QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Kamis, 12 Januari 2012

Pahlawan Devisa Negara

Bergelanyut dalam sakit. Tak ada yang ku pikirkan kecuali wajah gembira ibuku di Indonesia. Aku tak mau, keceriaan mereka terkotori melihat keadaanku sekarang ini. Diriku harus tetap kuat, meskipun meradang dalam kesakitan yang sangat. Muka memar dilibas pukulan. Tangan gosong dilindas setrika panas. Semua itu tak jadi masalah, sebab inilah resiko pekerjaan yang ku jalani.
Saat itu umurku masih 18 tahun, ku putuskan untuk mencari penghidupan yang layak di negara Jiran. Awalnya keraguan sempat menderaku, karena pada waktu itu aku masih baru lulus SMA. Namun, melihat bagaimana penderitaan Ibuku, aku pun membulatkan tekad untuk berjuang di negara tetangga Indonesia itu. Segenap keyakinan ku kumpulkan demi mendapatkan secercah semangat dalam diri ini.  
Ibuku hanyalah seorang kuli sawah yang hanya digaji 20 ribu perhari. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan kami dengan penghasilan seperti itu. Sementara ayahku meninggal karena kecelakaan saat aku masih berada dalam kandungan. Tak pelak, itu pun membuat ibuku harus berjuang ekstra keras demi memenuhi kebutuhanku ketika bayi. Di samping harus bekerja mati-matian, dia juga dengan tertatih-tatih membawaku kemana-mana saat masih dalam rahim. Meskipun berstatus single parent, ibuku tak pernah mengeluh akan kehidupan yang dijalaninya.
Anehnya, ibuku tak berniat menikah kembali. Tak tahu penyebab pastinya. Saat ku tanya, ibu hanya tersenyum saja Mungkin karena terlalu cinta pada ayahku, sehingga enggan menikah kembali. Atau juga bisa karena ibu merasa sudah kuat menjalani hidup seorang diri bersama anaknya.   
Berbalut penderitaan di negara Jiran, ku ingat-ingat memori ketika dulu aku menyatakan keinginanku saat ingin menjadi TKW di Malaysia. Saat itu hujan turun deras ditambah dengan bunyi gemuruh petir yang menghujam keras ke bumi, seolah tak rela membiarkan kepergianku dari tanah kelahiranku.
“Bu, saya izin ingin menjadi TKW di Malaysia” pintaku pada ibu.
“Jangan nak!! Ibu tak rela kalau kau menjadi siksaan majikanmu. Ibu tak ingin dirimu menderita di sana. Di Indonesia, masih banyak ladang pekerjaan. Kenapa kita harus mencarinya di negara lain? Meskipun menjadi kuli sawah seperti ibu, yang penting kita mendapatkannya dengan cara halal” jawab ibu.
“Ibu, aku tak tahan melihat penderitaan ibu di sini. Setiap hari harus kerja keras, tetapi hasil yang didapatkan hanya 20 ribu. Mimi ingin supaya kehidupan kita dapat berubah menjadi lebih baik. Ibu tentunya ingin menegakkan kembali rumah kita yang sepertinya hampir roboh ini bukan?” ucapku dengan sedikit bujukan.
“Iya nak, tapi bukan begitu caranya. Ibu benar-benar tak rela melihat kau dipukul majikan, seperti yang banyak diberitakan nak. Ibu benar-benar tak ingin...” jawab ibu disertai tetesan air mata yang meluncur agak deras ke pipinya.
“Ibu, tolong hapus air mata itu. Jangan biarkan wajah ibu terbasahi oleh air mata. Mimi cuma ingin membantu ibu yang sudah susah payah membesarkan Mimi seorang diri” kataku pada ibu.
Dengan penuh rayuan dan bujukan, akhirnya aku mampu meyakinkan ibu bahwa diriku benar-benar siap bertarung dalam ganasnya atmosfer negara Jiran. Motivasiku hanya satu, aku ingin membahagiakan ibu yang telah melahirkan dan membesarkanku seorang diri. Semangatku kian menggebu-gebu ketika melihat tetangga desa sanggup membangun rumah dan membeli sawah dari hasil menjadi TKW di Malaysia.
“Ya Tuhan, semoga diriku berhasil di sana” pintaku saat itu.
-------
          “Assalamu’alaikum”
          “Wa’alaikum salam. Masya Allah, ini Mimi anakku ya?”
          “Ya Bu, ini anakmu Siti Qasmiyah. Maafkan anakmu ini Bu, sekarang baru bisa memberikan kabar” kataku dengan diringi deraian air mata.
          “Nak, bagimana keadaanmu di sana? Ibu sangat kawatir. Sudah setengah tahun kamu di sana tapi tak ada kabar, surat atau telpon pun tak muncul. Ibu kawatir sesuatu yang buruk terjadi padamu” ucap ibu disertai isak tangis.
          “Alhamdulillah, Mimi baik-baik saja Bu. Jangan kawatirkan Mimi di sini. Insya Allah dua bulan lagi Mimi akan kirim uang pada ibu” jawabku.
          “Uang tak penting nak. Yang penting kamu baik-baik saja di sana. Ibu tak rela anak semata wayang ibu hidup menderita di sana. Lebih baik kita hidup sederhana di sini, daripada di sana hidupmu penuh dengan penderitaan. Oh iya, besok hari ulang tahunmu nak, maaf Ibu tak bisa memberimu apa-apa. Hanya seucap doa saja yang bisa Ibu berikan, semoga dirimu selalu berada di lindungan Allah” ujar Ibu.
          “Amin, terima kasih Bu. Ibu selalu ingat ulang tahun Mimi. Doa dan restu Ibu lebih Mimi butuhkan. Sudah dulu ya Bu. Mimi masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Assalamu’alaikum” ku tutup gagang telpon.  
 Pyar...., tak sadar tiba-tiba air panas pun menimpa jilbab biru yang ku pakai. Mulutku menjerit tidak karuan. Rasa panas begitu menusuk kepala, sampai otak pun sulit dibuat berpikir. Di tambah air mata yang meleleh begitu kuatnya serasa hidup tersiksa di neraka.
Di belakangku, terlihat sesosok wanita gendut membawa sebuah ceret yang biasa diisi air panas. Sosoknya begitu mengerikan bagiku, sampai aku tak berani menatap matanya, meskipun hanya sekejab saja. Matanya merah menyala bak mata harimau. Tatapannya begitu tajam hingga membuat badanku sedikit gemetaran.
Dia menatapku bagai monster yang siap menerkam mangsa. Ketakutan menghegemoni perasaanku. Aku menunduk. Tapi dia tetap saja memandang dengan penuh amarah, dan akhirnya tangan kanannya menerjang pipi kiriku. Plok.., tamparan kuat itu membuatku agak terpelanting. Diriku mencoba duduk kembali. Tapi dia kembali mengulangi tamparanya. Kali ini dengan tangan yang satunya. Badanku pun kembali tersungkur. Terlihat pipiku memerah karena pukulan majikanku.
Sakit rasanya, tapi tetap saja aku tahan. Dia lantas memarahiku habis-habisan, sebab sudah lancang memakai telpon rumah tanpa izin. Kata-kata kasar dengan logat melayu pun menghujam tajam di telingaku. Ku coba minta maaf, namun tak dihiraukannya. Di kemudian menyeretku secara paksa ke dapur dan meninggalkanku di sana seorang diri.
Hanya tangisan yang menemaniku kala itu. Sedih, gundah, sakit, menjadi teman setiaku. Tiada senyuman yang terpancar dari wajahku. Isak tangis terdengar lirih dari kedua bibirku. Diriku merasa tak kuat juga. Tapi kemudian ku sadar, diriku haruslah kuat menahan ini semua. Walaupun perempuan, tidaklah seharusnya menjadikan diriku dibuai oleh kelemahan. Aku harus kuat menerjang segala rintangan yang ada di dunia. Pikiranku kembali teringat pada ibu yang berada di kampung.
“Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu yang lemah tak berdaya ini. Jagalah ibuku yang berada jauh di sana” doaku selepas shalat fardlu.
-------
          Hari ini tertanggal 28 Oktober. Ya, inilah hari kelahiranku. Beberapa orang menganggap aku istimewa, sebab lahir pada tanggal itu. Sampai-sampai dulu saat diriku melihat indahnya dunia untuk pertama kalinya, tanpa diminta ada tetangga yang membelikan susu. Aneh memang, tapi itulah realitas yang terjadi.
          Hari sumpah pemuda, itulah yang biasa didengungkan  orang-orang pada hari kelahiranku. Aku ingat, ketika masih SD dulu Bu Sofia, Guru PPKN di sekolah, selalu berujar tentang pentingnya implementasi sumpah pemuda pada diri setiap warga negara Indonesia.
          “Anak-anak, hari ini tertanggal 28 Oktober. Hari apakah ini? Ada yang tahu tidak? Yang bisa menjawab Ibu kasih hadiah” tanya Ibu Sofia pada anak-anak didiknya.
          “Hari Sumpah Pemuda Bu” jawabku dengan cekatan.
          “Bagus Mimi. Anak-anak, kalian hafal isi Sumpah Pemuda tidak?” Ibu Sofia bertanya kembali.
          “Hafal Bu....” jawab sebagian murid.
          “Tidak Bu...”  celetuk sebagian yang lain.
          “Sebagai warga negara Indonesia kalian harus hafal dan juga menanamkannya dalam hati kalian. Mengerti anak-anak?”
          “Mengerti Bu....” jawabku bersama teman-teman dengan kompak.
          “Ibu guru, nama saya juga diambil dari Sumpah Pemuda lo. Kan saya lahir tanggal 28 Oktober 1992 pukul 12 malam. Jadi Ibu menamai saya Siti Qasmiyah. Qasmiyah artinya sumpah. Nama ini pemberian Ustadz Rohman, Ustadz di RT saya Bu” ucapku pada Bu Sofia.
          “Ow jadi begitu sejarah namamu Mimi. Tapi kamu hafal isi Sumpah Pemuda tidak?” tantang ibu Guru.
          “Hafal lah Bu. Sumpah Pemuda, Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Kami putera-puteri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air Indonesia. Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa Indonesia” ujarku dengan tangkas.
          “Bagus Mimi. Kamu memang anak yang pintar. Nah anak-anak, kalian harus bisa hafal isi Sumpah Pemuda sebagaimana Mimi tadi. Dengan kalian hafal dan mengetahui isi Sumpah Pemuda, maka kalian akan selalu ingat tanah air yang sudah membesarkan kita. Dan yang paling penting adalah mendorong kita untuk selalu memberikan sesuatu yang bermanfaat bagi negara Indonesia” nasihat ibu Guru pada murid-muridnya.   
          Tak terasa, air mata berlinang ketika mengingat kisah masa kecilku dulu, terutama saat masih berseragam SD. Ingin rasanya mengulangi hidup untuk kedua kalinya, atau juga kembali ke masa lalu. Namun, aku pun tersadar bahwa itu hanyalah angan-angan yang tak akan bisa terjadi. Ku hapuskan sekuat-kuatnya khayalan yang tak jelas itu, sebab hanya akan membawaku pada kelemahan.
          Namun wajah ceria Bu Sofia masih terekam jelas di pikiranku. Bagaimana beliau menjelaskan pelajaran PPKN dengan semangatnya yang menggebu-gebu. Meskipun dari kalangan kaum hawa, tetapi gayannya tak kalah dengan kaum adam. Beliau sangat ku hormati sebagaimana ibuku sendiri. Namun yang menyedihkan, beberapa saat menjelang kepergianku ke Malaysia, terdengar Bu Sofia meninggal dunia. Sedih memang, tapi itulah takdir. Tak bisa terelakkan adanya.
          Nasihat Bu Sofia yang sarat dengan unsur-unsur nasionalisme sangat melekat erat di otakku sampai sekarang. Hal ini ku buktikan dengan selalu mengirimkan hadiah surah al-Fatihah pada negaraku usai shalat fardlu. Ku mohon pada Allah supaya Indonesia selalu aman sentosa dan masyarakatnya hidup makmur. Seluruh problematika bangsa dapat teratasi dengan mudah.
          Tak hanya itu, keadaan yang terjadi di Indonesia pun tak lepas dari pantauanku. Tiap kali terjadi masalah, tak henti-hentinya diriku beristighfar, Astagfirullah. Air mataku meleleh saat melihat bagaimana kasus Freeport memakan banyak korban, kasus korupsi bertebaran di mana-mana, dan demonstrasi yang berujung pada aksi anarkis. Sungguh semuanya itu menyisakan kesedihan tersendiri buatku.
          Meskipun jiwa ragaku tak berada di Indonesia, tetapi hatiku tetaplah berada di Indonesia. Aku bangga dengan tanah kelahiranku. Selalu ku dengungkan sumpah pemuda di sela-sela kesibukanku agar aku tak lupa darimana diriku berasal. Diriku memang berada di Malaysia sekarang, tetapi darah juangku tetaplah untuk negara Indonesia tercinta.
          Aku hanya memang seorang Tenaga Kerja Wanita yang kerap memperoleh siksaan dari majikan. Tapi menurutku, profesi ini lebih baik daripada seorang koruptor yang melarikan diri ke Singapura, lebih bermanfaat dari pejabat negara yang makan gaji buta, dan lebih bermartabat dari hakim pengadilan yang kerap menerima suap dari terdakwa. Karena akulah, sang Pahlawan Devisa Negara.   
Yang penting bukan faktualitasnya, akan tetapi ibrah yang dapat diambil
(Ahmad Muhammad Khalafullah)
    
*Penulis merupakan Mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta CP : 085729455365

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj