Pada dasarnya kata “awlā” digunakan untuk
mengunggulkan sesuatu atau seseorang yang lebih berhak (ahaqqu).
Sebagaimana perkataan, زيد أولى
باالإكرام من عمرو (Zaid lebih utama/berhak untuk
dimulyakan daripada Amr). Namun, Ibnu Fāris mengatakan bahwa kata ini
apabila digunakan dalam konteks memaki, maka mempunyai arti memberi ketakutan dan
ancaman (tahaddud wa wa’īd). Sementara al-Asma’ī menyebutkan bahwa maknanya adalah didekati oleh sesuatu yang
bisa menghancurkannya (qārabahu ma yuhlikuhu).[1]
Ibnu Jauzi menyebutkan bahwa terdapat dua bentuk pemaknaan
kata awlā oleh para ulama tafsir. Pertama,
lebih berhak (ahaqqu), ayat yang bermakna seperti ini diantaranya adalah
sebagai berikut :
وَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْ بَعْدُ وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا مَعَكُمْ
فَأُولَئِكَ مِنْكُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ
فِي كِتَابِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah
serta berjihad bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga).
orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak
terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu” al-Anfal: 75.
ثُمَّ لَنَحْنُ أَعْلَمُ بِالَّذِينَ هُمْ أَوْلَى بِهَا
صِلِيًّا
“Dan Kemudian kami sungguh lebih mengetahui orang-orang yang
seharusnya dimasukkan ke dalam neraka” Maryam: 70.
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
وَأَزْوَاجُهُ أُمَّهَاتُهُمْ وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى
بِبَعْضٍ فِي كِتَابِ اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ إِلَّا أَنْ
تَفْعَلُوا إِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوفًا كَانَ ذَلِكَ فِي الْكِتَابِ
مَسْطُورًا
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin
dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. dan
orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi)
di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). adalah yang
demikian itu Telah tertulis di dalam Kitab (Allah)” al-Ahzab: 6.[2]
Kedua, ancaman dan menakut-nakuti
(al-Wa’īd wa al-Tahdīd), ayat-ayat yang menyatakan hal ini adalah sebagai berikut :
وَيَقُولُ الَّذِينَ آَمَنُوا لَوْلَا نُزِّلَتْ سُورَةٌ فَإِذَا
أُنْزِلَتْ سُورَةٌ مُحْكَمَةٌ وَذُكِرَ فِيهَا الْقِتَالُ رَأَيْتَ الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يَنْظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ عَلَيْهِ مِنَ
الْمَوْتِ فَأَوْلَى لَهُمْ
“Dan orang-orang yang beriman berkata: "Mengapa tiada
diturunkan suatu surat?" Maka apabila diturunkan suatu surat yang jelas
maksudnya dan disebutkan di dalamnya (perintah) perang, kamu lihat orang-orang
yang ada penyakit di dalam hatinya memandang kepadamu seperti pandangan orang
yang pingsan Karena takut mati, dan kecelakaanlah bagi mereka” Muhammad: 20.
أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى #
ثُمَّ أَوْلَى لَكَ فَأَوْلَى
“Kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah
bagimu # Kemudian kecelakaanlah bagimu (hai orang kafir) dan kecelakaanlah
bagimu” al-Qiyamah:
34-35.[3]
Dengan demikian, dapat diambil kongklusi bahwasanya kata awlā dalam
al-Qur’an hanya mempunyai dua makna, yakni lebih berhak dan ancaman. Untuk
membuktikan keterangan ini, maka penulis mencari makna kata tersebut dalam dua
kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali, yaitu Tafsir Jalālain[4] (Duo Jalaluddin) dan Tafsir
Tanwir al-Miqbās[5] (Ibnu Abbas yang dikumpulkan
oleh Fairuz Abadi). Setelah ditelaah dalam dua kitab tafsir itu, ternyata
memang interpretasi yang muncul pada kata awlā hanyalah
lebih berhak (ahaqqu) dan ancaman (wa’īd) saja.[6]
[2] Sebenarnya selain tiga
ayat yang disebutkan Ibnu Jauzi, terdapat beberapa ayat lain yang bermakna lebih
berhak (ahaqqu) juga, yakni Ali Imran: 68 dan al-Nisa: 135.
[6] Penelitian penulis didasarkan pada kwantitas kata awlā sendiri dalam al-Qur’an yang dihitung penulis berjumlah sepuluh buah
yang tersebar dalam delapan ayat al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar