QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Jumat, 13 Januari 2012

Al-Wujūh wa al-Nadhāir kata awlā dalam al-Qur’an


Pada dasarnya kata “awlā” digunakan untuk mengunggulkan sesuatu atau seseorang yang lebih berhak (ahaqqu). Sebagaimana perkataan, زيد أولى باالإكرام من عمرو (Zaid lebih utama/berhak untuk dimulyakan daripada Amr). Namun, Ibnu Fāris mengatakan bahwa kata ini apabila digunakan dalam konteks memaki, maka mempunyai arti memberi ketakutan dan ancaman (tahaddud wa wa’īd). Sementara al-Asma’ī menyebutkan bahwa maknanya adalah didekati oleh sesuatu yang bisa menghancurkannya (qārabahu ma yuhlikuhu).[1]  
Ibnu Jauzi menyebutkan bahwa terdapat dua bentuk pemaknaan kata awlā oleh para ulama tafsir. Pertama, lebih berhak (ahaqqu), ayat yang bermakna seperti ini diantaranya adalah sebagai berikut :
وَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” al-Anfal: 75.
ثُمَّ لَنَحْنُ أَعْلَمُ بِالَّذِينَ هُمْ أَوْلَى بِهَا صِلِيًّا
“Dan Kemudian kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang seharusnya dimasukkan ke dalam neraka” Maryam: 70.
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ مَسْطُورًا
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah)” al-Ahzab: 6.[2]
Kedua, ancaman dan menakut-nakuti (al-Wa’īd wa al-Tahdīd), ayat-ayat yang menyatakan hal ini adalah sebagai berikut :
وَيَقُولُ الَّذِينَ آَمَنُوا لَوْلَا نُزِّلَتْ سُورَةٌ فَإِذَا أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مُحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتَالُ رَأَيْتَ الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ الْمَوْتِ فَأَوْلَى لَهُمْ
“Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan Karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka” Muhammad: 20.
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى # ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى
“Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu # Kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah bagimu” al-Qiyamah: 34-35.[3]
Dengan demikian, dapat diambil kongklusi bahwasanya kata awlā dalam al-Qur’an hanya mempunyai dua makna, yakni lebih berhak dan ancaman. Untuk membuktikan keterangan ini, maka penulis mencari makna kata tersebut dalam dua kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali, yaitu Tafsir Jalālain[4] (Duo Jalaluddin) dan Tafsir Tanwir al-Miqbās[5] (Ibnu Abbas yang dikumpulkan oleh Fairuz Abadi). Setelah ditelaah dalam dua kitab tafsir itu, ternyata memang interpretasi yang muncul pada kata awlā hanyalah lebih berhak (ahaqqu) dan ancaman (wa’īd) saja.[6]    

 


[1] Ibnu Jauzi, Nuzhah al-A’yun al-Nadhāir (Beirut: Muasassah al-Risalah, 1984), hlm. 96.
[2] Sebenarnya selain tiga ayat yang disebutkan Ibnu Jauzi, terdapat beberapa ayat lain yang bermakna lebih berhak (ahaqqu) juga, yakni Ali Imran: 68 dan al-Nisa: 135.
[3] Lihat Ibnu Jauzi, Nuzhah al-A’yun al-Nadhāir..., hlm. 97.
[4] Duo Jalaluddin, Tafsir jalālain, CD ROM Maktabah Syamilah.
[5] Ibnu Abbas, Tanwir al-Miqbās, CD ROM Maktabah Syamilah.
[6] Penelitian penulis didasarkan pada kwantitas kata awlā sendiri dalam al-Qur’an yang dihitung penulis berjumlah sepuluh buah yang tersebar dalam delapan ayat al-Qur’an.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj