QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Kamis, 12 Januari 2012

APLIKASI HADIS DARI ASPEK KUALITAS, LINGUISTIK, DAN HISTORIS; STUDI KASUS KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

“Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
Dalam rumah tangga tak jarang terjadi hal-hal anarkis yang kebanyakan dilakukan suami pada istri. Tindakan ini bisa berupa pemukulan, penganiyaan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan sedikit dibahas kekerasan dalam rumah tangga dalam perspketif hadis. sehingga bisa diketahui bagaimana sebenarnya Islam memandang kekerasan dalam rumah tangga.
Hadis pokok :
Abu Dawud no. 1834 dalam kitāb al-Nikāh, bāb fī dharbi al-Nisā’
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي خَلَفٍ وَأَحْمَدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ السَّرْحِ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ذَئِرْنَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Rasulullah bersabda, janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah (isteri-isteri). Maka datanglah Umar bin Khattab pada Nabi Muhammad saw. Umar berkata sungguh para isteri sudah berbuat durhaka pada suaminya. Lalu Nabi pun memberikan dispensasi untuk memukul mereka. Setelah itu, banyak isteri berkeliling di keluarga Rasulullah seraya mengadukan suami-suami mereka. Nabi Muhammad kemudian bersabda, sungguh banyak isteri berkeliling pada keluarga Muhammad guna mengadukan suami-suami mereka, mereka (suami yang memukul isteri dengan keras) bukanlah orang yang terbaik di antara kalian”   
Setelah melalui takhrij dengan metode raqm al-Hadīs (al-Atrāf dan takhrij) serta bahs al-Sharfi dengan kata imā’ Allah ditemukan hadis-hadis setema sebagai berikut :
Ibnu Majah no. 1975 dalam kitāb al-Nikāh, bāb dharbi al-Nisā’
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُنَّ إِمَاءَ اللَّهِ فَجَاءَ عُمَرُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَأْمُرْ بِضَرْبِهِنَّ فَضُرِبْنَ فَطَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَائِفُ نِسَاءٍ كَثِيرٍ فَلَمَّا أَصْبَحَ قَالَ لَقَدْ طَافَ اللَّيْلَةَ بِآلِ مُحَمَّدٍ سَبْعُونَ امْرَأَةً كُلُّ امْرَأَةٍ تَشْتَكِي زَوْجَهَا فَلَا تَجِدُونَ أُولَئِكَ خِيَارَكُمْ
Darimi no. 2122 dalam kitāb al-Nikāh, bāb al-Nahyi fī dharbi al-Nisā’

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ أَبِي خَلَفٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ فَجَاءَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ قَدْ ذَئِرْنَ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
  1. PEMBAHASAN ASPEK KUALITAS
Berdasarkan penelitian penulis pada CD Mausu’ah, ketiga hadis ini bernilai marfu’ dan semua rawinya bernilai siqah, kecuali Muhammad bin al-Shabah (rawi terakhir dari Ibnu Majah) yang berperingkat saduq. Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan hadis ini berkualitas shahih. Kesimpulan ini dikuatkan oleh Nasiruddin Albani sebagai kritikus paling ketat yang menyatakan hadis ini bertingkatan shahih.[1]
Kemudian, penelitian dari aspek kualitas diteruskan pada pembahasan matan (teks) hadis. sebab hadis walaupun hadis yang dilegitimasi sebagai hadis shahih kadangkala memiliki kecacatan dalam aspek ilal, tashif, dan tahrif. Semua itu bisa terdeteksi hanya dengan cara mengkomparasikan hadis satu sama lain.
Menurut asumsi penulis, dalam riwayat Ibnu Majah ditemukan unsur ilal berupa mudraj. Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan tambahan keterangan mengenai waktu dan jumlah demonstran, yakni para isteri yang dipukul isterinya. Di sana disebutkan bahwa demonstran datang pada Nabi pada waktu malam hari, kemudian baru pagi harinyalah Nabi bercerita. Sekaligus juga dituturkan jumlahnya 70 isteri dan setiap dari mereka mengadukan pemukulan suami mereka masing-masing. Kemudian di riwayat Ibnu Majah itu juga disebutkan kata fa’mur bi dharbihinna padahal dalam riwayat lainnya diredaksikan dengan farakhasha fi dharbihinna. Keduanya menurut penulis mempunyai “taste” yang berbeda. Kata fa’mur mengibaratkan Nabi menyuruh tanpa adanya sisi keberatan pada diri Nabi atau bisa dibilang memberikan kebebasan secara mutlak, akan tetapi lafad farakhasha serasa Nabi memberikan perintah dengan adanya rasa sedikit keberatan dan memberikan batasan.
Hal yang menjadi indikator utama penulis mengutarakan pendapatnya diatas tentang unsur ilal dalam riwayat Ibnu Majah tersebut adalah karena semua rawi terakhir berasal dari rantai transmisi hadis bersumber (dari atas) dari Iyas bin Abdullah – Ubaidillah dan Abdullah bin Abdullah bin Umar – Zuhri – Sufyan. Sehingga secara logika tidak mungkin terjadi perbedaan riwayat hadis yang dari Sufyan. Dengan demikian, harusnya  Muhammad bin al-Shabah (rawi terakhir dari Ibnu Majah) mencuatkan hadis yang serupa dengan Ahmad bin Abi Khalaf, Ahmad bin Amr bin Sarh (rawi Abu Dawud) dan Muhammad bin Ahmad bin Abi Khalaf (rawi Darimi). Ditambah lagi dengan predikat Muhammad bin al-Shabah sendiri yang hanya saduq. Namun dibalik itu semua memungkinkan juga riwayat ini diredaksikan bi al-Ma’na.      
Sebenarnya dalam hadis-hadis pula memungkinkan terjadi tashif, yakni ada sanad antara Ubaidillah ataukah Abdullah bin Abdullah bin Umar. Riwayat Ahmad bin Abi Khalaf, Muhammad bin Sabah disebutkan dengan nama Abdullah. Sementara Ahmad bin Amr bin Sarh dan Muhammad bin Ahmad bin Abi Khalaf menggunakan nama Ubaidillah. Tentunya hal ini menyulitkan penelitian penulis, karena keduannya memang ada sebagai rawi hadis. Abdullah berkunyah Abu Abdurrahman, sedangkan Ubaidillah mempunyai kunyah Abu Bakar. Bisa jadi Zuhri mendapatkan hadis ini dari kedua putra Ibnu Umar ini. Problem ini bisa dijadikan bahan diskusi.
Namun, kita kembali pada tujuan pembahasan aspek kualitas ini adalah untuk menentukan kualitas hadis. Dalam konteks ini bisa dijabarkan kembali bahwa hadis ini memiliki empat jalur periwayatan, yakni dari Ahmad bin Abi Khalaf, Muhammad bin Sabah disebutkan dengan nama Abdullah dan Ahmad bin Amr bin Sarh dan Muhammad bin Ahmad bin Abi Khalaf menggunakan nama Ubaidillah. Jikalau yang yang tashif adalah Ubaidillah, maka hadis dengan nama Abdullah bisa dipakai bisa dihukumi shahih secara mutlak. Sedangkan apabila yang tashif ialah Abdullah, maka hadis yang memakai nama Ubaidillah bisa dikategorisasikan sebagai shahih secara pasti. Dus, hadis ini bisa dipakai hujjah.      
  1. PEMBAHASAN DARI ASPEK LINGUISTIK
Pada pembahasan linguistik kali ini kata yang akan dibahas adalah imā’ Allah dan daira. Sebab keduanya seolah menjadi keyword dalam pemahaman hadis tersebut. kata pertama terkait dengan konteks statemen Nabi Muhammad pada awal hadis. Sementara lafad kedua berkaitan dengan perkataan Umar bin Khattab pada Rasulullah.
Menurut penulis kata imā’ Allah bersifat majas, sebab ia tidak bisa langsung dipahami dari redaksi katanya secara tekstual, tetapi sebenarnya kata ini merujuk pada makna isteri-isteri. Dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa kata imāmerupakan bentuk plural dari lafad amatun (budak perempuan), yakni isteri-isteri kalian sebab mereka adalah orang yang dekat dengan Allah sebagaimana kaum maskulin disebutkan sebagai Abddullah (budak laki-laki Allah.[2] Penjabaran ini diperkuat pula dengan hadis riwayat Muslim no. 4177 :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَأَمَتِي كُلُّكُمْ عَبِيدُ اللَّهِ وَكُلُّ نِسَائِكُمْ إِمَاءُ اللَّهِ وَلَكِنْ لِيَقُلْ غُلَامِي وَجَارِيَتِي وَفَتَايَ وَفَتَاتِي

Sedangkan kata daira  atau dairna bisa dikatakan gharib karena ada dalam kitab gharib al-Hadis, tetapi penentuan ini masihlah tergantung dari aspek intelektual masing-masing. Dalam ‘Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud dimaknai sebagai ijtara’na (lancang), nasazna (meninggalkan kewajiban bersuami isteri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami), dan ghalabna (bertengkar).[3] Pemaknaan hampir sama diberikan oleh Ibnu Asir, beliau menyebutkan maknanya adalah  nasazna ‘alaihim wa ijtara’na.[4] Jadi bisa ditarik kesimpulan maknanya adalah sang isteri menyakiti hati suami.

Dari keterangan secara tekstual hadis ini bisa ditarik kesimpulan bahwa Nabi memperbolehkan memukul isteri jikalau sang isteri berbuat durhaka dan menyakiti suami, semisal bertindak lancang, meninggalkan kewajiban isteri, atau bertengkar dengan suami. Namun yang problematika adalah kenapa Nabi mengatakan mereka (orang yang memukul isteri) sebagai orang yang bukan terbaik padahal pada awalnya Nabi memperbolehkan? Menurut hemat penulis, bisa jadi maksud pukulan yang dibolehkan Nabi berbeda dengan aplikasi pukulan dari para sahabat pada isteri-isteri mereka. permasalahan ini akan dibahas pada pembahasan aspek historis.

  1. PEMBAHASAN DARI ASPEK HISTORIS

1.      Asbab al-Wurud
a.       Asbab al-Wurud makro
Untuk asbabul wurud makro hadis tersebut sudah tertera secara eksplisit pada teks hadis, sehingga tidak perlu dibahas panjang lebar lagi.
b.      Asbab al-Wurud mikro
Diperbolehkannya memukul isteri ini kemungkinan disebabkan budaya arab pada saat itu bersifat patriarkis gender. Seorang lelaki bisa mengawini berpuluh-puluh perempuan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, maka semakin bisa ia menikahi banyak wanita. Hal ini juga menimbulkan gaya “ringan tangan” atas kekuasaan yang ia miliki atas sang isteri. Namun, tradisi buruk ini coba dihilangkan oleh agama Islam, laki-laki hanya diperbolehkan menikahi perempuan sampai empat, itu pun harus melalui syarat-syarat yang ketat, larangan Nabi untuk memukul isteri, serta hadis-hadis lainnya. Akan tetapi karena budaya kekerasan mungkin memang sudah mengakar pada diri sahabat, maka mereka masih ingin memukul isteri apabila berbuat kesalahan pada mereka.

2.      Tarikh al-Mutun
Dalam kitab Syarhu al-Sunnah dijelaskan bahwa memukul isteri diperbolehkan dalam rangka mencegah hak-hak nikah (man’i huquq al-Nikah), hanya saja ia memukul dengan tidak menyakitkan dan tidak pada wajah pada wajah. Hal ini menjadi runtutan al-Sunnah pada al-Qur’an. Dalam konteks pukulan, mengandung kemungkinan bahwa larangan Nabi untuk memukul isteri terjadi sebelum turunnya ayat. Kemudian ketika isteri durhaka pada suami Nabi pun mengizinkannya dan turunlah ayat yang sesuai dengan itu. Lalu ketika mereka (sahabat) melakukan pemukulan, Nabi mengabarkan bahwa pukulan hanya diperbolehkan bagi isteri yang jelek perilakunya. Maka dengan demikian, mushannif berkesimpulan bahwa menahan diri dan sabar pada perilaku jelek dan meninggalkan pukulan lebih utama dan lebih bagus.[5]

3.      Mukhtalif al-Hadis
Berikut akan dipaparkan beberapa hadis yang berhubungan dengan hadis yang dibahas (pukulan terhadap isteri) :
a.       Nabi tidak pernah memukul perempuan
Hadis Muslim no. 4296 hadis Shahih
حَدَّثَنَاه أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدَةُ وَوَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ يَزِيدُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Nabi Muhammad tidak pernah sekalipun memukul dengan tangannya. Tidak pernah memukul wanita dan tidak pula pembantu kecuali bila beliau berjihad di jalan Allah...”

b.      Nabi tidak memilihkan calon suami yang suka memukul
Hadis Muslim no. 2709 hadis shahih
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha ditalak tiga oleh suaminya Abu ‘Amr bin Hafsh dst. Selesai masa iddahnya, Fathimah mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abul Jahm. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat pada pundaknya. Sementara Muawiyah miskin tidak berharta. Maka nikahlah dengan Usamah bin Zaid”[6]

c.       Nabi menyuruh untuk tidak memukul wajah
Hadis Abu Dawud no. 1830 hadis hasan sahih (Albani)
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ أَبُو دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ
“Apa saja Kewajiban suami terhadap isteri? Nabi menjawab, memberikan pangan padanya dst. Dan janganlah memukul wajah dst.”  

d.      Perintah Nabi kalau memukul isteri hendaknya dengan pukulan yang tidak keras
Hadis Muslim no. 2137 (pesan Nabi pada waktu haji wada’) hadis shahih
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ         
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (isteri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras
e.    Statemen Nabi “Janganlah ditanya seorang laki-laki yang memukul isterinya”
Hadis Abu Dawud no. 1835[7]
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوْدِيِّ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمُسْلِيِّ عَنْ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيمَا ضَرَبَ امْرَأَتَهُ
“Janganlah ditanya seorang laki-laki tentang perihal ia memukul isterinya”
D.    PEMAKNAAN HADIS
Dari proses awal hingga akhir pada hadis tentang pembolehan memukul isteri ini bisa ditarik benang merah bahwa Nabi memperbolehkan seorang suami memukul isteri hanya jika si isteri melakukan perbuatan durhaka. Namun yang harus dicatat adalah pembolehan ini bersifat dispensasi (rukhsah), yang artinya tidak diperbolehkan selalu berperilaku kasar pada sang isteri. Adapun pukulan yang dilakukan haruslah tidak menyakiti dan tidak mengena pada wajah.
Kemudian kita juga harus mengkolerasikannya dengan ayat al-Qur’an tentang isteri yang nusyuz. Terdapat tiga tahapan, pertama diberikan nasihat, kedua “bobok” sendiri-sendiri, dan ketiga barulah dipukul. Pukulan ini haruslah tidak menyakitkan dan tidak pada wajah serta harus mempunyai nilai pendidikan. Namun alangkah lebih baiknya bila seorang suami itu sabar akan hal itu, sebagaimana Nabi yang tidak pernah sekalipun memukul isteri-isteri beliau.    
Keperbolehan Nabi untuk memukul pastilah mempunyai nilai universal yang terkandung di dalamnya. Saling mengingatkan ketika berbuat salah, sebagai sarana didik, dan lain-lain mungkin beberapa diantaranya. Suami sebagai kepala rumah tangga pastinya memiliki tanggung jawab terhadap isterinya di akhirat kelak. Oleh sebab itu, ia berhak menegur isteri apabila berbuat salah. Namun dalam konteks pernikahan bukan hanya isteri saja yang berbuat salah sehingga suami menegur, akan tetapi suami juga bisa berbuat salah dan menyakiti sehingga si isteri mengingatkannya. Hal ini tentunya memberikan suatu kebahagiaan tersendiri pada pasangan suami isteri.
Dus, inti dari ini semua adalah pukulan hanyalah sebuah alternatif terakhir yang tidak mesti dilakukan dalam konteks pernikahan. Sebuah rajutan tali pernikahan hendaknya tidak dibumbui dengan aksi-aksi anarkis sebagaimana jalinan cinta Nabi Muhammad beserta isteri-isteri beliau yang terjalin harmonis tanpa adanya pukulan. Sehingga dari itu semua diharapkan terjadi jalinan cinta kasih pernikahan yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Wallahu a’lam bi al-Sawab



[1] Lihat Nasiruddin Albani, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa Tabaqat, vol 5, hlm. 146.
[2] Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa Tabaqat, vol 5, hlm. 31.
[3] Lihat Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud..., vol 5, hlm. 31.  
[4] Lihat Ibnu Asir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadis, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa Tabaqat, vol 2, hlm. 375.
[5] Lihat Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud..., vol 5, hlm. 31.  
[6] Tidak pernah meletakkan tongkat pada pundaknya berarti sering memukul perempuan. Ini adalah bahasa majazi. Keterangan seperti ini ada pada hadis yang setema dengan ini. Lafadnya dharrab li al-Nisa’
[7] Setelah melalui proses takhrij, hadis ini juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 1976 dan Ahmad no. 117. Setelah dicek di CD Mausu’ah boleh dibilang hadisnya bisa diterima walaupun di dalam riwayat Ahmad ada rawi yang dhaif, sebab rawi tersebut hanyalah rawi percabangan. Akan tetapi yang jadi permasalahan lagi adalah salah satu rawi pokok, yakni Abdurrahman al-Musli hanya terdapat kongklusi maqbul. Sedangkan predikat ini merupakan standar paling bawah dalam tema ta’dil. Ketika dilakukan penelusuran dalam kitab tahqiq Albani terdapat keterangan bahwa yang mengatakan maqbul adalah kritikus al-Hafidz. Sementara Albani sendiri mendhaifkan hadis ini, sebab terdapat Abdurrahman al-Musli ini. Lihat Nasiruddin Albani, irwa’ al-Khalil, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa Tabaqat, vol 7, hlm. 99. Penulis dalam hal ini setuju dengan Albani, ditambah lagi makna hadis ini bertentangan dengan semangat Nabi dalam perlindungannya terhadap wanita.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj