A.
PENDAHULUAN
Rasulullah
mengibarkan panji-panji Islam di saudi arabia selama 23 tahun, baik di Makkah
maupun di Madinah. Selama itu pula beliau susah payah memberikan cahaya terang
bagi kegelapan yang menimpa orang-orang kafir. Di Makkah, Nabi mempunyai posisi
sebagai pemuka agama. Akan tetapi berbeda dengan yang terjadi Madinah. Di sana,
Rasul memiliki double position, yakni sebagai pemuka agama sekaligus
sebagai pemimpin negara.
Sepeninggal
Nabi Muhammad yang wafat pada tahun 632 M, tampuk kepemimpinan Islam dipegang
oleh Khalifah Abu bakar al-Shiddiq. Ia melanjutkan estafet penyiaran Islam ke
berbagai wilayah. Pada masa ini, dimulailah ekspansi ke luar Arab, yang
kemudian dilanjutkan oleh Khalifah-khalifah selanjutnya, baik itu Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, serta dinasti Umayyah dan
Abbasiyah.
Ekspansi
Islam juga sampai ke tanah India. Jika diruntut secara historis, ekspedisi
muslim pertama ke India sudah diusahakan 15 tahun sesudah wafatnya Nabi
Muhammad saw. Sejak itu pula, bangsa arab membanjiri negara ini dari arah barat
laut sampai abad ke-18. Beberapa diantara mereka menetap di sana selama-lamanya
dan mengadakan pemerintahan yang dipengaruhi oleh kebudayaan
Islam.[1]
Dari situlah muncul wajah Islam yang menghiasi negeri yang terkenal dengan taj
mahalnya itu.
Pada
abad ke-18 di negeri ini muncul seorang ulama yang mempunyai pengaruh yang
sangat kuat, seorang ulama yang banyak memperoleh hal-hal mistis, seorang ulama
yang muncul sebagai pembaharu. Dia adalah Shāh Waliyullāh al-Dihlawī. Ulama
satu ini sangat produktif dalam karya tulis. Banyak kitab dalam berbagai kajian
ilmu telah ia ukir, termasuk kajian hadis. Oleh sebab itu, dalam makalah ini
akan dipaparkan mengenai pemikirannya dalam bidang hadis serta pembahasan yang
lebih spesifik mengenai superioritas al-Muwatthā’ dalam
pandangannya.
Nama
lengkapnya adalah Quṭb al-Dīn[3]
Aḥmad bin Abd al-Raḥīm bin Wājih al-Dīn al-Syahīd bin Mu’aẓam bin Manṣūr bin Aḥmad
bin Maḥmūd bin Qiwām al-Dīn al-Dihlawī. Ia dilahirkan pada hari Rabu, tanggal 4
Syawal 1114 H. atau 21 Februari 1704 M. di Phulat, sebuah kota kecil di dekat
Delhi.[4]
Ulama yang hidup di abad 18 ini merupakan pengikut sirhindi yang melanjutkan
pembaharuan dalam situasi lingkungan di bawah kemunduran imperium Mughal. Kemunduran
ini sendiri terjadi sepeninggal Raja Aurangzeb wafat (w. 1707), sementara pengganti
berikutnya lebih lemah dan tak bisa meneruskan estafet kepemimpinan dengan baik.
Ketika kematian Aurangzeb ini terjadi, al-Dihlawī berusia empat tahun. Adapun transformasi ide
dan gerakannya dilakukan setelah ia melakukan pengembaraan intelektual dari
Makkah, kota pusat kaum pembaharu. Ia menekankan pentingnya kembali kepada
ajaran Nabi dan keharusan memurnikan Islam (purifikasi) dari pemujaan
pada para wali lantaran bertentangan tidak konsisten terhadap ajaran Nabi.[5]
Waliyullāh
al-Dihlawī merupakan anak dari isteri kedua ayahnya. Pada saat menikah dengan
ibunya, ayahnya (Shāh Abd al-Raḥīm) berusia 60 tahun. Walaupun menerima kecaman
dari beberapa orang sebab menikah di usia senja, akan tetapi ia mantap untuk
melakukannya. Hal ini dikarenakan ia mendapat isyarat mistik bahwa akan
mendapatkan seorang anak yang mencapai derajat mistik yang lebih tinggi. Kenyataanya,
Shāh Abd al-Raḥīm masih hidup sampai al-Dihlawī berusia 17 tahun dan malah mendapatkan
seorang anak laki-laki lain yang ia namai Ahlullāh. Diceritakan pula, ibu
al-Dihlawī adalah anak dari murid ayahnya sendiri yang bernama Syekh Muhammad.[6]
Dari
sisi genealogisnya (nasab), al-Dihlawī hidup dalam keluarga yang mempunyai
sislsilah keturunan dengan atribut sosial yang tinggi di masyarakatnya. Kakeknya
(Syaikh Wājih al-Dīn) merupakan perwira tinggi dalam tentara kaisar Jahangir
dan pembantu Awrangzeb[7]
(1658-1707 M.) dalam perang perebutan tahta. Sementara ayahnya, Syaikh Abd
al-Raḥīm (w. 1719 M./1131 H.), adalah seorang yang mempunyai keilmuan yang
sangat tinggi, sufi yang membantu penyusunan kitab Fatāwa-I-Alamghiri,
sebuah buku tentang hukum Islam. Selain itu, ia juga menjadi ustadz di
Madrasahnya sendiri “al-Rahīmiyah”, sebuah Madrasah yang mencetak banyak regenerasi
mujaddid (pembaharu), termasuk Shāh Waliyullāh al-Dihlawī. Apalagi jika
nasabnya diruntut ke atas maka akan sampai pada Khalifah Umar bin Khattāb dari
jalur Abdillāh.[8]
Sementara dari jalur ibunya, maka ia akan sampai pada Mūsā al-Kāẓīm (w. 1294
M.), Imam ketujuh dari golongan Syiah Iṡna Asyariyah. Dengan demikian ia
termasuk keturunan Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah.[9]
Al-Dihlawī
menikah di usia 14 tahun dengan anak paman dari pihak ibunya (Syaikh Ubaidllāh)
yang bernama Fatimah atas desakan ayahnya. Perihal pernikahannya yang
terburu-buru tersebut terdapat alasan yang dirahasiakan. Dan memang setelah
pernikahannya tersebut banyak kerabatnya yang meninggal berturut-turut,
sehingga jika ia tidak segera menikah mungkin saja ia akan menunggu dalam waktu
yang cukup lama atau bahkan pernikahannya akan dibatalkan.[10]
Tatkala
ia berusia 15 tahun, ayahnya menerima al-Dihlawī sebagai murid dalam tariqat
Naqsyabandiyah dan ia mulai menjalankan pelatihan dan amalan sufi. Pada umur
itu pula al-Dihlawī menyelesaikan sekolahnya dalam bidang agama Islam dan
diizinkan oleh ayahnya untuk mengajar teman-temannya.[11]
Menurut
Sayyid Sābiq,[12] perjalanan
intelektual Shāh Waliyullāh al-Dihlawī paling tidak terbagi menjadi tiga tahap.
Pertama, menghafalkan al-Qur’an dan ia sanggup melakukannya pada usia
tujuh tahun. Kedua, mempelajari kajian-kajian agama, seperti linguistik
(luġah), tafsir, hadis, fikih, ushul, tasawwuf, aqidah, mantiq,
kedokteran, filsafat, dan matematika. Ia memulai belajar pada usia sepuluh
tahun dan dapat menyelesaikannya dalam usia 15 tahun. Ketiga, perjalanan
menunaikan ibadah haji sekaligus mengembangkan karir intelektual ke Hijaz selama
kurang dari dua tahun (14 bulan).[13]
Ia pergi ke Hijaz pada tahun 1143 H./1731 M. (selang beberapa waktu setelah
ayahnya meninggal) dan kembali ke tanah kelahirannya, India pada tahun 1145 H./1733
M.[14]
Sehingga bisa dikatakan perjalanannya dilaksanakan pada umur 29 tahun.
Masa
tinggalnya di Hijaz banyak mempengaruhi pembentukan pemikiran al-Dihlawī dan
kehidupan selanjutnya. Di tempat itu, ia belajar hadis, fikih, ajaran sufi pada
sejumlah guru yang istimewa di sana, seperti Syekh Abū Thāhir al-Kurdi
al-Madani (w. 1733 M.), Syekh Wafd Allāh al-Makki al-Mālikī, dan Syekh Tāj
al-Dīn al-Qala’i al-Hanafī.[15]
Guru-gurunya memperkenalkan kepada al-Dihlawī kecenderungan meningkatnya
kosmopolitanisme dalam ilmu hadis yang mulai muncul di sana pada abad ke-18
sebagai perpaduan dari tradisi kajian dan penilaian dari Afrika Barat, Suria,
dan India.[16] Di Hijaz
ini pula, ia banyak memperoleh pengalaman mistik, seperti mimpi bertemu Nabi.
Ia mengajukan beberapa pertanyaan pada Nabi dan dijawab dengan lugas. Kemudian
diperintahkan untuk menyampaikan ajaran Nabi tersebut.[17]
Barangkali
dari pengembaraan intelektual di Hijaz itulah al-Dihlawī terinspirasi ide pembaharuan
dari kaum pembaharu yang gencar-gencarnya dicuatkan pada waktu itu. Sehingga tak
ayal, slogan “Back to Qur’an and Sunna” dan menghilangkan taqlid buta menjadi inti
pemikirannya.[18] Dalam
hal ini, ia berpendapat bahwa orang Islam harus berpegang teguh pada al-Qur’an,
sunnah, dan aqidah, serta amalan mayoritas sahabat dan tabi’in.
Menurut
al-Dihlawī pula, “Back to Qur’an and Sunna” menjadi solusi atas problematika
yang menghadang umat Islam di India, semisal para elit pemerintahan yang gemar
hidup berfoya-foya, pemberontakan-pemberontakan dari dalam, serangan-serangan
dari luar, bahkan tingkah laku ulama yang jumud dan para sufi yang cenderung
menyia-nyiakan ketentuan syari’at.[19]
Shāh
Waliyullāh al-Dihlawī memiliki dua orang istri. Isteri kedua dinikahinya
beberapa saat setelah kepulangannya dari Hijaz. Dari isteri pertamanya, ia mendapatkan seorang putra bernama Shāh Muhammad (1730-1793)[20]
dan seorang putri bernama Ammatul Aziz. Sedangkan dari isteri keduanya,
al-Dihlawī memperoleh empat orang putra (Shāh Abdul Aziz Muhaddith Dehlavi, Shāh Rafi’
al-Din, Shāh Abdul
Qadir, dan Shāh Abdul
Ghani) dan seorang
putri. Melalui merekalah, terutama putranya, Shāh Abdul Aziz (w. 1823), Shāh Rafi’
al Din (w. 1818) , serta cucunya, Shāh Ismail Syahid (w. 1831) ajaran
beliau tersebar ke sebagian besar
wilayah India.[21] Ia
wafat pada hari sabtu sore, tanggal 29 Muharram 1176 H. atau 20 Agustus 1762
dalam usia 59 tahun di tempat kelahirannya.[22]
Karya-karya
yang telah diukir oleh Ulama multidisipliner ini sangat banyak. Zafrul Islam
Khan menyebutkan bahwa kitab karangan Shāh Waliyullāh al-Dihlawī berjumlah 100
buah yang mencakup berbagai varian ilmu, mulai al-Qur’an, hadis, tarikh, fikih,
usul fikih, tasawwuf, filsafat, dan politik. Hasil karya tersebut ditulis dalam
bahasa Arab maupun persia dan kebanyakan dibuat setelah rihlah ilmiyah
selama 14 bulan di Hijaz, termasuk Ḥujjah Allāh al-Bāliġah[23]
yang memuat metodologi pemahaman hadis al-Dihlawī. J.M.S. Baljon
menyebutkan ada dua karya al-Dihlawī yang dikarang sebelum keberangkatannya ke
Hijaz. Dua karya tersebut adalah al-Qasīda al-Lāmiya (lirik puisi, bahasa
arab) dan al-Qawl al-Jamīl fī Bayān Sawā’ al-Sabīl (kualifikasi-kualifikasi
sufi, bahasa arab).[24]
C.
PEMIKIRAN HADIS AL-DIHLAWĪ
Definisi hadis menurut al-Dihlawī
tidak berbeda dengan pendapat mayoritas ulama, yakni segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad, baik berupa perkataan (Qaul), perbuatan (Fi’il),
maupun ketetapan beliau (taqrīr).[25]
Eksistensi hadis sangat penting, sebab seseorang tidak akan bisa mengetahui
syariat dan hukum-hukum Allah kecuali melalui hadis Nabi. Dalam hal ini, ia
membagi hadis ke dalam dua kategori, yaitu Risālah dan Ģairu Risālah.
Kategori
pertama (Risālah), yaitu hadis yang disampaikan dengan jalan risalah (mā
sabīluhū sabīlu tablīgh al-Risālah). Hadis ini muncul dari diri Nabi
sebagai pembawa Risalah dan harus ditaati. Sebab bisa dikatakan bahwa apa yang
diterima Nabi pada kedudukan tersebut merupakan wahyu atau juga ijtihad Nabi atas
bimbingan wahyu. Adapun dasar yang dipakai dalam merumuskan hal tersebut adalah
QS. Al-Hasyr ayat 7.
وما اتكم الرسول فخذوه وما نهكم عنه فنتهوا
“Apa yang
diberikan Nabi kepadamu maka ambillah, dan apa yang ia larang maka jauhilah” QS. Al-Hasyr ayat 7.
Selanjutnya,
menurut al-Dihlawī jenis hadis yang masuk dalam kategori Risālah adalah
sebagai berikut:[26]
1.
Ilmu-ilmu tentang hari akhirat
dan keajaiban-keajaiban yang tidak dapat dicapai oleh manusia biasa. Semua hal
ini berdasarkan wahyu dari Allah.
2.
Aturan-aturan syariat,
batasan-batasan ibadah, dan masalah-masalah irtifāqat (muamalah sesama
manusia). Sebagian dari hal yang disebutkan merupakan hasil wahyu yang
diberikan Allah. Sementara sebagian yang lain adalah hasil ijtihad Nabi
Muhammad yang setingkat dengan wahyu, sebab Allah melindungi beliau dari pemikiran
yang salah.
3.
Kebijakan-kebijakan praksis (Hikam
mursalah) dan kemaslahatan mutlak yang Nabi tidak menetapkannya untuk waktu
tertentu dan tidak pula menentukan batasannya, seperti penjelasan Nabi tentang
yang baik dan buruk. Hal ini termasuk ijtihad Nabi, akan tetapi Allah
sebelumnya telah memberikan prinsip-prinsip irtifāqat atau bisa
dikatakan berdasarkan bimbingan wahyu. Seperti penjelasan tentang baik dan
buruk.
4.
Keutamaan-keutamaan perbuatan dan
sifat-sifat istimewa dari orang yang berbuat kebajikan. Menurut al-Dihlawī, sebagian
dari hal ini berdasar pada wahyu dan sebagian lainnya berdasarkan pada ijtihad
Nabi.
Kategori
kedua (Ģairu Risālah) adalah hadis yang tidak termasuk dalam jalan
penyampaian risalah (mā laisa min bāb tablīgh al-Risālah). Jika
Nabi berada dalam posisi ini, maka tidak wajib ditaati, sebab kapasitasnya
adaah sebagai manusia biasa. Pengetahuan yang dimiliki Nabi diperoleh melalui
pengalaman. Al-Dihlawī menyandarkan pendapatnya ini pada dua hadis Nabi.
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ
دِينِكُمْ فَخُذُوا بِهِ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ مِنْ رَأْيٍ فَإِنَّمَا
أَنَا بَشَرٌ قَالَ عِكْرِمَةُ أَوْ نَحْوَ هَذَا قَالَ الْمَعْقِرِيُّ فَنَفَضَتْ
وَلَمْ يَشُكَّ
“Aku
hanyalah manusia biasa, jika aku memerintah kalian dalam urusan agama maka
ambillah, dan jika aku memerintah sesuatu menurut pendapatku sendiri, maka
sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa.”[27]
فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا
فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ
شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Aku
hanya membuat perkiraan, maka jangan kalian mencelaku dengan pendapatku ini.
Namun, jika aku memberitahumu tentang sesuatu mengenai Allah, maka terimalah.
Sebab aku tidak akan pernah berdusta mengenai Allah Azza wa Jalla”.[28]
1.
Ilmu-ilmu tentang pengobatan
(medis), misalnya bekam.
2.
Ilmu-ilmu yang didapatkan
melalui pengalaman, seperti pesan yang tercakup dalam hadis “Akan lebih baik
jika kalian terdorong untuk memperoleh (yang terbaik untuk jihad) seekor kuda
hitam yang punya cahaya keputih-putihan di dahinya”.
3.
Segala hal yang
berkaitan dengan adat kebiasaan Nabi dan bukan masalah ibadah (ritual
keagamaan), misalnya cara tidur Nabi.
4.
Berbagai topik yang
biasa Nabi bicarakan layaknya pembicaraan orang kebanyakan, misalnya obrolan
Zaid bin Sabit dengan Nabi tentang makanan.
5.
Segala hal yang
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang sifatnya juz’iyyah (temporal)
dan bukan sebagai kebijakan yang berlaku selamanya bagi seluruh umat, seperti hadis
tentang ramal.[30]
Sebagai seorang
intelektual dan mistikus yang sebenaranya lebih concern di bidang hukum
Islam, Shāh Waliyullāh al-Dihlawī menyebutkan bahwa dalam apa yang datang dari
syāri’ (pembuat hukum) – termasuk hadis Nabi -- mengandung dua jenis ilmu,
yakni maṣālih (kemaslahatan) dan syarā’i (hukum agama). Dua hal
ini mempunyai kedudukan dan derajat yang berbeda-beda. Pertama, ilmu
tentang kemaslahatan dan kerusakan (al-Maṣālih wa al-Mafāsid), yakni sesuatu
yang dijelaskan dengan upaya pembersihan jiwa dengan melakukan berbagai
aktifitas kebaikan dan menghindarkan akhlak yang tercela. Karena itu, urusan-urusan
yang berkenaan dengan tentang pengaturan rumah tangga, pemenuhan kebutuhan
hidup, urusan pengaturan kota tidak pernah ditetapkan dengan ukuran dan
standart tertentu. Misalnya Nabi memuji keberanian dan kepandaian seseorang.
Beliau tidak menjelaskan definisi kepandaian dan keberanian seseorang sehingga
bisa disebut pandai. Kedua, ilmu tentang syariat, hukuman-hukuman (hudud),
dan kewajiban-kewajiban (farāiḍ), yakni segala sesuatu yang dijelaskan
oleh syariat dengan cara menentukan ukuran kebaikan di dalam sesuatu yang dipersangkaan
adanya maslahah dan tanda-tanda tertentu. Lantas menjalankan hukum pada tempat
yang dipersangkaan adanya maslahah tersebut, membebani manusia dengan aturan
tersebut, dan menentukan rukun-rukun, syarat-syarat, dan tata cara
pelaksanaannya.[31]
Al-Dihlawī juga menjelaskan
tentang cara masyarakat menerima syariat dari Rasulullah. Pertama, melalui
jalur periwayatan berupa riwayat mutawatir atau tidak mutawatir.
Riwayat mutawatir sendiri terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir ma’nawi
dan mutawatir lafdzi. Mutawatir lafdzi contohnya adalah al Qur’an
dan sebagian kecil hadis nabi. Sedangkan mutawatir ma’nawi seperti
aturan-aturan mengenai bersuci, shalat, puasa, zakat, pernikahan, jual-beli dan
lain sebagainya. Sedangkan riwayat yang tidak mutawatir (ahād), menurut
al-Dihlawī yang paling tinggi ialah hadis mustafid,[32]
yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga atau empat orang sahabat, kemudian para
periwayatnya bertambah banyak hingga generasi kelima, dan riwayat ini paling
banyak dijumpai. Dari hadis inilah kebanyakan diolah menjadi pokok-pokok fikih.[33]
Kategori riwayat berikutnya adalah riwayat
(khabar) yang dinilai sahih atau hasan menurut para ulama’ hadis
terkenal - karena mereka telah hafal banyak hadis - dan orang-orang besar di
antara mereka. Kategori riwayat berikutnya adalah riwayat (khabar) yang
dinilai sahih atau hasan menurut para ulama’ hadis terkenal - karena mereka
telah hafal banyak hadis - dan orang-orang besar di antara mereka. Selain itu
terdapat pula riwayat yang diperselisihkan (di kalangan ulama’ hadis), sehingga
sebagian dari mereka menerima dan sebagian lagi menolaknya. Menurut al Dihlawi juga
di antara hadis-hadis tersebut jika didukung oleh periwayatan yang sama atau
pendapat kebanyakan ulama’ atau mengandung pemahaman yang jelas; hadis-hadis
semacam itu harus diamalkan.[34]
Kedua, mengambil syariat dengan
memahami dilālah, yakni sahabat menyaksikan perkataan dan perbuatan
Rasulullah, kemudian mereka mengambil hukum dari hal tersebut. Praktek semacam
ini berlangsung turun temurun mulai era sahabat, tabi’in, dan generasi ketiga (tabiut
tabi’in).[35]
Menurut al-Dihlawī, kedua metode ini
mempunyai kelemahan. Metode pertama, yaitu dengan memahami secara lahir
kelemahannya adalah akan masuknya periwayatan secara makna (bi al-Ma’na),[36]
sehingga kadang bisa merusak makna suatu
hadis. Adapun kelemahan yang dimiliki cara kedua ialah terlibatnya ijtihad para
sahabat, tabi’in, dan lainnya dengan deduksi hukum yang mereka ambil dari al
Qur’an dan hadis, sedangkan mereka tidak selalu benar dalam setiap keadaan. Karena
terkadang suatu hadis tidak sampai kepada salah seorang di antara mereka, atau
sampai namun belum cukup kuat untuk dijadikan hujjah, kemudian keadaan
sebenarnya diketahui melalui riwayat lain. Oleh sebab itu, menurut al-Dihlawī
seseorang yang berkecimpung di bidang hukum Islam harus menguasai keduanya.
Dalam konteks ini pula, al-Dihlawī menyatakan bahwa kesepakatan sebagian sahabat
tidak bisa dijadikan salah satu sumber syariat (ushul syar’i). Hal ini
terjadi karena seringkali di antara para sahabat bersepakat mengenai sesuatu
karena pemikiran rasional yang menunjukkan kemanfaatan.[37]
Pada era sekarang, menurut al-Dihlawī satu-satunya
cara untuk menerima riwayat adalah dengan menelitinya dari kitab-kitab hadis
secara langsung, sebab tidak ada riwayat yang dipercaya kecuali riwayat
tersebut telah dituliskan dalam kitab-kitab hadis yang ada. Dalam hal ini, ia
membagi tingkatan kitab-kitab hadis menjadi lima. Pertama, al-Muwatthā’
Mālik (w. 179 H.), shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh Muslim (w.
261 H.).[38]
Kedua, kitab-kitab hadis yang
berada di bawah tiga kitab tersebut, yang diketahui pengarangnya dapat
dipercaya, adil, hafalannya kuat, dan mumpuni dalam bidang ilmu hadis, seperti Sunan
Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan
al-Nasāī (w. 303 H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.), dan Musnad
Ahmad bin Hanbal (w. 241 H.).[39]
Ketiga, kitab-kitab musnad, jāmī’,
dan muṣannaf yang didalamnya terdapat
hadis sahih, hasan, dhaif, ma’rūf, gharīb, shād, munkar,
khata’, ṣawab, ṡabit, dan maqlūb. Kitab yang
termasuk kategori ini misalnya Musnad Abī Ya’lā (w. 1034 H.), Muṣannaf
Abd al-Razāq (w. 827 H.), Muṣannaf Abū Bakar bin Abī Syaibah (w. 235
H.), Musnad al-Ṭayālīsī (w. 818 H.), kitab al-Baihaqī (w. 458 H.),
al-Ṭahawī (w. 321 H.), dan al-Ṭabrānī (w. 360 H.).[40]
Keempat, Kitab-kitab yang disusun
untuk menghimpun hadis-hadis yang tidak termuat dalam kitab tingkatan pertama
dan kedua, dan hadis-hadis yang terdapat dalam kitab-kitab jāmī’ dan Musnad
yang kurang populer. Lebih jelasnya lagi, kitab yang memuat riwayat yang dari dai
yang suka mengoceh, para ahli bid’ah, orang yang tidak dapat dipercaya, atau
hadis-hadis yang berupa tradisi sahabat, tabi’in, atau dongeng israiliyat dan
lain sebagainya. Misalnya al-Dhu’afā’ Ibnu Hibbān (w. 354 H.), al-Kāmil
Ibnu ‘Ādī (w. 976 H.) dan lain-lain.[41]
Kelima, kitab-kitab yang diantaranya
memuat hadis-hadis yang populer atau tersebar luas di kalangan fuqahā’, sufi,
ahli sejarah dan selainnya serta tidak memiliki dasar pijakan pada keempat
peringkat di atas. Meliputi juga hadis-hadis yang dibuat oleh orang-orang yang
tidak memperdulikan agamanya, orang yang mengetahui bahasa hadis kemudian
menciptakan mata rantai yang kelihatannya kuat, sehingga dianggap sebagai hadis
dari nabi Saw.[42]
Maka menurut Shāh Waliyullāh al-Dihlawī,
hadis-hadis yang ada dalam peringkat pertama dan kedua itulah yang menjadi
sandaran para ulama hadis. Sementara untuk hadis pada peringkat ketiga, tidak
ada yang mempercayainya sebagai hadis shahih kecuali orang benar-benar mumpuni
dalam ilmu hadis. Pada tingkatan keempat, al-Dihlawī menjelaskan bahwa
hadis-hadis pada tingkatan ini merupakan objek para penulis belakangan yang
menyibukkan diri untuk mengumpulkan hadis-hadis itu atau menarik hukum darinya.
Ia menambahkan bahwa kelompok-kelompok seperti Rafidhah, Mu’tazilah, dan yang
sepadan dengan mereka banyak memakai hadis jenis ini untuk mendukung pendapat
pribadi mereka.[43]
Selain itu, Shāh Waliyullāh al-Dihlawī
menjelaskan secara panjang lebar tentang metode yang diambil apabila terjadi
kontradiksi dalam hadis Nabi. Secara metodologis, cara yang diberikan oleh al-Dihlawī
hampir sama seperti ulama hadis pada umumnya. Terdapat empat cara, yakni al-Jam’u
(kompromisasi), nasikh-mansukh, tarjih, dan tawaqquf. Al-Dihlawī
memberikan eksplansi bahwa metode yang terbaik adalah mengkompromikan hadis
yang bertentangan tersebut. Jika tidak bisa terlaksana, maka menggunakan metode
nasikh-mansukh. Ia menambahi bahwa proses itu bisa dilaksanakan kalau terdapat
bukti (keterangan Nabi) atas hal tersebut atau dengan mengetahui hadis yang
lebih akhir dibanding yang lain.[44]
Setelah itu jika
hadis-hadis yang bertentangan benar-benar tidak dapat didamaikan, atapun
dibatalkan, maka kedua hadis tersebut tetap dianggap bertentangan, dan langkah
berikutnya adalah memilih salah satu dari hadis itu (tarjih), baik
dengan meneliti kualitas sanadnya (jumlah perawi pada setiap level sanad,
intuisi hukum perawinya, kekuatan mata rantai sanad kepada Nabi, keterlibatan
rawi terhadap masalah tersebut), atau dengan meneliti kekuatan matannya
(ketegasan dan kejelasannya, meneliti kesesuaian hukum), atau dengan melihat
faktor dari luar misalnya, hadis tersebut diterima oleh banyak orang yang
berilmu. Begitulah kita memilih satu hadis di antara dua atau beberapa hadis
yang bertentangan, namun jika kita tetap tidak dapat menemukan melalui semua
cara yang disebutkan di atas, maka menurut Al-Dihlawī sesungguhnya
hadis-hadis tersebut tidak memiliki kekuatan, dan fenomena seperti ini sangat
jarang ditemukan.[45]
D.
SUPERIORITAS AL-MUWATTHĀ’
DALAM PEMIKIRAN SHĀH WALIYULLĀH AL-DIHLAWĪ
Sebagaimana
disebutkan dalam paradigma pemikiran hadis Shāh Waliyullāh al-Dihlawī bahwa ia
menempatkan kitab al-Muwatthā’ karya salah satu ulama besar Madinah yang
hidup pada abad kedua hijriyah ini setara dengan dua kitab hadis yang sudah
disepakati kesahihannya oleh mayoritas ulama, yaitu shahīh Bukhārī, dan shahīh
muslim. Malah secara tersirat – menurut penulis -- al-Dihlawī terkesan
lebih mengunggulkan karya Imam Mālik itu daripada shahīhain. Hal ini
didasarkan pada urutan penulisan al-Muwatthā’ lebih didahulukan daripada
shahīhain dalam kitab Ḥujjah Allāh al-Bāliġah. Tentunya superioritas
ini menimbulkan tanda tanya besar, kenapa ia bisa menyamakannya dengan shahīh
Bukhārī, dan shahīh muslim? Apakah kiranya yang menyebabkan peletakkan
posisi seperti itu bisa terjadi? Apakah hal memang kualitas al-Muwatthā’ memang
benar-benar sama dengan shahīhain?
Kalau dikaji lebih dalam, ternyata al-Dihlawī banyak
memberikan pujian pada al-Muwatthā’.[46]
Ia mengutip opini Imam Syafi’i ra. “Kitab paling shahih setelah al-Qur’an
adalah al-Muwatthā’ Imam
Mālik”. Al-Dihlawī menambahi, para ahli ilmu hadis telah bersepakat bahwa semua
hadis di dalamnya adalah shahih menurut Imam Mālik dan orang-orang yang setuju
dengannya. Sebagian ulama lain berpandangan bahwa di dalam al-Muwatthā’ tidak ada hadis yang terputus sebelum
sampai kepada Nabi (mursal), kecuali jika sanadnya bersambung pada Nabi
melalui jalur lain, sehingga karenanya hadis itu dianggap shahih.[47]
Shāh Waliyullāh melanjutkan pujiannya, terbukti
secara historis bahwa lebih dari seribu orang meriwayatkan kitab ini dari Imam Mālik
tanpa terputus dan banyak orang yang menempuh perjalanan dari daerah-daerah
yang jauh mendatangi Imam Mālik untuk belajar darinya, seperti yang disebutkan
Nabi dalam hadisnya.[48]
Ia juga seperti membuat sensasi ketika seseorang ingin mendapatkan kebenaran
yang nyata dari al-Muwatthā’ ini, maka terlebih dahulu harus
dikomparasikan dengan dua karya dari dua murid Abu Hanifah, yaitu Kitāb al-Āṡār
karya Muhammad al-Syaibānī dan Amalī karya Abu Yusūf. Maka niscaya akan
diperoleh perbedaan yang sangat besar, bagai Timur dan Barat, sebab menurut al-Dihlawī
tidak ada ahli hadis atau ahli fikih yang menaruh perhatian pada karya-karya
itu.[49]
Dalam
pernyataan al-Dihlawī yang lain disebutkan “Kamu telah mengetahui ketentuan
bahwasanya praktek pintu ijtihad telah tertutup, kecuali kamu menghafalkan
(menjaga) al-Muwatthā’. Al-Muwatthā’ adalah lebih bersuara, lebih
terkenal, dan buku fikih yang paling penting”. tentunya statemen ini sangat
menunjukkan pengaruh yang sangat kuat pada diri al-Dihlawī terhadap al-Muwatthā’.
Untuk mendukung hal ini, ia memberikan argumentasi tambahan dalam kitabnya “al-Musawwā’”.
Al-Dihlawī mengatakan:
1.
Semua hadis yang diriwayatkan dalam
al-Muwatthā’ diriwayatkan Nabi melalui Imam Mālik, tidak hanya melalui
seorang atau dua orang rawi. Karena itu sanad mereka sangat mudah diteliti, dan
transmisinya kebanyakan diketahui dari habitat Madinah yang kebenarannya tidak
dipertanyakan oleh pemahaman para Imam.
2.
Semua kitab selain al-Muwatthā’
dikodifikasikan setelah karya Imam Mālik tersebut, seperti shahīh
Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh muslim (w. 261 H.), Sunan Abī
Dāwud (w. 275 H.), Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī
(w. 303 H.), Sunan Ibnu Mājah (w. 273 H.), dan Musnad Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H.). Kebanyakan dari mereka hanya komentar dari al-Muwatthā’.
Oleh sebab itu, sebagai karya yang didukung oleh kebenaran isnad yang lain
untuk hadis yang diriwayatkan dalam karya Imam Mālik tersebut adalah mereka
marfū’, mursal, dan mauquf.
3.
Imam Syafi’i (w. 204 H.) dan Imam
Muhammad bin Hasan al-Syaibāni (w. 185 H.) merupakan dua murid Imam Mālik.
Keduanya telah menulis komentar tentang al-Muwatthā’ . Walaupun ide-ide
mereka berbeda dari penjelasan yang diberikan oleh karya Imam Mālik. Mereka
tidak mempertanyakan mata rantai dari rawi. Karya-karya hadis lain hanya
mendukung kepada al-Muwatthā’ dalam hal menambahi isnad yang lebih
banyak, dan itu sudah dapat ditemui dalam katya Imam Mālik itu.[50]
Tak hanya cukup itu saja, dalam bidang kajian
hukum Islam, menurut al-Dihlawī jikalau seorang faqīh menemukan
ketidaksepahaman dengan dalil argumentasi yang digunakan oleh golongan madzhab dalam
kasus tertentu, maka seharusnya mereka kembali pada kitab al-Muwatthā’ Mālik
(w. 179 H.), kemudian pada shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan shahīh
muslim (w. 261 H.) dan kepada Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.) dan Sunan
Abī Dāwud (w. 275 H.).[51]
Stratifikasi ini tentunya memberikan pemahaman bahwa al-Dihlawī memang
benar-benar memposisikan al-Muwatthā’ begitu superior dibanding
karya-karya kitab hadis lainnya. Bahkan seolah olah, ia menjadikan
kedudukan al-Muwatthā’ berada di
bawah al-Qur’an.
E.
SUPERIORITAS AL-MUWATTHĀ’;
MELACAK AKAR-AKAR PEMIKIRAN
Dalam
mengkaji pemikiran seseorang, sangat penting mempertimbangkan kondisi
sosio-historis yang ada di sekitar orang itu ketika ia hidup. Sehingga kita
tidak akan terjebak pada pemahaman yang bersifat tekstual-legal-formal dan
implikasi lebih jauhnya, akan mengakibatkan persepsi bahwa apa yang disampaikan
selalu benar atau bisa terkesan sangat “aneh” jika bersebrangan dengan pendapat
mayoritas. Padahal pemikiran yang diberikan sebenarnya sangatlah berkolerasi
dengan keadaan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dimana ia hidup. Apa yang
ia alami, apa yang dia peroleh, dan apa yang dilakukan sangat mempengaruhi ide
yang dicuatkannya.
Begitu
pula ketika mengkaji salah satu pemikiran hadis Shāh Waliyullāh al-Dihlawī,
yakni superioritas kitab al-Muwatthā’ Mālik dalam tingkatan kitab-kitab
hadis. Bahkan bisa dikatakan bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada shahīh
Bukhārī dan shahīh muslim. Tentunya apa yang diwacanakan menjadi
sangat problematik, sebab sudah tak diragukan lagi sebenarnya shahīh Bukhārī
dan shahīh muslim dalam pandangan jumhur menjadi kitab nomero uno,
kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an. Maka untuk itu, pembacaan secara historis-kriris
haruslah diterapkan untuk menyelesaikan masalah ini.
Sebenarnya
pemikiran yang sangat mengunggulkan kitab al-Muwatthā’ sangat terkait
dengan kondisi ketika dia menjalani perjalanan ibadah haji serta pengembangan
inteletual di Hijaz (Makkah dan Madinah). Sebagaimana disebutkan di awal bahwa lamanya
al-Dihlawī menetap di sana selama 14 bulan. Dalam jangka waktu selama itu, ia belajar
banyak hal, terutama menyangkut kajian hadis yang memang sangat berkembang
pesat di Hijaz saat itu (abad ke-18). Di Makkah, al-Dihlawī membaca al-Muwatthā’
pada Wafd Allāh al-Makki al-Mālikī dan diperbolehkan oleh Syekh Tāj al-Dīn
al-Qala’i al-Hanafī, mufti Makkah pada saat itu untuk mengkaji lebih dalam al-Muwatthā’.[52]
Dua guru al-Dihlawī tersebut merupakan dua dari tiga gurunya yang paling
berpengaruh dalam diri Shāh Waliyullāh sebagaimana disebutkan dalam salah satu
bukunya “Anfās al-Ārifīn”.[53]
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa di Hijaz inilah al-Dihlawī terpesona dan
memberikan perhatian khusus pada kitab karangan Imam Mālik tersebut.
Kecenderungan
terhadap al-Muwatthā’ ini juga termanisfestasikan dalam kepengarangan
kitab-kitab al-Dihlawī selanjutnya. Tercatat dua kitab yang ditulis oleh al-Dihlawī
tentang al-Muwatthā’, dua kitab itu berisi syarah atau ulasan atas kitab
tersebut, yakni al-Musawwā’ dan al-Mushaffā’. Dua kitab ini
dikarang oleh al-Dihlawī setelah pulang dari Hijaz. Jadi sangat mungkin keterpengaruhan
yang sangat kuat dari kitab karangan Imam Mālik berasal dari Hijaz, terutama
saat berada di Makkah.
Jika dilacak lebih jauh, maka akan terasa
lebih jelas dan gamblang mengapa al-Dihlawī lebih memilih al-Muwatthā’ ketimbang
kitab yang lain. Pada umur 17 tahun, ia mendapatkan julukan faqīh-muhaddiṣ,
saat menggantikan posisi ayahnya sebagai pemimpin dari Madrasah ayahnya (al-Rahīmiyah).[54]
Sehingga tak akan aneh jika kecenderungan yang ada pada dirinya lebih mengarah
pada hukum Islam dan hadis. Sementara kita ketahui sendiri bahwa kitab al-Muwatthā’
sebenarnya berkonten antara fikih dan hadis. Bahkan sempat menimbulkan
perdebatan, apakah ia merupakan kitab hadis ataukah fikih. Dalam masalah ini, Abu
Zahra berpendapat bahwa al-Muwatta’ adalah kitab fikih. Adapun mengenai
argumentasi yang dipegang adalah karena tujuan Imam Mālik mengumpulkan hadis
adalah untuk melihat fikih dan undang-undangnya dan bukan kesahihannya. Selain
itu, Imam Mālik menyusun kitabnya berdasarkan bab fikih. Senada
dengan itu, Ali Hasan dan Abdul Qadir juga melihat al-Muwatta’ sebagai kitab
fikih sebagai dengan dalil hadis. Sebab tradisi yang dipakai adalah tradisi
kitab fikih yang sering kali hanya menyebut sebagian sanad atau bahkan tidak
menyebut sanadnya sama sekali adalah dalam rangka kepraktisan atau keringkasan.[55]
Sikap agak moderat muncul dari Abu
Zahwu. Ia berpendapat bahwa kitab ini bukan semata-mata kitab fikih, tetapi
sekaligus kitab hadis, karena sistematika fikih juga dipakai dalam kitab-kitab
hadis lain, disamping Imam Mālik sesekali juga mengadakan kritik melalui
pendapat beliau dalam mengomentari sebuah riwayat hadis dan juga menggunakan
kriteria-kriteria dalam menyeleksi hadisnya.[56]
Lepas
dari perdebatan tersebut, bisa diambil benang merah bahwa al-Muwatthā’ mempunyai
aspek-aspek yurisprudensi Islam (fikih) yang sangat kuat, selain sebagai kitab
hadis. Oleh sebab itu, sangat wajar jika al-Dihlawī lebih menyukai al-Muwatthā’
dari pada kitab lainnya. Karena hal ini sangat berkesesuaian dengan kecenderungan
yang melekat pada dirinya, yaitu fikih dan hadis.
F.
KOREKSI ATAS PEMIKIRAN SHĀH WALIYULLĀH AL-DIHLAWĪ
Menurut
penulis, perlu adanya pembahasan lebih dalam pada al-Muwatthā’ ini serta
aspek-aspek yang bertalian dengannya. Sehingga perlu adanya koreksi atas
pandangan al-Dihlawī ini. Dari penuturan yang diberikannya dalam kitab “al-Musawwā”,
bisa dipahami secara mudah bahwa al-Dihlawī argumentasi yang dipaparkan untuk
mendukung superioritas al-Muwatthā’ adalah karena penulisan kitab Imam
Mālik tersebut
lebih awal masanya daripada shahīhain.
Hal
ini tentunya menimbulkan kerancuan tersendiri, sebab secara jelas dijelaskan
dalam paradigma keilmuan hadis bahwa karya Bukhārī dan Muslim lebih baik. Dua
kitab tersebut mencakup konten-konten yang lengkap, seperti tauhid, fikih,
sejarah, etika dalam hidup, tafsir, dan lain-lain. Selain itu juga, kriteria
kesahihannya pun lebih bisa dipertanggung jawabkan. Hal ini berbanding terbalik
dengan yang hanya konsen pada pembahasan-pembahasan fikih. Ditambah lagi, bukan
hanya hadis Nabi saja yang ada di dalamnya, ada pendapat sahabat, qaul
tabi’in, ijma’ ahlul Madinah, serta pendapat Imam Mālik
sendiri. Kriteria penyaringan hadisnya pun masih dipertanyakan, walaupun pada
era selanjutnya terdapat ulama yang mencoba me-muttasil-kan
hadis-hadis yang munqathi’, mursal, dan mu’ḍal yang ada di
dalamnya, semisal Sufyān bin Uyainah, Sufyān al-Ṡaurī, dan Ibnu Abī Zi’bī.[57]
Semua hal itulah yang menyebabkan dalam pandangan jumhur, karya Bukhārī dan
Muslim menjadi number one daripada kitab hadis lain dan bahkan tidak
memasukkan al-Muwatthā’ dalam kutub al-Sittah (kitab babon enam).[58]
Mungkin penilaian yang paling tepat untuk al-Muwatthā’ adalah kitab yang
paling shahih sebelum munculnya shahīhain.
Mengenai
opini Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa Kitab paling shahih setelah al-Qur’an
adalah al-Muwatthā’ Imam Mālik sebenarnya membutuhkan analisis lebih
jauh. Dalam hal ini, kiranya perlu adanya penelusuran historis. Sebagaimana
yang tertulis dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada tahun 150 sampai 204 H. Pada
masa itu belum muncul kitab-kitab hadis yang kita kenal sebagai kutub
al-Sittah yang banyak memuat hadis shahih (shahīh Bukhārī (w. 256
H.), dan shahīh Muslim (w. 261 H.), Sunan Abī Dāwud (w. 275 H.), Jāmi’
al-Turmudzī (w. 279 H.), Sunan al-Nasāī (w. 303 H.), Sunan Ibnu
Mājah (w. 273 H.)). Oleh karenanya sangat wajar jika Imam Syafi’i mengatakan
hal demikian. Selain itu juga bisa jadi ia mengucapkan perkataan tersebut
dilatarbelakangi untuk menghormati serta memberikan rasa ta’dzim pada hasil
karya gurunya itu.
Poin
terakhir yang perlu dikritisi adalah pandangan al-Dihlawī tentang posisi al-Muwatthā’
dalam kajian hukum Islam. Ia mengatakan bahwa jika diperoleh
ketidaksepahaman dengan dalil argumentasi yang digunakan oleh golongan madzhab
dalam kasus tertentu, maka seharusnya mereka kembali pada kitab al-Muwatthā’
Mālik (w. 179 H.), kemudian pada Shahīh Bukhārī (w. 256 H.), dan Shahīh
muslim (w. 261 H.) dan kepada Jāmi’ al-Turmudzī (w. 279 H.) dan Sunan
Abī Dāwud (w. 275 H.). Menurut penulis, konsep seperti ini terkesan agak cenderung
seperti menaruh rasa fanatisme pada madzhab Maliki. Sebab al-Muwatthā’ adalah
karangan Imam Mālik, yang merupakan founding father dari madzhab
tersebut. Konten yang ada di dalamnya pun bukan hanya hadis, tetapi juga fikih.
Padahal seharusnya jika terjadi ketidaksetujuan, harusnya merujuk pada karya yang
benar-benar non-blok atau tidak memihak atau juga bisa dengan mengkomparasikan
pendapat-pendapat yang ada. Oleh sebab itu, kiranya menurut penulis akan lebih
baik merujuk pada kitab yang lebih netral dan shahih, seperti shahīh Bukhārī
(w. 256 H.), dan shahīh muslim (w. 261 H.) terlebih dahulu.
Penulis
menambahi, pandangan al-Dihlawī ini sepertinya kontradiksi dengan statemennya
yang menyebutkan bahwa kesepakatan sebagian sahabat tidak bisa dijadikan salah
satu sumber syariat.[59]
Karena sebagaimana diketahui bahwa komposisi al-Muwatthā’ Mālik bukan
hanya hadis Nabi saja, ada qaul sahabat, tabi’in, ijma’ ahlul Madinah,
bahkan pendapat Imam Malik sendiri.[60]
Variasi isi ini lantas apakah tidak menunjukkan ambiguitas pemikiran jikalau
terjadi ketidakpuasan malah disuruh merujuk pada al-Muwatthā’? Sementara
dari sisi lainnya, ia mengatakan kesepakatan sebagian sahabat tidak bisa
dijadikan salah satu sumber syariat? Seharusnya
sumber yang diajukan merupakan kitab yang memuat hadis Nabi secara mayoritas.
G.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Berdasarkan seluruh pembahasan
yang dipaparkan oleh penulis di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan
yaitu :
1.
Al-Dihlawī menjadikan posisi al-Muwatthā’
lebih superior dalam tingkatan kitab-kitab hadis disebabkan karena ia lebih
tertarik dan mendalami kajian kitab tersebut ketika berada di Hijaz. Interestnya
pada karya Imam Mālik itu terkait dengan basic yang dimilikinya lebih cenderung
pada fikih-hadis dan itu sangat sesuai dengan karakter kitab al-Muwatthā’.
2.
Perlu adanya koreksi atas
pemahaman hadis Al-Dihlawī tentang superioritas al-Muwatthā’ dalam
tingkatan kitab hadis supaya tidak terjadi kerancuan secara metodologis, sebab pada
hakikatnya shahīhain baik daripada al-Muwatthā’ dan mungkin juga
termasuk kutub al-Sittah yang lain.
Demikian
makalah pemikiran hadis kontemporer ini kami buat. Penulis yakin bahwa dalam pembuatan
makalah ini terdapat kesalahan maupun kecacatan. Oleh sebab itu, penulis
meminta bimbingan dan arahan dari bapak dosen serta teman-teman semua.
[3]
Nama Quṭb al-Dīn sebenarnya adalah julukan (Laqab). Adanya julukan ini disebabkan
karena Syaikh Quṭb al-Dīn al-Bakhtiyar al-Kākī (w. 1236 M.) bermimpi bahwa
Syaikh Abd al-Raḥīm (ayah al-Dihlawī) akan mempunyai anak laki-laki yang cerdas
dan shalih. Jika mimpi ini benar-benar terjadi, maka Syaikh Quṭb al-Dīn akan
sangat senang sekali kalau namanya dipakai oleh anak tersebut. Ternyata benar,
Syaikh Abd al-Raḥīm pun memiliki anak laki-laki, maka al-Dihlawī pun dijuluki
dengan nama tersebut (Quṭb al-Dīn). Lihat Sayyid Sābiq, “Baina Yaday Kitāb”
dalam Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah (Beirut: Dār al-Jail, 2005),
hlm. 12-13. Sementara J.M.S. Baljon menyebutkan bahwa al-Dihlawī berkata
“Ketika saya lahir, bagaimanapun, Allah menyebabkan ayahku lupa memberi nama Quṭb
al-Dīn padaku. Ia memanggilku dengan nama Waliyullāh (kekasih Allah) yang
mengindikasikan bahwa aku akan menjadi objek kemurahan tetap kasih Tuhan (mutawalla).
Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh Waliyullāh al-Dihlawī
(Leiden: E. J. Brill, 1986), hlm. 1.
[6]
“Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī, Argumen Puncak
Allah, terj. Nurrudin Hidayat dan C. Romli Bihar Anwar (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2005), hlm. 684. Peristiwa mistik bukan hanya didapatkan ayah
Al-Dihlawī, akan tetapi ibunya juga memperoleh hal tersebut. Ketika sang ibu
baru saja selesai menyapih (weaned) Al-Dihlawī, ia bermimpi melihat
burung dengan bentuk yang sangat indah datang kepada ayah Al-Dihlawī. Burung
tersebut membawa selembar kertas yang bertuliskan nama Allah dalam tulisan
berwarna emas. Selanjutnya, burung kedua datang pada ayahnya juga sambil
membawa selembar kertas lainnya yang berisikan “Dengan nama Allah yang maha
pengasih lagi maha penyayang. Jikalau kenabian pasca Muhammad masih mungkin,
maka kami akan jadikan dia Nabi. Namun, dengan datangnya Muhammad, maka
kenabian pun telah berakhir”. Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of
Shāh Waliyullāh al-Dihlawī..., hlm. 3.
[7] Ia adalah salah satu raja kerajaan Mughal
yang sangat memperhatikan syariat. Diceritakan bahwa ia mengharamkan minuman
keras, perjudian, prostitusi, penggunaan narkotik, mengharamkan sati,
praktek pengorbanan Hindu terhadap para janda, menghancurkan patung-patung
hindu, dan lain-lain. Hal ini menimbulkan kebencian dari komunitas Hindu dan
akhirnya terjadilah pemberontakan-pemberontakan dari masyarakat Hindu. Lihat
Asnawi Mahfudz, Pembaharuan Hukum Islam; Telaah Manhaj Ijtihad Shāh Walī Allāh al-Dihlawī..., hlm. 33-34.
[13]
Terdapat praduga-praduga mengenai tinggalnya Syah Waliyullah di Hijaz setelah
haji. Ada yang berpendapat bahwa beliau lebih dulu menetap di Hijaz karena
ingin memperluas ilmunya, namun menurut M. Mujeeb hal ini dikarenakan
al-Dihlawi ingin menghindari reaksi dari ulama’ konservatif yang tidak setuju
terhadap perbuatannya yang telah menterjemahkan al-Qur’an ke dalam Bahasa
Persia. Menerjemah al Qur’an ke dalam bahasa lain adalah sesuatu yang sangat
berani pada saat itu.
Pendapat
M. Mujeeb tersebut tidak dapat dibuktikan, sebab dalam kata pengantar
terjemahnya al Dihlawi mengatakan bahwa setelah selesainya surat al Baqarah
dan Ali Imran ia belum dapat melanjutkannya sebab harus berangkat ke
Makkah-Madinah. Lihat Siti Masfufah,“Klasifikasi Sunnah
Menurut Pemikiran Syah Waliyullah al Dihlawi“, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga, tidak
diterbitkan, Yogyakarta, 2008, hlm. 45.
[18]
Masa hidup al-Dihlawi hampir sama dengan salah satu tokoh Wahabi, Muhammad bin
Abdul Wahab (1702-1791). Sehingga sangat wajar jikalau al-Dihlawi sedikit
banyak terpengaruh dengan pemikiran tokoh pembaharu. Walaupun pemikirannya agak
berbeda dalam memahami kata “Back to Qur’an and Sunna”. Muhammad bin Abdul
Wahab memaknainya dengan tekstual dan ekstrem, tetapi al-Dihlawi memahaminya
lebih fleksibel. Perlu diketahui juga bahwa Arab Saudi, yang di dalamnya
mencakup Hijaz (Makkah dan Madinah) pada abad ke-17 dan 18 belum menjadi daerah
kekuasaan penuh Wahabi. Sebab Wahabi baru menguasai Arab Saudi secara
menyeluruh pada abad ke-19, yaitu pada masa “Arab Saudi ketiga (1902-1932)”.
Lihat Nur Khalik Ridwan, Perselingkuhan Wahabi dengan Agama, Bisnis, dan
Kekuasaan (Yogyakarta: Tanah Air, 2009), hlm. 4-5.
[23]
Inspirasi utama ia dalam mengarang buku ini adalah karena ketika al-Dihlawī
menunaikan ibadah haji, ia bermimpi bertemu cucu-cucu Nabi (Hasan dan Husain),
yang mengulukan sebuah pena patah padanya, dan ia memperbaikinya. Setelah itu,
ia dianugerahi jubah Nabi. Sejak saat itu ia menyadari bahwa ia memiliki tugas
penting untuk memperbaiki ilmu-ilmu keislaman dengan cara mempelajari hadis
Nabi. Dalam pendahuluan kitab tersebut, al-Dihlawī menulis bahwa ia menunda
untuk menulis proyek ambisius itu selama beberapa waktu, namun dorongan salah
satu murid terdekatnya, yakni Muhammad ‘Āsyiq Phulat (1773) dan kesadarannya bahwa
karya semaacam itu sangat dibutuhkan memaksanya untuk mulai menulis karya
tersebut. Lihat “Mengenal Shāh Walī Allāh” dalam Al-Dihlawī,
Argumen Puncak Allah..., hlm. 685-386.
[28]
Hadis Hadis Riwayat Muslim, Sahih Muslim, Kitab al Fadlail, Bab Wujubu Imtitsal
ma Qalahu Syr’an duna ma Dzakarohu min
Ma’ayiz, no. 4356, CD
Mausu’ah al Hadis al Syarif, Global Islamic Software, 1991-1997. Hadis ini diucapkan Nabi ketika
terjadi beliau salah dalam memberikan instruksi metode yang paling tepat dalam
persilangan kurma yang ada di Madinah.
[30]
Ramal adalah jalan cepat yang
disertai gerakan-gerakan lengan dan kaki untuk memperlihatkan kekuatan fisik
seseorang. Ketika Muhammad Saw. Dan para sahabat datang ke Makkah untuk
menunaikan haji dan bangsa Quraisy masih menguasainya, para penyembah berhala
berkata bahwa mereka telah menjadi lemah karena demam Yatsrib, sehingga Nabi
menyuruh mereka melakukan ramal dalam tiga kali putaran mengelilingi
Ka’bah.
[32]
Pada perkembangan selanjutnya, dalam memahami hadis mustafid para ulama
terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, menyamakan antara hadis masyhūr
dan mustafid. Kedua, hadis mustafid lebih khusus, sebab
dua ujung sanad (sahabat dan rawi terakhir) di dalamnya disyaratkan harus sama.
Ketiga, kebalikan dari pendapat kedua. Lihat Abdul Fattah dkk., ‘Ulūm
al-Ḥadīs li al-Mustawā al-Ṡāni (Jakarta: Departemen Agama, 1997), hlm.
18.
[36]
Secara general mengenai hukum riwayah bi al-Ma’na ini, para ulama
terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, tidak boleh secara mutlak.
Termasuk tipe jenis ini adalah Abdullāh bin Umar, Umar bin Khatthāb (sahabat),
Qāsim bin Muhammad, Muhammad bin Sirin, Rajā’ bin Ḥaiwah, Ṭawus bin Kaisān
(tabi’in), Imam Mālik, Ḥammad bin Zaid, Ahamd bin Hanbal (tabiut tabi’in). Kedua,
membolehkan secara mutlak. Yang masuk kategori ini ialah Ḥasan al-Basyri,
al-Sya’bi, Ibrahīm al-Nakhā’i. Ketiga, membolehkan dengan syarat-syarat
tertentu. Mereka adalah Aisyah, Abū Said al-Khudry, Wā’ilah bin al-Aqsā. Lihat
Salamah Noorhidayati, Kritik Teks Hadis: Analisis tentang al-Riwāyah bi
al-Ma’nā dan Implikasinya bagi Kualitas Hadis (Yogyakarta: Teras, 2009),
hlm. 61-76.
[42]
Al-Dihlawī, Ḥujjah Allāh al-Bāliġah.., hlm. 233. Peringkat kelima ini,
menurut penulis terjadi permasalahan, sebab setelah melalu penelusuran pada
buku-buku lain yang membahas pemikiran Al-Dihlawī, ternyata tidak mencantumkan
peringkat kelima ini. Lihat J.M.S. Baljon, Religion and Thought of Shāh
Waliyullāh al-Dihlawī..., hlm. 152-154. Lihat juga Muhammad Alawi
al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, terj. Adnan Qohar (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 241-244.
[58]
Walaupun terjadi perdebatan juga tentang kitab mana yang pantas menempati
posisi keenam. Ulama yang pertama kali memasukkan Sunan Ibnu Majah dalam
tingkatan hadis keenam adalah Abū al-Fāḍil Muhammad bin Ṭahir al-Maqdisī (w.
507 H.), yang kemudian diikuti oleh Ibnu Ḥajar, al-Mizzi, dan al-Żahabi.
Sedangkan ulama sebelum formulasi yang dilontarkan Abū al-Fāḍil dan sebagian
dari mereka setelah itu masih menganggap al-Muwatta’ sebagai dasar atau peringkat yang keenam.
Lihat Mushtafa Kamal dkk., ‘Ulūm al-Ḥadīs li al-Mustawā awwal (Jakarta:
Departemen Agama, 1997), hlm. 28.
[60]
Penulis pernah mengadakan peneitian mengenai kuantitas hadis mauquf dan maqthu’
yang ada di al-Muwattha’ dengan menggunakan CD Mausu’ah. Hasilnya
menyebutkan hadis mauquf berjumlah 599 hadis (37,58 %) dan maqthu’
berjumlah 248 hadis (15,56 %) dari total keseluruhan 1594 hadis. Sementara Abu
Bakar al-Abhari mengatakan bahwa dalam Muwattha Malik terdapat 613 hadis mauquf
dan 285 hadis Maqthu’ dari total 1726 hadis.
makasih ustadz, jadi refensi buat tugas pak Suryadi. hhee
BalasHapus