiq, “Baina Yaday Kitāb” dalam al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 13. Mahmasani dan John L. Esponito menyebutkan bahwa al-Dihlawī tinggal di Hijaz selama 14 bulan. Sementara Abd al-Wahhāb al-Dihlawī mengatakan selama 2 tahun.  
                [15] “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak Allah..., hlm. 685.
                [16] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 29.    
                [17] “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak Allah..., hlm. 685.
                [18] Masa hidup al-Dihlawi hampir sama dengan salah satu tokoh Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab (1702-1791). Sehingga sangat wajar jikalau al-Dihlawi sedikit banyak terpengaruh dengan pemikiran tokoh pembaharu. Walaupun pemikirannya agak berbeda dalam memahami kata “Back to Qur’an and Sunna”. Muhammad bin Abdul Wahab memaknainya dengan tekstual dan ekstrem, tetapi al-Dihlawi memahaminya lebih fleksibel. Perlu diketahui juga bahwa Arab Saudi, yang di dalamnya mencakup Hijaz (Makkah dan Madinah) pada abad ke-17 dan 18 belum menjadi daerah kekuasaan penuh Wahabi. Sebab Wahabi baru menguasai Arab Saudi secara menyeluruh pada abad ke-19, yaitu pada masa “Arab Saudi ketiga (1902-1932)”. Lihat Nur Khalik Ridwan, Perselingkuhan Wahabi dengan Agama, Bisnis, dan Kekuasaan (Yogyakarta: Tanah Air, 2009), hlm. 4-5. 
                [19] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi..., hlm. 113.
                [20] Dengan demikian, al-Dihlawī mempunyai anak pertama ketika berusia 26 tahun, 12 tahun setelah pernikahannya. 
                [21] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Penerbit Pustaka, 2003), hlm. 297.
                [22] Munawir, Tipologi Pembagian Hadis Risālah dan Ģairu Risālah; Studi Pemikiran Hadis al-Dahlawi..., hlm. 114.
                [23] Inspirasi utama ia dalam mengarang buku ini adalah karena ketika al-Dihlawī menunaikan ibadah haji, ia bermimpi bertemu cucu-cucu Nabi (Hasan dan Husain), yang mengulukan sebuah pena patah padanya, dan ia memperbaikinya. Setelah itu, ia dianugerahi jubah Nabi. Sejak saat itu ia menyadari bahwa ia memiliki tugas penting untuk memperbaiki ilmu-ilmu keislaman dengan cara mempelajari hadis Nabi. Dalam pendahuluan kitab tersebut, al-Dihlawī menulis bahwa ia menunda untuk menulis proyek ambisius itu selama beberapa waktu, namun dorongan salah satu murid terdekatnya, yakni Muhammad ‘Āsyiq Phulat (1773) dan kesadarannya bahwa karya semaacam itu sangat dibutuhkan memaksanya untuk mulai menulis karya tersebut. Lihat  “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak Allah..., hlm. 685-386.
                [24] J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī..., hlm. 8. 
                [25] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 21.
                [26] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 223-224.
                [27] Hadis Riwayat Muslim, Sahih Muslim, Kitab al Fadlail, Bab Wujubu Imtitsal ma Qalahu Syr’an duna ma Dzakarohu min  Ma’ayiz, no. 4357, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997.
                [28] Hadis Hadis Riwayat Muslim, Sahih Muslim, Kitab al Fadlail, Bab Wujubu Imtitsal ma Qalahu Syr’an duna ma Dzakarohu min  Ma’ayiz, no. 4356, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997. Hadis ini diucapkan Nabi ketika terjadi beliau salah dalam memberikan instruksi metode yang paling tepat dalam persilangan kurma yang ada di Madinah.
                [29] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 224.
                [30] Ramal adalah jalan cepat yang disertai gerakan-gerakan lengan dan kaki untuk memperlihatkan kekuatan fisik seseorang. Ketika Muhammad Saw. Dan para sahabat datang ke Makkah untuk menunaikan haji dan bangsa Quraisy masih menguasainya, para penyembah berhala berkata bahwa mereka telah menjadi lemah karena demam Yatsrib, sehingga Nabi menyuruh mereka melakukan ramal dalam tiga kali putaran mengelilingi Ka’bah.
                [31] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 225-228.
                [32] Pada perkembangan selanjutnya, dalam memahami hadis mustafid para ulama terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, menyamakan antara hadis masyhūr dan mustafid. Kedua, hadis mustafid lebih khusus, sebab dua ujung sanad (sahabat dan rawi terakhir) di dalamnya disyaratkan harus sama. Ketiga, kebalikan dari pendapat kedua. Lihat Abdul Fattah dkk., ‘Ulūm al-Ḥadīs li al-Mustawā al-Ṡāni (Jakarta: Departemen Agama, 1997), hlm. 18.     
                [33] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 228.
                [34] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 228.
                [35] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 228-229.
                [36] Secara general mengenai hukum riwayah bi al-Ma’na ini, para ulama terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, tidak boleh secara mutlak. Termasuk tipe jenis ini adalah Abdullāh bin Umar, Umar bin Khatthāb (sahabat), Qāsim bin Muhammad, Muhammad bin Sirin, Rajā’ bin Ḥaiwah, Ṭawus bin Kaisān (tabi’in), Imam Mālik, Ḥammad bin Zaid, Ahamd bin Hanbal (tabiut tabi’in). Kedua, membolehkan secara mutlak. Yang masuk kategori ini ialah Ḥasan al-Basyri, al-Sya’bi, Ibrahīm al-Nakhā’i. Ketiga, membolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Mereka adalah Aisyah, Abū Said al-Khudry, Wā’ilah bin al-Aqsā. Lihat Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang al-Riwāyah bi al-Ma’nā dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 61-76.   
                [37] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 229-230.
                [38] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 231-232.
                [39] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 232.
                [40] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 233.
                [41] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 233.
                [42] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 233. Peringkat kelima ini, menurut penulis terjadi permasalahan, sebab setelah melalu penelusuran pada buku-buku lain yang membahas pemikiran Al-Dihlawī, ternyata tidak mencantumkan peringkat kelima ini. Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī..., hlm. 152-154. Lihat juga Muhammad Alawi al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 241-244.   
                [43] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 234. Dalam hal ini, Al-Dihlawī tidak menjelaskan opini tambahannya pada tingkatan kelima.  
                [44] Lihat Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 238-242. Al-Dihlawī memberikan contoh pembatalan yang bersumber dari Nabi, yakni hadis tentang kebolehan ziarah kubur. 
                [45] Lihat Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 238-242.
                [46] Selain memuji al-Muwatthā’, ia juga memuji shahīhain, tetapi lebih mendahulukan kitab karya Imam Mālik.  
                [47] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 231.
                [48] Al-Dihlawī merujuk dalam salah satu hadis dalam karyanya “al-Mushaffā’”. Nabi menceritakan “Orang-orang akan pergi jauh untuk mencari ilmu, tetapi mereka tidak akan bisa menemukan ulama yang yang lebih benyak ilmunya daripada ulama Madinah” (Tirmidzi no. 2821).
                [49] Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 231. 
                [50] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 122-124.    
                [51] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 122.
                [52]  Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 125.
                [53]  “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak Allah..., hlm. 684.
                [54] Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 125.
                [55] Nurun Najwah “Kitab al-Muwatta’ Imam Mālik” dalam Studi Kitab Hadis, AlFatih Suryadilaga (ed.) (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 11.
   [56] Nurun Najwah “Kitab al-Muwatta’ Imam Mālik”..., hlm. 12.
   [57] Nurun Najwah “Kitab al-Muwatta’ Imam Mālik”..., hlm. 15.
                [58] Walaupun terjadi perdebatan juga tentang kitab mana yang pantas menempati posisi keenam. Ulama yang pertama kali memasukkan Sunan Ibnu Majah dalam tingkatan hadis keenam adalah Abū al-Fāḍil Muhammad bin Ṭahir al-Maqdisī (w. 507 H.), yang kemudian diikuti oleh Ibnu Ḥajar, al-Mizzi, dan al-Żahabi. Sedangkan ulama sebelum formulasi yang dilontarkan Abū al-Fāḍil dan sebagian dari mereka setelah itu masih menganggap al-Muwatta’ sebagai dasar atau peringkat yang keenam. Lihat Mushtafa Kamal dkk., ‘Ulūm al-Ḥadīs li al-Mustawā awwal (Jakarta: Departemen Agama, 1997), hlm. 28.       
                [59] Lihat pada pembahasan pemikiran hadis Al-Dihlawī tentang cara masyarakat arab menerima syariat dari Rasulullah.  
                [60] Penulis pernah mengadakan peneitian mengenai kuantitas hadis mauquf dan maqthu’ yang ada di al-Muwattha’ dengan menggunakan CD Mausu’ah. Hasilnya menyebutkan hadis mauquf berjumlah 599 hadis (37,58 %) dan maqthu’ berjumlah 248 hadis (15,56 %) dari total keseluruhan 1594 hadis. Sementara Abu Bakar al-Abhari mengatakan bahwa dalam Muwattha Malik terdapat 613 hadis mauquf dan 285 hadis Maqthu’ dari total 1726 hadis.  

1 komentar:

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj