A.
ORIGINAL MEANING
Kata Bashura
yabshuru mempunyai kata benda al-Basharu. Ibnu Mandzur
mendefinisikannya sebagai suatu ungkapan (ibarah) dari sifat yang digunakan
untuk menyingkap sesuatu oleh kesempurnaan sifat-sifat penglihatan. Al-Laits
mengungkapkan bahwa maknanya adalah mata (al-‘Ain), hanya saja disebut
dalam bentuk maskulin (mudzakar). Dikatakan juga artinya indera
penglihatan. Senada dengan beliau, Ibnu Sayyidah menyebutkan artinya adalah
panca indera yang berupa mata.[1]
Sementara Ibnu Jauzi menerangkan bahwa ia adalah lawan kata (antonim) dari buta
(A’mā).[2]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa the original meaning dari kata bashura
adalah melihat dengan mata (me-mata).
B.
DERIVASI KATA DALAM AL-QUR’AN
Dalam
al-Qur’an, kata bashura beserta derivasinya disebutkan sebanyak 146
kali.[3] Semuanya terletak dalam ayat-ayat yang
berbeda-beda. Berikut beberapa derivasi kata bashura yang terdapat dalam
al-Qur’an :
1.
بصر (Bashura)
Kata di atas merupakan bentuk past (fi’il
madli) dan memiiki bentuk present (fi’il
mudhari’), yakni yabshuru. Keduanya disebutkan tiga kali dalam
al-Qur’an, dua kali dalam redaksi past dan sekali dalam bentuk present.[4]
Dalam al-Qur’an, kata ini mempunyai arti mengetahui (‘alima),[5]
seperti firman Allah swt.
قَالَ بَصُرْتُ
بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُولِ
فَنَبَذْتُهَا وَكَذَلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي
“Samiri menjawab: "Aku mengetahui
sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, Maka Aku ambil segenggam dari
jejak rasul lalu Aku melemparkannya, dan Demikianlah nafsuku membujukku" QS. Taha[20]: 96.
Adapun relasi semantisnya adalah karena implikasi
dari melihat ialah bisa mengetahui suatu kejadian.
Selain itu, kata ini juga bisa bermakna
melihat dengan mata sebagaimana yang disebutkan dalam the original meaning.
Contoh dalam ayat al-Qur’an seperti :
وَقَالَتْ لِأُخْتِهِ
قُصِّيهِ فَبَصُرَتْ بِهِ عَنْ جُنُبٍ وَهُمْ لَا يَشْعُرُونَ
“Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara Musa yang perempuan:
"Ikutilah dia" Maka kelihatanlah olehnya Musa dari jauh, sedang
mereka tidak mengetahuinya” QS. Al-Qasas[28]: 11.
2.
البصر (al-Bashar)
Kata tersebut adalah bentuk definitif (masdar)
dari kata bashura yabshuru, yang mempunyai bentuk plural al-Abshār. Di dalam al-Qur’an, bentuk singularnya
disebutkan sebanyak sepuluh kali, sedangkan bentuk pluralnya diredaksikan
sebanyak 38 kali.[6] Raghib
al-Asfahani menyebutkan maknanya ada dua. Pertama, anggota tubuh yang
digunakan untuk melihat (mata) serta kekuatannya berada pada anggota tubuh
tersebut. Kedua, kekuatan hati untuk mencapai sesuatu.[7]
Contoh arti yang pertama :
وَلِلَّهِ غَيْبُ
السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا أَمْرُ السَّاعَةِ إِلَّا كَلَمْحِ الْبَصَرِ
أَوْ هُوَ أَقْرَبُ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Dan kepunyaan Allah-lah segala apa yang
tersembunyi di langit dan di bumi. tidak adalah kejadian kiamat itu, melainkan
seperti sekejap mata atau lebih cepat (lagi). Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu” QS.
Al-Nahl[16]: 77.
إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ
وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ
الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا
“(yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu,
dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak
sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka” QS. Al-Ahzab[33]: 10.
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ
وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang dia
dapat melihat segala yang kelihatan; dan dialah yang Maha halus lagi Maha Mengetahui” QS. Al-An’am[6]: 103.
Raghib al-Asfahani menjelaskan bahwa mayoritas kaum muslimin memberikan
makna anggota badan (al-Jārihah) pada kata al-Abshār dalam ayat
tersebut. Namun sebagian kecil mengatakan bahwa kata itu menunjukkan pada anggota
badan (mata) dan juga khayalan dalam hati dan pemahaman. Sebagaimana instruksi Amirul
Mukminin ra. : التوحيد أن لا تتوهم (Tauhid adalah tidak mengkhayalkan Allah dalam hati).[8]
Sedangkan untuk arti kedua seperti contoh :
لَقَدْ كُنْتَ فِي غَفْلَةٍ مِنْ هَذَا
فَكَشَفْنَا عَنْكَ غِطَاءَكَ فَبَصَرُكَ الْيَوْمَ حَدِيدٌ
“Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, Maka
kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu
pada hari itu amat tajam” QS. Qaf[50]: 22.
Jika mengaplikasikan pemaknaan dari Raghib, maka bisa dipahami
bahwa yang dimaksud dengan bashar dalam ayat tersebut adalah kekuatan penglihatan
hati. Jadi pada hari kiamat, kekuatan hati menjadi sangat tajam dan tidak
sebagaimana yang dirasakan di dunia. Ibnu Jarir menyebutkan bahwa terdapat tiga
pendapat mengenai objek ayat ini. Pertama, Orang kafir. Kedua, Nabi
Muhammad saw. Ketiga, Seluruh manusia dan jin.[9]
Kedua makna yang disebutkan Raghib mempunyai relasi semantis, yakni sama-sama melihat,
walaupun terjadi perbedaan spesifikasi. Arti pertama lebih fokus pada mata,
sementara arti kedua lebih lebih fokus pada hati.
3.
بصيرة (Bashīrah)
Kata ini adalah pelaku (isim fāil) muannas dari kata bashura yabshuru.
Kata bashīrah merupakan isim yang berbentuk singular,
sedangkan bentuk pluralnya adalah بصائر (Bashāir).[10]
Dalam al-Qur’an tercatat kata ini dicuatkan oleh Sang Pencipta Alam sebanyak tujuh
kali, dua dalam bentuk singular dan lima dalam bentuk plural.[11]
Paling tidak terdapat tiga makna bagi
kata ini dalam al-Qur’an. Pertama, pengetahuan (ma’rifah) dan nyata
(tahaqquq); kedua, pelajaran (ibrah).[12];
dan ketiga, saksi. [13]
Sementara dalam bentuk maskulin, yaitu bashīr disebutkan sebanyak 36 kali dalam al-Qur’an.
Mayoritas dipasangkan sebagai sifat Allah, sementara sebagian kecil
diredaksikan dengan bentuk istifhām yang tidak membutuhkan jawaban atau bentuk
penafian.[14] Kata
ini memiliki arti Maha Melihat dengan tanpa anggota tubuh (jārihah). Arti ini hanya bagi Allah. Sementara selainnya
mempunyai arti melihat dengan mata.
Contoh arti
pertama (ma’rifah dan tahaqquq) seperti firman Allah :
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ
أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah:
"Inilah jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik". QS. Yusuf[12]: 108.
Relasi
semantisnya adalah sebab pengetahuan dan kenyataan adalah hasil dari sebuah
penglihatan.
Contoh arti kedua (pelajaran)
وَلَقَدْ
آَتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ مِنْ بَعْدِ مَا أَهْلَكْنَا الْقُرُونَ الْأُولَى بَصَائِرَ
لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةً لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan
Sesungguhnya Telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurat) sesudah kami
binasakan generasi-generasi yang terdahulu, untuk menjadi pelajaran bagi
manusia dan petunjuk dan rahmat, agar mereka ingat”. QS. Al-Qasas[28]: 43.
Adapun
relasi makna yang terjadi adalah dengan melihat sesuatu, maka hal tersebut bisa
menjadi pelajaran yang berharga bagi manusia.
Contoh
arti ketiga (saksi) seperti firman Allah:
بَلِ
الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ
“Bahkan manusia itu
menjadi saksi atas dirinya sendiri” QS. Al-Qiyamah[75]: 14.
Adapun relasi semantisnya
ialah karena pada dasarnya saksi adalah orang yang melihat suatu kejadian. Dalam
interpretasinya pada ayat ini, Ibnu Sayyidah mengatakan bahwa ayat ini
mempunyai dua makna. Pertama, manusia adalah saksi terhadap dirinya
sendiri. Kedua, saksi yang dimaksud adalah tangan, kedua kaki, dan
lisan, sebab semua itu akan menjadi saksi pada hari kiamat.[15]
Contoh dalam bentuk
maskulin yang disandarkan sebagai salah satu sifat Allah :
وَلَتَجِدَنَّهُمْ
أَحْرَصَ النَّاسِ عَلَى حَيَاةٍ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا يَوَدُّ أَحَدُهُمْ
لَوْ يُعَمَّرُ أَلْفَ سَنَةٍ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهِ مِنَ الْعَذَابِ أَنْ يُعَمَّرَ
وَاللَّهُ بَصِيرٌ بِمَا يَعْمَلُونَ
“Dan sungguh kamu akan
mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan
(lebih loba lagi) dari orang-orang musyrik. masing-masing mereka ingin agar
diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu sekali-kali tidak akan menjauhkannya
daripada siksa. Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan”. QS. Al-Baqarah[2]: 96.
Ibnu al-Asīr berkata bahwa
al-Bashīr ialah salah satu nama Allah, yang Ia melihat segala sesuatu
baik bentuk luarnya maupun bentuk dalamnya dengan tanpa anggota badan (jārihah).[16]
Sementara dalam bentuk
selain bagi Allah, seperti firman Allah :
قُلْ
لَا أَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي خَزَائِنُ اللَّهِ وَلَا أَعْلَمُ الْغَيْبَ وَلَا
أَقُولُ لَكُمْ إِنِّي مَلَكٌ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ قُلْ هَلْ
يَسْتَوِي الْأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Katakanlah: Aku tidak
mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula)
Aku mengetahui yang ghaib dan tidak (pula) Aku mengatakan kepadamu bahwa Aku
seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.
Katakanlah: "Apakah sama orang yang buta dengan yang melihat?"
Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)?" QS. Al-An’am[6]: 50.
4.
مبصرة (mubshirah)
Kata mubshirah merupakan bentuk pelaku (isim fāil) yang
berbentuk feminin (muannas) dari wazan abshara yubshiru. Selain
dalam bentuk muannas, kata ini juga dalam al-Qur’an ada yang berbentuk mudzakkar,
yaitu mubshir. Semuanya disebutkan masing-masing tiga kali.[17]
Tercatat paling tidak terdapat dua makna pada kata ini dalam al-Qur’an. Pertama,
jelas; dan kedua, bercahaya (mudhīah).[18]
Contoh arti pertama (jelas)
فَلَمَّا
جَاءَتْهُمْ آَيَاتُنَا مُبْصِرَةً قَالُوا هَذَا سِحْرٌ مُبِينٌ
“Maka tatkala
mukjizat-mukjizat kami yang jelas itu sampai kepada mereka, berkatalah
mereka: "Ini adalah sihir yang nyata". QS. Al-Naml[27]: 13.
Pendapat ini merupakan
pendapat al-Zajāj yang dikutip oleh Ibnu Mandzur. Adapun relasi semantisnya
adalah karena dengan melihat, niscaya akan mendapatkan kejelasan tentang suatu
perkara.
Contoh arti kedua
(bercahaya)
وَمَا
مَنَعَنَا أَنْ نُرْسِلَ بِالْآَيَاتِ إِلَّا أَنْ كَذَّبَ بِهَا الْأَوَّلُونَ
وَآَتَيْنَا ثَمُودَ النَّاقَةَ مُبْصِرَةً فَظَلَمُوا بِهَا وَمَا
نُرْسِلُ بِالْآَيَاتِ إِلَّا تَخْوِيفًا
“Dan sekali-kali tidak ada
yang menghalangi kami untuk mengirimkan (kepadamu) tanda-tanda (kekuasan kami),
melainkan Karena tanda-tanda itu Telah didustakan oleh orang-orang dahulu. dan
Telah kami berikan kepada Tsamud unta betina itu (sebagai mukjizat) yang bercahaya,
tetapi mereka menganiaya unta betina itu. dan kami tidak memberi tanda-tanda
itu melainkan untuk menakuti” QS. Al-Isra’[17]: 59.
Pendapat ini adalah
pendapat al-Farra’ yang dikutip oleh Ibnu Mandzur. Adapun relasi semantisnya
adalah karena seseorang yang dapat melihat pastilah bertempat di tempat yang
terang dan tidak mungkin melihat di tempat yang gelap.
5.
تبصرة (Tabshirah)
Kata ini merupakan bentuk
definitif dari kata basshara yubasshiru tabsīran
tabshiratan.
Tercatat kata ini hanya dimunculkan sekali dalam al-Qur’an.[19]
Oleh sebab itu, pemaknaannya cuma ada satu dalam al-Qur’an, disebutkan oleh
Raghib al-Asfahani bahwa maknanya adalah penjelas (tibyānan).[20]
Adapun ayatnya yaitu :
وَأَنْبَتْنَا
فِيهَا مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ # تَبْصِرَةً وَذِكْرَى لِكُلِّ عَبْدٍ
مُنِيبٍ
7. Dan kami tumbuhkan padanya segala macam
tanaman yang indah dipandang mata,
8. Untuk menjadi penjelas
dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah).QS. Qaf[50]: 7-8.
C.
KONGKLUSI
Dari seluruh pemaparan penulis di atas, dapat
diambil kesimpulan :
1. Makna بصر يبصر (Bashura
yabshuru) ada dua, yakni mengetahui (‘alima) dan melihat
dengan mata.
2. Makna الأبصار البصر (al-Bashar- al-Abshār ) ada dua, yakni melihat dengan mata dan
melihat dengan hati.
3. Makna بصائر بصيرة (Bashīrah - Bashāir) ada tiga, yakni pengetahuan (ma’rifah)
dan nyata (tahaqquq), pelajaran (ibrah), dan
saksi.
4. Makna بصير (Bashīr) ada dua, yaitu Maha Melihat dengan tanpa
anggota tubuh (jārihah) dan melihat dengan mata.
5.
Makna مبصرة (mubshirah) ada dua, yaitu jelas dan bercahaya (mudhīah).
6.
Makna تبصرة (Tabshirah) ada satu, yakni penjelas
(tibyānan).
[1] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Kairo:
Dar Ma’arif, t.t.), hlm. 290.
[2] Ibnu Jauzi, Nuzhah al-A’yun al-Nadhoir
(Beirut: Muasassah al-Risalah, 1984), hlm. 199.
[3] Lihat Muhammad Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam
Mufahras li Alfadz al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah Dar Kutub
al-Misriyyah, 1364 H.), hlm. 121-123.
[4]Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufahras li
Alfadz al-Qur’an al-Karim..., hlm. 122.
[5] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab..., hlm.
291.
[6] Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufahras li
Alfadz al-Qur’an al-Karim..., hlm. 122-123.
[7] Raghib al-Asfahani, al-Murfadat fi Gharib
al-Qur’an (Beirut: Dar Ma’rifah, t.t.), hlm. 49.
[8] Raghib al-Asfahani, al-Murfadat fi Gharib
al-Qur’an..., hlm. 49.
[9] Ibnu Jarir, Tafsir al-Thabari
juz XXII, CD ROM Maktabah Syamilah, hlm. 351.
[10] Raghib al-Asfahani, al-Murfadat fi Gharib
al-Qur’an..., hlm. 49.
[11] Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufahras li
Alfadz al-Qur’an al-Karim..., hlm. 122.
[12] Raghib al-Asfahani, al-Murfadat fi Gharib
al-Qur’an..., hlm. 49.
[13] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab..., hlm.
291.
[14] Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufahras li
Alfadz al-Qur’an al-Karim..., hlm. 121-122.
[15] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab..., hlm.
291.
[16] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab..., hlm.
290.
[17] Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufahras li
Alfadz al-Qur’an al-Karim..., hlm. 122.
[18] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab..., hlm.
291.
[19] Fu’ad Abdul Baqi’, Mu’jam Mufahras li
Alfadz al-Qur’an al-Karim..., hlm. 122.
[20] Raghib al-Asfahani, al-Murfadat fi Gharib
al-Qur’an..., hlm. 50.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar