“Kekerasan Dalam Rumah Tangga”
Dalam rumah tangga tak jarang terjadi hal-hal anarkis
yang kebanyakan dilakukan suami pada istri. Tindakan ini bisa berupa pemukulan,
penganiyaan, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dalam makalah ini akan sedikit
dibahas kekerasan dalam rumah tangga dalam perspketif hadis. sehingga bisa
diketahui bagaimana sebenarnya Islam memandang kekerasan dalam rumah tangga.
Hadis pokok :
Abu Dawud no. 1834 dalam kitāb al-Nikāh, bāb fī
dharbi al-Nisā’
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ أَبِي خَلَفٍ وَأَحْمَدُ
بْنُ عَمْرِو بْنِ السَّرْحِ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ ابْنُ السَّرْحِ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ فَجَاءَ عُمَرُ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ذَئِرْنَ النِّسَاءُ
عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ طَافَ بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ
أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Rasulullah
bersabda, janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah (isteri-isteri).
Maka datanglah Umar bin Khattab pada Nabi Muhammad saw. Umar berkata sungguh
para isteri sudah berbuat durhaka pada suaminya. Lalu Nabi pun memberikan dispensasi
untuk memukul mereka. Setelah itu, banyak isteri berkeliling di keluarga
Rasulullah seraya mengadukan suami-suami mereka. Nabi Muhammad kemudian
bersabda, sungguh banyak isteri berkeliling pada keluarga Muhammad guna
mengadukan suami-suami mereka, mereka (suami yang memukul isteri dengan keras) bukanlah
orang yang terbaik di antara kalian”
Setelah melalui takhrij
dengan metode raqm al-Hadīs (al-Atrāf dan takhrij)
serta bahs al-Sharfi dengan kata imā’ Allah ditemukan
hadis-hadis setema sebagai berikut :
Ibnu Majah no. 1975
dalam kitāb al-Nikāh, bāb dharbi al-Nisā’
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ أَنْبَأَنَا
سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ
بْنِ عُمَرَ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُنَّ إِمَاءَ اللَّهِ فَجَاءَ عُمَرُ
إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ
ذَئِرَ النِّسَاءُ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَأْمُرْ بِضَرْبِهِنَّ فَضُرِبْنَ فَطَافَ
بِآلِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَائِفُ نِسَاءٍ كَثِيرٍ فَلَمَّا
أَصْبَحَ قَالَ لَقَدْ طَافَ اللَّيْلَةَ بِآلِ مُحَمَّدٍ سَبْعُونَ امْرَأَةً كُلُّ
امْرَأَةٍ تَشْتَكِي زَوْجَهَا فَلَا تَجِدُونَ أُولَئِكَ خِيَارَكُمْ
Darimi no. 2122 dalam
kitāb al-Nikāh, bāb al-Nahyi fī dharbi al-Nisā’
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ
أَبِي خَلَفٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ
اللَّهِ عَنْ إِيَاسِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي ذُبَابٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللَّهِ فَجَاءَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ قَدْ ذَئِرْنَ عَلَى أَزْوَاجِهِنَّ فَرَخَّصَ فِي ضَرْبِهِنَّ فَأَطَافَ
بِآلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ
أَزْوَاجَهُنَّ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ طَافَ
بِآلِ مُحَمَّدٍ نِسَاءٌ كَثِيرٌ يَشْكُونَ أَزْوَاجَهُنَّ لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
- PEMBAHASAN
ASPEK KUALITAS
Berdasarkan penelitian
penulis pada CD Mausu’ah, ketiga hadis ini bernilai marfu’ dan semua
rawinya bernilai siqah, kecuali Muhammad bin al-Shabah (rawi terakhir
dari Ibnu Majah) yang berperingkat saduq. Dengan demikian bisa ditarik
kesimpulan hadis ini berkualitas shahih. Kesimpulan ini dikuatkan oleh
Nasiruddin Albani sebagai kritikus paling ketat yang menyatakan hadis ini
bertingkatan shahih.[1]
Kemudian,
penelitian dari aspek kualitas diteruskan pada pembahasan matan (teks) hadis. sebab
hadis walaupun hadis yang dilegitimasi sebagai hadis shahih kadangkala memiliki
kecacatan dalam aspek ilal, tashif, dan tahrif. Semua itu
bisa terdeteksi hanya dengan cara mengkomparasikan hadis satu sama lain.
Menurut asumsi
penulis, dalam riwayat Ibnu Majah ditemukan unsur ilal berupa mudraj.
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan tambahan keterangan mengenai waktu dan
jumlah demonstran, yakni para isteri yang dipukul isterinya. Di sana disebutkan
bahwa demonstran datang pada Nabi pada waktu malam hari, kemudian baru pagi
harinyalah Nabi bercerita. Sekaligus juga dituturkan jumlahnya 70 isteri dan
setiap dari mereka mengadukan pemukulan suami mereka masing-masing. Kemudian di
riwayat Ibnu Majah itu juga disebutkan kata fa’mur bi dharbihinna padahal
dalam riwayat lainnya diredaksikan dengan farakhasha fi dharbihinna.
Keduanya menurut penulis mempunyai “taste” yang berbeda. Kata fa’mur mengibaratkan
Nabi menyuruh tanpa adanya sisi keberatan pada diri Nabi atau bisa dibilang
memberikan kebebasan secara mutlak, akan tetapi lafad farakhasha serasa
Nabi memberikan perintah dengan adanya rasa sedikit keberatan dan memberikan
batasan.
Hal yang menjadi
indikator utama penulis mengutarakan pendapatnya diatas tentang unsur ilal
dalam riwayat Ibnu Majah tersebut adalah karena semua rawi terakhir berasal
dari rantai transmisi hadis bersumber (dari atas) dari Iyas bin Abdullah – Ubaidillah
dan Abdullah bin Abdullah bin Umar – Zuhri – Sufyan. Sehingga secara logika
tidak mungkin terjadi perbedaan riwayat hadis yang dari Sufyan. Dengan
demikian, harusnya Muhammad bin
al-Shabah (rawi terakhir dari Ibnu Majah) mencuatkan hadis yang serupa dengan Ahmad
bin Abi Khalaf, Ahmad bin Amr bin Sarh (rawi Abu Dawud) dan Muhammad bin Ahmad
bin Abi Khalaf (rawi Darimi). Ditambah lagi dengan predikat Muhammad bin
al-Shabah sendiri yang hanya saduq. Namun dibalik itu semua memungkinkan
juga riwayat ini diredaksikan bi al-Ma’na.
Sebenarnya dalam
hadis-hadis pula memungkinkan terjadi tashif, yakni ada sanad antara Ubaidillah
ataukah Abdullah bin Abdullah bin Umar. Riwayat Ahmad bin Abi Khalaf, Muhammad
bin Sabah disebutkan dengan nama Abdullah. Sementara Ahmad bin Amr bin Sarh dan
Muhammad bin Ahmad bin Abi Khalaf menggunakan nama Ubaidillah. Tentunya hal ini
menyulitkan penelitian penulis, karena keduannya memang ada sebagai rawi hadis.
Abdullah berkunyah Abu Abdurrahman, sedangkan Ubaidillah mempunyai kunyah Abu
Bakar. Bisa jadi Zuhri mendapatkan hadis ini dari kedua putra Ibnu Umar ini. Problem
ini bisa dijadikan bahan diskusi.
Namun, kita kembali
pada tujuan pembahasan aspek kualitas ini adalah untuk menentukan kualitas
hadis. Dalam konteks ini bisa dijabarkan kembali bahwa hadis ini memiliki empat
jalur periwayatan, yakni dari Ahmad bin Abi Khalaf, Muhammad bin Sabah
disebutkan dengan nama Abdullah dan Ahmad bin Amr bin Sarh dan Muhammad bin
Ahmad bin Abi Khalaf menggunakan nama Ubaidillah. Jikalau yang yang tashif adalah
Ubaidillah, maka hadis dengan nama Abdullah bisa dipakai bisa dihukumi shahih
secara mutlak. Sedangkan apabila yang tashif ialah Abdullah, maka hadis
yang memakai nama Ubaidillah bisa dikategorisasikan sebagai shahih secara
pasti. Dus, hadis ini bisa dipakai hujjah.
- PEMBAHASAN
DARI ASPEK LINGUISTIK
Pada pembahasan
linguistik kali ini kata yang akan dibahas adalah imā’ Allah dan daira.
Sebab keduanya seolah menjadi keyword dalam pemahaman hadis tersebut. kata
pertama terkait dengan konteks statemen Nabi Muhammad pada awal hadis. Sementara
lafad kedua berkaitan dengan perkataan Umar bin Khattab pada Rasulullah.
Menurut penulis
kata imā’ Allah bersifat majas,
sebab ia tidak bisa langsung dipahami dari redaksi katanya secara tekstual,
tetapi sebenarnya kata ini merujuk pada makna isteri-isteri. Dalam kitab ‘Aun
al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud disebutkan bahwa kata imā’ merupakan bentuk
plural dari lafad amatun (budak perempuan), yakni isteri-isteri kalian
sebab mereka adalah orang yang dekat dengan Allah sebagaimana kaum maskulin disebutkan
sebagai Abddullah (budak laki-laki Allah.[2]
Penjabaran ini diperkuat pula dengan hadis riwayat Muslim no. 4177 :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ قَالُوا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ
وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ عَبْدِي
وَأَمَتِي كُلُّكُمْ عَبِيدُ اللَّهِ وَكُلُّ نِسَائِكُمْ إِمَاءُ اللَّهِ وَلَكِنْ
لِيَقُلْ غُلَامِي وَجَارِيَتِي وَفَتَايَ وَفَتَاتِي
Sedangkan kata daira atau dairna
bisa dikatakan gharib karena ada dalam kitab gharib al-Hadis,
tetapi penentuan ini masihlah tergantung dari aspek intelektual masing-masing. Dalam
‘Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud dimaknai sebagai ijtara’na (lancang),
nasazna (meninggalkan kewajiban bersuami isteri, seperti meninggalkan rumah
tanpa izin suami), dan ghalabna (bertengkar).[3] Pemaknaan
hampir sama diberikan oleh Ibnu Asir, beliau menyebutkan maknanya adalah nasazna ‘alaihim wa ijtara’na.[4] Jadi
bisa ditarik kesimpulan maknanya adalah sang isteri menyakiti hati suami.
Dari keterangan
secara tekstual hadis ini bisa ditarik kesimpulan bahwa Nabi memperbolehkan memukul
isteri jikalau sang isteri berbuat durhaka dan menyakiti suami, semisal bertindak
lancang, meninggalkan kewajiban isteri, atau bertengkar dengan suami. Namun
yang problematika adalah kenapa Nabi mengatakan mereka (orang yang memukul
isteri) sebagai orang yang bukan terbaik padahal pada awalnya Nabi memperbolehkan?
Menurut hemat penulis, bisa jadi maksud pukulan yang dibolehkan Nabi berbeda
dengan aplikasi pukulan dari para sahabat pada isteri-isteri mereka. permasalahan
ini akan dibahas pada pembahasan aspek historis.
- PEMBAHASAN DARI ASPEK HISTORIS
1.
Asbab al-Wurud
a.
Asbab al-Wurud makro
Untuk asbabul wurud
makro hadis tersebut sudah tertera secara eksplisit pada teks hadis, sehingga
tidak perlu dibahas panjang lebar lagi.
b.
Asbab al-Wurud mikro
Diperbolehkannya memukul isteri ini kemungkinan
disebabkan budaya arab pada saat itu bersifat patriarkis gender. Seorang lelaki
bisa mengawini berpuluh-puluh perempuan. Semakin tinggi kedudukan seseorang,
maka semakin bisa ia menikahi banyak wanita. Hal ini juga menimbulkan gaya
“ringan tangan” atas kekuasaan yang ia miliki atas sang isteri. Namun, tradisi
buruk ini coba dihilangkan oleh agama Islam, laki-laki hanya diperbolehkan
menikahi perempuan sampai empat, itu pun harus melalui syarat-syarat yang ketat,
larangan Nabi untuk memukul isteri, serta hadis-hadis lainnya. Akan tetapi
karena budaya kekerasan mungkin memang sudah mengakar pada diri sahabat, maka
mereka masih ingin memukul isteri apabila berbuat kesalahan pada mereka.
2.
Tarikh al-Mutun
Dalam kitab Syarhu al-Sunnah dijelaskan bahwa
memukul isteri diperbolehkan dalam rangka mencegah hak-hak nikah (man’i
huquq al-Nikah), hanya saja ia memukul dengan tidak menyakitkan dan tidak
pada wajah pada wajah. Hal ini menjadi runtutan al-Sunnah pada al-Qur’an. Dalam
konteks pukulan, mengandung kemungkinan bahwa larangan Nabi untuk memukul
isteri terjadi sebelum turunnya ayat. Kemudian ketika isteri durhaka pada suami
Nabi pun mengizinkannya dan turunlah ayat yang sesuai dengan itu. Lalu ketika
mereka (sahabat) melakukan pemukulan, Nabi mengabarkan bahwa pukulan hanya
diperbolehkan bagi isteri yang jelek perilakunya. Maka dengan demikian, mushannif
berkesimpulan bahwa menahan diri dan sabar pada perilaku jelek dan meninggalkan
pukulan lebih utama dan lebih bagus.[5]
3.
Mukhtalif al-Hadis
Berikut akan dipaparkan beberapa hadis yang berhubungan
dengan hadis yang dibahas (pukulan terhadap isteri) :
a.
Nabi tidak pernah memukul perempuan
Hadis Muslim
no. 4296 hadis Shahih
حَدَّثَنَاه أَبُو
كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ
وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ
مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ
مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ
أَبِي شَيْبَةَ وَابْنُ نُمَيْرٍ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدَةُ وَوَكِيعٌ ح و حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ كُلُّهُمْ عَنْ هِشَامٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
يَزِيدُ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Nabi Muhammad tidak pernah sekalipun memukul dengan
tangannya. Tidak pernah memukul wanita dan tidak pula pembantu kecuali bila
beliau berjihad di jalan Allah...”
b.
Nabi tidak memilihkan calon suami yang suka memukul
Hadis Muslim
no. 2709 hadis shahih
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
يَزِيدَ مَوْلَى الْأَسْوَدِ بْنِ سُفْيَانَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنَّ أَبَا عَمْرِو بْنَ حَفْصٍ
طَلَّقَهَا الْبَتَّةَ وَهُوَ غَائِبٌ فَأَرْسَلَ إِلَيْهَا وَكِيلُهُ بِشَعِيرٍ
فَسَخِطَتْهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا لَكِ عَلَيْنَا مِنْ شَيْءٍ فَجَاءَتْ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَتْ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ لَيْسَ
لَكِ عَلَيْهِ نَفَقَةٌ فَأَمَرَهَا أَنْ تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ أُمِّ شَرِيكٍ
ثُمَّ قَالَ تِلْكِ امْرَأَةٌ يَغْشَاهَا أَصْحَابِي اعْتَدِّي عِنْدَ ابْنِ أُمِّ
مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ أَعْمَى تَضَعِينَ ثِيَابَكِ فَإِذَا حَلَلْتِ
فَآذِنِينِي قَالَتْ فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ
أَبِي سُفْيَانَ وَأَبَا جَهْمٍ خَطَبَانِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ
عَاتِقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لَا مَالَ لَهُ انْكِحِي أُسَامَةَ
بْنَ زَيْدٍ فَكَرِهْتُهُ ثُمَّ قَالَ انْكِحِي أُسَامَةَ فَنَكَحْتُهُ فَجَعَلَ
اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا وَاغْتَبَطْتُ
“Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha ditalak tiga oleh
suaminya Abu ‘Amr bin Hafsh dst. Selesai masa iddahnya, Fathimah mengabarkan
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa ia dilamar oleh Mu’awiyah
bin Abi Sufyan dan Abul Jahm. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda: adapun Abu Jahm tidak pernah meletakkan tongkat pada pundaknya.
Sementara Muawiyah miskin tidak berharta. Maka nikahlah dengan Usamah bin Zaid”[6]
c.
Nabi menyuruh untuk tidak memukul wajah
Hadis Abu
Dawud no. 1830 hadis hasan sahih (Albani)
حَدَّثَنَا مُوسَى
بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ أَخْبَرَنَا أَبُو قَزَعَةَ الْبَاهِلِيُّ
عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ الْقُشَيْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قُلْتُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ قَالَ أَنْ تُطْعِمَهَا
إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ
الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ قَالَ أَبُو
دَاوُد وَلَا تُقَبِّحْ أَنْ تَقُولَ قَبَّحَكِ اللَّهُ
“Apa saja Kewajiban suami terhadap isteri? Nabi menjawab,
memberikan pangan padanya dst. Dan janganlah memukul wajah dst.”
d.
Perintah Nabi kalau memukul isteri hendaknya dengan pukulan yang tidak
keras
Hadis Muslim
no. 2137 (pesan Nabi pada waktu haji wada’) hadis shahih
فَاتَّقُوا اللَّهَ فِي النِّسَاءِ فَإِنَّكُمْ أَخَذْتُمُوهُنَّ بِأَمَانِ
اللَّهِ وَاسْتَحْلَلْتُمْ فُرُوجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللَّهِ وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ
لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ
ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
“Bertakwalah
kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (isteri), karena kalian
mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan
mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak
boleh membiarkan seseorang
yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan
(permadani) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka
dengan pukulan
yang tidak keras”
e.
Statemen Nabi “Janganlah ditanya seorang laki-laki yang memukul isterinya”
Hadis Abu Dawud no. 1835[7]
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ
حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَوْدِيِّ عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ الْمُسْلِيِّ عَنْ الْأَشْعَثِ بْنِ قَيْسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُسْأَلُ الرَّجُلُ فِيمَا
ضَرَبَ امْرَأَتَهُ
“Janganlah ditanya seorang
laki-laki tentang perihal ia memukul isterinya”
D.
PEMAKNAAN HADIS
Dari proses awal
hingga akhir pada hadis tentang pembolehan memukul isteri ini bisa ditarik
benang merah bahwa Nabi memperbolehkan seorang suami memukul isteri hanya jika si
isteri melakukan perbuatan durhaka. Namun yang harus dicatat adalah pembolehan
ini bersifat dispensasi (rukhsah), yang artinya tidak diperbolehkan selalu
berperilaku kasar pada sang isteri. Adapun pukulan yang dilakukan haruslah
tidak menyakiti dan tidak mengena pada wajah.
Kemudian kita juga
harus mengkolerasikannya dengan ayat al-Qur’an tentang isteri yang nusyuz. Terdapat
tiga tahapan, pertama diberikan nasihat, kedua “bobok” sendiri-sendiri, dan
ketiga barulah dipukul. Pukulan ini haruslah tidak menyakitkan dan tidak pada
wajah serta harus mempunyai nilai pendidikan. Namun alangkah lebih baiknya bila
seorang suami itu sabar akan hal itu, sebagaimana Nabi yang tidak pernah
sekalipun memukul isteri-isteri beliau.
Keperbolehan Nabi untuk
memukul pastilah mempunyai nilai universal yang terkandung di dalamnya. Saling
mengingatkan ketika berbuat salah, sebagai sarana didik, dan lain-lain mungkin
beberapa diantaranya. Suami sebagai kepala rumah tangga pastinya memiliki
tanggung jawab terhadap isterinya di akhirat kelak. Oleh sebab itu, ia berhak menegur
isteri apabila berbuat salah. Namun dalam konteks pernikahan bukan hanya isteri
saja yang berbuat salah sehingga suami menegur, akan tetapi suami juga bisa
berbuat salah dan menyakiti sehingga si isteri mengingatkannya. Hal ini
tentunya memberikan suatu kebahagiaan tersendiri pada pasangan suami isteri.
Dus, inti dari ini
semua adalah pukulan hanyalah sebuah alternatif terakhir yang tidak mesti
dilakukan dalam konteks pernikahan. Sebuah rajutan tali pernikahan hendaknya
tidak dibumbui dengan aksi-aksi anarkis sebagaimana jalinan cinta Nabi Muhammad
beserta isteri-isteri beliau yang terjalin harmonis tanpa adanya pukulan.
Sehingga dari itu semua diharapkan terjadi jalinan cinta kasih pernikahan yang sakinah
mawaddah wa rahmah.
Wallahu
a’lam bi al-Sawab
[1] Lihat Nasiruddin Albani, Shahih wa Dhaif Sunan Abi Dawud, CD ROM
al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa Tabaqat, vol 5, hlm.
146.
[2] Aun al-Ma’bud syarah Sunan Abi Dawud, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi
Tarajim wa Tabaqat, vol 5, hlm. 31.
[4] Lihat Ibnu Asir, al-Nihayah fi Gharib al-Hadis, CD
ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa Tabaqat, vol 2,
hlm. 375.
[6] Tidak pernah
meletakkan tongkat pada pundaknya berarti sering memukul perempuan. Ini adalah
bahasa majazi. Keterangan seperti ini ada pada hadis yang setema dengan ini.
Lafadnya dharrab li al-Nisa’
[7] Setelah melalui proses takhrij, hadis ini juga dikeluarkan
oleh Ibnu Majah no. 1976 dan Ahmad no. 117. Setelah dicek di CD Mausu’ah
boleh dibilang hadisnya bisa diterima walaupun di dalam riwayat Ahmad ada rawi
yang dhaif, sebab rawi tersebut hanyalah rawi percabangan. Akan tetapi yang
jadi permasalahan lagi adalah salah satu rawi pokok, yakni Abdurrahman al-Musli
hanya terdapat kongklusi maqbul. Sedangkan predikat ini merupakan
standar paling bawah dalam tema ta’dil. Ketika dilakukan penelusuran
dalam kitab tahqiq Albani terdapat keterangan bahwa yang mengatakan maqbul
adalah kritikus al-Hafidz. Sementara Albani sendiri mendhaifkan hadis
ini, sebab terdapat Abdurrahman al-Musli ini. Lihat Nasiruddin Albani, irwa’
al-Khalil, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah, Kutub el-Barnamij fi Tarajim wa
Tabaqat, vol 7, hlm. 99. Penulis dalam hal ini setuju dengan Albani, ditambah
lagi makna hadis ini bertentangan dengan semangat Nabi dalam perlindungannya terhadap
wanita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar