Bergelanyut dalam sakit. Tak ada yang ku pikirkan kecuali
wajah gembira ibuku di Indonesia. Aku tak mau, keceriaan mereka terkotori
melihat keadaanku sekarang ini. Diriku harus tetap kuat, meskipun meradang
dalam kesakitan yang sangat. Muka memar dilibas pukulan. Tangan gosong dilindas
setrika panas. Semua itu tak jadi masalah, sebab inilah resiko pekerjaan yang
ku jalani.
Saat itu umurku masih 18 tahun, ku putuskan untuk mencari
penghidupan yang layak di negara Jiran. Awalnya keraguan sempat menderaku,
karena pada waktu itu aku masih baru lulus SMA. Namun, melihat bagaimana
penderitaan Ibuku, aku pun membulatkan tekad untuk berjuang di negara tetangga
Indonesia itu. Segenap keyakinan ku kumpulkan demi mendapatkan secercah semangat
dalam diri ini.
Ibuku hanyalah seorang kuli sawah yang hanya digaji 20 ribu
perhari. Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan kami dengan penghasilan seperti
itu. Sementara ayahku meninggal karena kecelakaan saat aku masih berada dalam
kandungan. Tak pelak, itu pun membuat ibuku harus berjuang ekstra keras demi
memenuhi kebutuhanku ketika bayi. Di samping harus bekerja mati-matian, dia
juga dengan tertatih-tatih membawaku kemana-mana saat masih dalam rahim.
Meskipun berstatus single parent, ibuku tak pernah mengeluh akan
kehidupan yang dijalaninya.
Anehnya, ibuku tak berniat menikah kembali. Tak tahu
penyebab pastinya. Saat ku tanya, ibu hanya tersenyum saja Mungkin karena
terlalu cinta pada ayahku, sehingga enggan menikah kembali. Atau juga bisa
karena ibu merasa sudah kuat menjalani hidup seorang diri bersama anaknya.
Berbalut penderitaan di negara Jiran, ku ingat-ingat
memori ketika dulu aku menyatakan keinginanku saat ingin menjadi TKW di
Malaysia. Saat itu hujan turun deras ditambah dengan bunyi gemuruh petir yang
menghujam keras ke bumi, seolah tak rela membiarkan kepergianku dari tanah
kelahiranku.
“Bu, saya izin ingin menjadi TKW di Malaysia” pintaku
pada ibu.
“Jangan nak!! Ibu tak rela kalau kau menjadi siksaan
majikanmu. Ibu tak ingin dirimu menderita di sana. Di Indonesia, masih banyak
ladang pekerjaan. Kenapa kita harus mencarinya di negara lain? Meskipun menjadi
kuli sawah seperti ibu, yang penting kita mendapatkannya dengan cara halal”
jawab ibu.
“Ibu, aku tak tahan melihat penderitaan ibu di sini.
Setiap hari harus kerja keras, tetapi hasil yang didapatkan hanya 20 ribu. Mimi
ingin supaya kehidupan kita dapat berubah menjadi lebih baik. Ibu tentunya
ingin menegakkan kembali rumah kita yang sepertinya hampir roboh ini bukan?”
ucapku dengan sedikit bujukan.
“Iya nak, tapi bukan begitu caranya. Ibu benar-benar tak
rela melihat kau dipukul majikan, seperti yang banyak diberitakan nak. Ibu
benar-benar tak ingin...” jawab ibu disertai tetesan air mata yang meluncur agak
deras ke pipinya.
“Ibu, tolong hapus air mata itu. Jangan biarkan wajah ibu
terbasahi oleh air mata. Mimi cuma ingin membantu ibu yang sudah susah payah
membesarkan Mimi seorang diri” kataku pada ibu.
Dengan penuh rayuan dan bujukan, akhirnya aku mampu
meyakinkan ibu bahwa diriku benar-benar siap bertarung dalam ganasnya atmosfer negara
Jiran. Motivasiku hanya satu, aku ingin membahagiakan ibu yang telah melahirkan
dan membesarkanku seorang diri. Semangatku kian menggebu-gebu ketika melihat tetangga
desa sanggup membangun rumah dan membeli sawah dari hasil menjadi TKW di
Malaysia.
“Ya Tuhan, semoga diriku berhasil di sana” pintaku saat
itu.
-------
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikum salam. Masya Allah, ini Mimi anakku ya?”
“Ya Bu, ini
anakmu Siti Qasmiyah. Maafkan anakmu ini Bu, sekarang baru bisa memberikan
kabar” kataku dengan diringi deraian air mata.
“Nak, bagimana
keadaanmu di sana? Ibu sangat kawatir. Sudah setengah tahun kamu di sana tapi
tak ada kabar, surat atau telpon pun tak muncul. Ibu kawatir sesuatu yang buruk
terjadi padamu” ucap ibu disertai isak tangis.
“Alhamdulillah,
Mimi baik-baik saja Bu. Jangan kawatirkan Mimi di sini. Insya Allah dua bulan
lagi Mimi akan kirim uang pada ibu” jawabku.
“Uang tak
penting nak. Yang penting kamu baik-baik saja di sana. Ibu tak rela anak semata
wayang ibu hidup menderita di sana. Lebih baik kita hidup sederhana di sini,
daripada di sana hidupmu penuh dengan penderitaan. Oh iya, besok hari ulang
tahunmu nak, maaf Ibu tak bisa memberimu apa-apa. Hanya seucap doa saja yang
bisa Ibu berikan, semoga dirimu selalu berada di lindungan Allah” ujar Ibu.
“Amin, terima
kasih Bu. Ibu selalu ingat ulang tahun Mimi. Doa dan restu Ibu lebih Mimi
butuhkan. Sudah dulu ya Bu. Mimi masih ada kerjaan yang harus diselesaikan.
Assalamu’alaikum” ku tutup gagang telpon.
Pyar...., tak
sadar tiba-tiba air panas pun menimpa jilbab biru yang ku pakai. Mulutku
menjerit tidak karuan. Rasa panas begitu menusuk kepala, sampai otak pun sulit
dibuat berpikir. Di tambah air mata yang meleleh begitu kuatnya serasa hidup tersiksa
di neraka.
Di belakangku, terlihat sesosok wanita gendut membawa sebuah
ceret yang biasa diisi air panas. Sosoknya begitu mengerikan bagiku, sampai aku
tak berani menatap matanya, meskipun hanya sekejab saja. Matanya merah menyala
bak mata harimau. Tatapannya begitu tajam hingga membuat badanku sedikit
gemetaran.
Dia menatapku bagai monster yang siap menerkam mangsa. Ketakutan
menghegemoni perasaanku. Aku menunduk. Tapi dia tetap saja memandang dengan
penuh amarah, dan akhirnya tangan kanannya menerjang pipi kiriku. Plok..,
tamparan kuat itu membuatku agak terpelanting. Diriku mencoba duduk kembali. Tapi
dia kembali mengulangi tamparanya. Kali ini dengan tangan yang satunya. Badanku
pun kembali tersungkur. Terlihat pipiku memerah karena pukulan majikanku.
Sakit rasanya, tapi tetap saja aku tahan. Dia lantas
memarahiku habis-habisan, sebab sudah lancang memakai telpon rumah tanpa izin. Kata-kata
kasar dengan logat melayu pun menghujam tajam di telingaku. Ku coba minta maaf,
namun tak dihiraukannya. Di kemudian menyeretku secara paksa ke dapur dan
meninggalkanku di sana seorang diri.
Hanya tangisan yang menemaniku kala itu. Sedih, gundah,
sakit, menjadi teman setiaku. Tiada senyuman yang terpancar dari wajahku. Isak
tangis terdengar lirih dari kedua bibirku. Diriku merasa tak kuat juga. Tapi
kemudian ku sadar, diriku haruslah kuat menahan ini semua. Walaupun perempuan, tidaklah
seharusnya menjadikan diriku dibuai oleh kelemahan. Aku harus kuat menerjang
segala rintangan yang ada di dunia. Pikiranku kembali teringat pada ibu yang
berada di kampung.
“Ya Allah, kuatkanlah hamba-Mu yang lemah tak berdaya ini.
Jagalah ibuku yang berada jauh di sana” doaku selepas shalat fardlu.
-------
Hari ini
tertanggal 28 Oktober. Ya, inilah hari kelahiranku. Beberapa orang menganggap
aku istimewa, sebab lahir pada tanggal itu. Sampai-sampai dulu saat diriku
melihat indahnya dunia untuk pertama kalinya, tanpa diminta ada tetangga yang membelikan
susu. Aneh memang, tapi itulah realitas yang terjadi.
Hari
sumpah pemuda, itulah yang biasa didengungkan orang-orang pada hari kelahiranku. Aku ingat,
ketika masih SD dulu Bu Sofia, Guru PPKN di sekolah, selalu berujar tentang
pentingnya implementasi sumpah pemuda pada diri setiap warga negara Indonesia.
“Anak-anak,
hari ini tertanggal 28 Oktober. Hari apakah ini? Ada yang tahu tidak? Yang bisa
menjawab Ibu kasih hadiah” tanya Ibu Sofia pada anak-anak didiknya.
“Hari
Sumpah Pemuda Bu” jawabku dengan cekatan.
“Bagus
Mimi. Anak-anak, kalian hafal isi Sumpah Pemuda tidak?” Ibu Sofia bertanya
kembali.
“Hafal
Bu....” jawab sebagian murid.
“Tidak
Bu...” celetuk sebagian yang lain.
“Sebagai
warga negara Indonesia kalian harus hafal dan juga menanamkannya dalam hati
kalian. Mengerti anak-anak?”
“Mengerti
Bu....” jawabku bersama teman-teman dengan kompak.
“Ibu guru,
nama saya juga diambil dari Sumpah Pemuda lo. Kan saya lahir tanggal 28 Oktober
1992 pukul 12 malam. Jadi Ibu menamai saya Siti Qasmiyah. Qasmiyah artinya
sumpah. Nama ini pemberian Ustadz Rohman, Ustadz di RT saya Bu” ucapku pada Bu
Sofia.
“Ow jadi begitu
sejarah namamu Mimi. Tapi kamu hafal isi Sumpah Pemuda tidak?” tantang ibu
Guru.
“Hafal lah
Bu. Sumpah Pemuda, Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa
Indonesia. Kami putera-puteri Indonesia mengaku bertanah air satu, tanah air
Indonesia. Kami putera-puteri Indonesia mengaku berbahasa satu, bahasa
Indonesia” ujarku dengan tangkas.
“Bagus
Mimi. Kamu memang anak yang pintar. Nah anak-anak, kalian harus bisa hafal isi
Sumpah Pemuda sebagaimana Mimi tadi. Dengan kalian hafal dan mengetahui isi
Sumpah Pemuda, maka kalian akan selalu ingat tanah air yang sudah membesarkan
kita. Dan yang paling penting adalah mendorong kita untuk selalu memberikan
sesuatu yang bermanfaat bagi negara Indonesia” nasihat ibu Guru pada
murid-muridnya.
Tak
terasa, air mata berlinang ketika mengingat kisah masa kecilku dulu, terutama
saat masih berseragam SD. Ingin rasanya mengulangi hidup untuk kedua kalinya,
atau juga kembali ke masa lalu. Namun, aku pun tersadar bahwa itu hanyalah
angan-angan yang tak akan bisa terjadi. Ku hapuskan sekuat-kuatnya khayalan
yang tak jelas itu, sebab hanya akan membawaku pada kelemahan.
Namun wajah
ceria Bu Sofia masih terekam jelas di pikiranku. Bagaimana beliau menjelaskan
pelajaran PPKN dengan semangatnya yang menggebu-gebu. Meskipun dari kalangan
kaum hawa, tetapi gayannya tak kalah dengan kaum adam. Beliau sangat ku hormati
sebagaimana ibuku sendiri. Namun yang menyedihkan, beberapa saat menjelang
kepergianku ke Malaysia, terdengar Bu Sofia meninggal dunia. Sedih memang, tapi
itulah takdir. Tak bisa terelakkan adanya.
Nasihat Bu
Sofia yang sarat dengan unsur-unsur nasionalisme sangat melekat erat di otakku
sampai sekarang. Hal ini ku buktikan dengan selalu mengirimkan hadiah surah
al-Fatihah pada negaraku usai shalat fardlu. Ku mohon pada Allah supaya
Indonesia selalu aman sentosa dan masyarakatnya hidup makmur. Seluruh problematika
bangsa dapat teratasi dengan mudah.
Tak hanya
itu, keadaan yang terjadi di Indonesia pun tak lepas dari pantauanku. Tiap kali
terjadi masalah, tak henti-hentinya diriku beristighfar, Astagfirullah. Air
mataku meleleh saat melihat bagaimana kasus Freeport memakan banyak korban, kasus
korupsi bertebaran di mana-mana, dan demonstrasi yang berujung pada aksi
anarkis. Sungguh semuanya itu menyisakan kesedihan tersendiri buatku.
Meskipun jiwa
ragaku tak berada di Indonesia, tetapi hatiku tetaplah berada di Indonesia. Aku
bangga dengan tanah kelahiranku. Selalu ku dengungkan sumpah pemuda di
sela-sela kesibukanku agar aku tak lupa darimana diriku berasal. Diriku memang
berada di Malaysia sekarang, tetapi darah juangku tetaplah untuk negara
Indonesia tercinta.
Aku hanya
memang seorang Tenaga Kerja Wanita yang kerap memperoleh siksaan dari majikan. Tapi
menurutku, profesi ini lebih baik daripada seorang koruptor yang melarikan diri
ke Singapura, lebih bermanfaat dari pejabat negara yang makan gaji buta, dan
lebih bermartabat dari hakim pengadilan yang kerap menerima suap dari terdakwa.
Karena akulah, sang Pahlawan Devisa Negara.
Yang
penting bukan faktualitasnya, akan tetapi ibrah yang dapat diambil
(Ahmad
Muhammad Khalafullah)
*Penulis merupakan Mahasiswa fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta CP : 085729455365
Tidak ada komentar:
Posting Komentar