A.
PENDAHULUAN
Pesantren,
sebagai basis utama penyebaran Islam di Indonesia yang eksistensinya sudah ada
sekitar 500 tahun silam tentunya memiliki berbagai macam kajian keislaman, tak
terkecuali hadis Nabi. Banyak sudah kitab-kitab hadis yang dipelajari di pondok
pesantren seluruh Indonesia, sebut saja Bulug al-Mara>m, Riyad
al-S{a>lihi>n, al-Adzka>r, dan lain sebagainya. Semuanya
memunculkan geliat akademik tersendiri bagi masyarakat muslim.
Namun,
upaya penelusuran sejarah perkembangan kajian hadis di Indonesia belum
dilakukan secara sistematis. Realitas ini paling tidak disebabkan karena dua
hal. Pertama, kenyataan bahwa kajian hadis tidak seintens kajian
keislaman lain, seperti al-Qur’an, fikih, akhlak, dan lain sebagainya. Kedua,
kajian hadis berkembang sangat lambat, terutama bila dilihat dari ulama
Nusantara telah menulis di bidang hadis pada abad ke 17. Namun demikian, seperti terlihat kemudian,
tulisan-tulisan tersebut tidak dikembangkan lebih jauh. Kajian hadis setelah
itu mengalami kemandekan hampir satu setengah abad lamanya. Untuk itulah,
perhatian para pengamat terhadap kajian hadis di Indonesia masih sangat kurang.
Kalaupun ada pengamat yang menaruh perhatian, perhatiannya masih parsial dan
tidak komprehensif (Jurnal Online, Studi Hadis di Indonesia, 1).
Oleh karenanya, dalam makalah ini akan dibahas
mengenai kajian hadis di salah satu pesantren yang berada di daerah pantura
Jawa, yaitu PP. Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan. Dalam tulisan ini,
penulis akan memberikan eksplanasi berupa sejarah pondok; deskripsi singkat
kitab-kitab berkonten hadis yang dipelajari; serta metodologi pengajaran di
pesantren tersebut. Semoga makalah ini bisa memberikan kontribusi baru dalam khazanah
keislaman, khususnya pada studi hadis di Indonesia.
B.
SEJARAH
PP. TARBIYATUT THOLABAH
Pondok
Pesantren Tarbiyatut Tholabah (Tabah) didirikan oleh KH. Musthofa Abdul Karim
pada tahun 1898. Pesantren tertua di Lamongan ini menempati lahan sekitar lima
hektar dan terletak di pantai utara Kabupaten Lamongan, tepatnya di desa Kranji
Paciran Lamongan. Lahirnya pesantren ini tidak dapat lepas dari sejarah
masyarakat Desa Kranji yang membutuhkan seorang pemimpin yang benar-benar bisa
menjadi panutan umat.
Kiai
Musthofa yang telah lama berkelana untuk mendalami ilmu di sejumlah pondok
pesantren (meliputi, Sampurnan Bungah Gresik, Langitan Tuban, Burno Bojonegoro,
dan Kiai Kholil Bangkalan), akhirnya diminta masyarakat Kranji untuk menjadi
pemipin dan guru masyarakat yang mayoritas penduduknya berprofesi sebagai
nelayan. Karena kepeduliannya terhadap masalah umat, Kiai Musthofa bersedia
bermukim di desa Kranji. Tidak lama kemudian, tepatnya pada bulan Jumadil
Akhir, Kiai Musthofa mulai merintis sebuah pondok yang diberi nama Tarbiyatut
Tholabah sebagai pusat pendidikan ilmu agama untuk masyarakat setempat.
Dalam
waktu yang cukup singkat, lahan tanah pesantren pemberian H. Harun (warga Desa
Kranji) yang dikenal angker itu disulap menjadi sebuah bangunan pondok
pesantren yang sederhana, tapi cukup bagi para santri untuk belajar. Pesantren
yang dirintis Kiai Musthofa langsung diterima oleh masyarakat luas, meski tidak
sedikit pula masyarakat yang menentangnya.
Pesantren
ini sudah berganti kepemimpinan sebanyak empat kali. Sekarang, PP. Tabah diasuh
oleh KH. Moh. Nasrullah Baqir dan memiliki banyak lembaga pendidikan. Di
lembaga formal ada TK, MI, MTs, MA, Staidra (Sekolah Tinggi Agama Islam Sunan
Drajat), Madin (Madrasah Diniyah) Wustho, Madin Ulya, dan Ma'had Ali
spesifikasi al-Qur'an (tiga terakhir dibentuk pada tahun 2009). Sedangkan kategori
lembaga pendidikan non-formal meliputi Diniyah Ula, Diniyah Wustho, Diniyah
Ulya, dan TPQ (dikumpulkan dari berbagai sumber).
C.
KAJIAN
KITAB HADIS DI PP. TABAH; SEBUAH DESKRIPSI SINGKAT
Dalam
menjelaskan kajian hadis di Pondok Pesantren ini, penulis membagi menjadi dua
kategori, yaitu wilayah pondok pesantren dan wilayah lembaga pendidikan.
Selanjutnya, lembaga pendidikan dibagi lagi menjadi dua, yaitu lembaga
pendidikan formal dan non-formal.
1.
Wilayah
Pondok Pesantren
Studi
hadis yang berada pada wilayah pondok pesantren ini tidak begitu mempunyai
perhatian yang signifikan. Dalam memberikan pengajaran pada santri-santrinya, Pondok
Pesantren ini hanya mengajarkan Fath al-Mu’i>n di waktu pagi dan Tafsi>r
Jalalain di saat sore hari. Namun, ketika bulan Ramadhan datang, kitab-kitab
yang berkonten hadis mulai banyak dikaji di pesantren ini. Disini, penulis
mencoba mengklasifikasikan kitab-kitab yang dipelajari di bulan Ramadhan tersebut
berdasarkan tingkatan pendidikan (MA-MTs.). Data ini diambil dari daftar kitab
pada tahun 2010 kemarin.
Madrasah S{anawiyah
|
Madrasah Aliyah
|
Durar al-Bahiyyah
|
Durrah al-Nasihi>n
|
Taisir al-Khalaq
|
Kitab al-Kaba>ir
|
Fadhail al-A’ma>l
|
Jawa>hir al-Bukhari>
|
Wasiyyah al-Must}afa>
|
Bidayah al-Hida>yah
|
Fath al-Majid
|
Uqud al-Lujjain
|
Risalah Mu’a>wanah
|
Tanwi>r al-Qulu>b
|
Risalah al-Siya>m
|
Hikayah al-A<syi>
|
Khula>sah Nurul Yaqi>n
|
Matan H{adra>mi>
|
Sullam al-Taufi>q
|
Qurrah al-Uyu>n
|
2.
Wilayah
Lembaga Pendidikan
a.
Lembaga
Formal
Pada
lembaga pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, tidak diberikan studi khusus mengenai kitab-kitab hadis. Pengajaran-pengajaran hadis
masih berkutat pada buku-buku sekolah yang menjadi objek studi. Sementara pada
tingkatan Madrasah Tsanawiyah, terdapat sedikit peningkatan yaitu dipelajarinya
kitab Bulug al-Mara>m karya Ibnu Hajar al-Asqala>ni> sebagai
mata pelajaran khusus.
Di
tingkat Madrasah Aliyah, tidak ada mata pelajaran khusus kitab hadis. Hanya
saja, di jurusan agama (MAK) disertakan pelajaran ulumul hadis sebagai
metodologi klarifikasi otentisitas hadis. Begitu pula di jurusan umum (Unggulan,
IPA, IPS, Bahasa) diberikan mata pelajaran ilmu hadis, tetapi tidak sedalam
sebagaimana di MAK. Pada tingkatan perguruan tinggi Staidra, layaknya perguruan
tinggi pada umumnya, berbagai kitab hadis maupun ulumul hadis dijadikan rujukan
perkuliahan. Namun tidak dikaji secara intens pada satu kitab tertentu.
Lembaga
pendidikan yang berbasis agama, Madrasah Diniyah (Madin) terdapat kajian ulumul
hadis yang cukup intens. Pada tingkatan wustho, kitab-kitab yang dikaji antara
lain Must}alah al-Hadi>s dan Ulu>m al-Hadi>s. Sementara
pada tingkatan ulya, terdapat kitab Must}alah al-Hadi>s, Us}u>l
al-Hadi>s, dan Ulu>m al-Hadi>s. Di tingkat Ma’had Ali
kitabnya lebih bervariasi antara lain Us}u>l al-Hadi>s, Ulum
al-Hadi>s, S{ahi>h Bukha>ri>, S{ahi>h Muslim, Sunan
Abu> Dawud, dan lain sebagainya (Interview dengan H., ketua Pondok tanggal
7 Maret 2011).
b.
Lembaga
non-formal
Di
lembaga pendidikan non-formal yang berada di naungan PP. Tabah tidak diajarkan
sama sekali mengenai kajian hadis. Tercatat hanya ada tiga objek pembahasan,
yaitu Nahwu, sharaf, dan fikih. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya karakteristik
pondok ini merupakan pondok yang berbasis nahwu-fikih layaknya mayoritas
pesantren di Indonesia.
D. METODE PENGAJARAN
Pengajaran
hadis di Pesantren ini layaknya pesantren Jawa kebanyakan, yakni Ustadz membacakan
hadis kemudian diartikan dengan makna Jawa gandul (pegon). Makna pegon
ini diaplikasikan kata perkata. Setelah itu, Ustadz menjelaskan maksud dari
hadis yang dibacakan, yang terkadang disertai kontekstualisasi di zaman
sekarang. Namun, bagi santri yang sudah menginjak Ma’had Ali, dalam
perkuliahanya sudah tidak lagi menggunakan cara demikian. Mereka dipersilahkan
memahami hadis-hadis yang ada secara individual. Apabila terjadi ketidakpahaman
dengan yang diajarkan, santri secara otomatis bertanya pada ustadz. Penjelasan
secara mendalam baru diberikan ketika perkuliahan berlangsung.
Pesantren
Tabah secara karakteristik bukanlah pesantren hadis, akan tetapi pesantren
nahwu-fikih. Sehingga hafalan hadis tidaklah dilakukan, yang menjadi hafalan
hanyalah juz amma, bait-bait Alfiyyah Ibnu Ma>>lik, jurumiyah, serta al-Qur’an
bagi Santri Ma’had Ali. Hafalan al-Qur’an sendiri baru menjadi program Pondok
ini setelah Ma’had Ali dibentuk. Sebelumnya, tahfidz al-Qur’an hanya
dilaksanakan oleh beberapa santri yang punya ‘niat khusus’ saja.
Background
sebagai seorang muhaddis atau tenaga pengajar hadis sangat mempengaruhi dalam
metode pengajaran dalam pesantren ini. Misalnya, ketika LL (inisial), Bu Nyai
yang pernah mengenyam pendidikan tafsir hadis di PTIQ mengajar kita>b
al-Kaba>ir, beliau dalam menerangkan hadis yang ada dalam kitab tersebut
tak lupa juga menyebutkan kualitas hadis, meskipun sebenarnya dalam kitab yang
dipegang santri tidak ada tahqiqnya. Sang ustadzah pada saat mengajar memakai
kitab yang berbeda dengan kitab yang dibawa santri. Kitab yang beliau gunakan
merupakan kitab yang sudah ditahqiq oleh ulama. Sehingga mempermudah dalam memahami
kualitas hadis. Bahkan beliau juga banyak mengkritisi kitab-kitab lain yang
banyak memakai hadis dhaif, misalnya Qurrah al-Uyu>n dan Durrah
al-Na>sihi>n.
Berbeda
halnya dengan Ustadz MN yang berpendidikan asli Pondok Pesantren salaf yang
mengajar kitab al-Adzka>r. Meskipun kitab tersebut banyak berkonten
hadis, akan tetapi beliau tidak begitu menyentuh sisi kualitas hadis. Hal yang
sama terjadi pada Ustadz L. yang mengajar Qurrah al-Uyu>n. Beliau tidak
membahas hadis-hadis yang ada dari sisi kedhaifan. Sementara Ustadz M. yang merupakan
tenaga pengajar Durrah al-Nasihi>n berujar bahwa hadis dhaif tidak
mengapa selagi digunakan sebagai Fadha>il A’ma<l (Interview dengan
L., Santri PP. Tabah
tanggal 7 Maret 2011). Hal ini membuktikan bahwa peta keilmuan mayoritas ustadz
yang mengajar di pesantren ini bukanlah muhaddisi>n. Sehingga bisa dilihat, kelemahan
dari segi metodologi verifikasi hadis (ulumul hadis) terasa sangat kurang di
Pesantren ini.
E.
SIMPULAN
DAN PENUTUP
Kajian
mengenai hadis memang menjadi kelemahan dalam Pondok Pesantren ini. Kalaupun
ada, hanyalah berkisar pada kitab-kitab fiqhiyyah atau akhlaq yang yang
dibungkus dengan hadis Nabi. Mungkin karena memang spesifikasi keilmuan Pondok
ini bukanlah ke ranah hadis, akan tetapi pada nahwu dan juga fikih. Sehingga
berimplikasi pada minimnya pembahasan-pembahasan kitab-kitab primer semacam S{ahi>h
Bukha>ri>, S{ahi>h Muslim. Fenomena ini nampaknya sejalan
dengan hasil penelitian Martin Van Bruinessen yang menyebutkan bahwa
kitab-kitab hadis primer memang jarang dipelajari di Nusantara (Martin Van
Bruinessen, 1995, 161).
Tidak
hanya itu juga, musthalah hadis juga kurang mempunyai geliat. Hal ini tampak
dari background ustadz-ustadz yang kurang begitu mumpuni dalam ilmu hadis.
Hanya sebagian kecil saja yang terampil dalam salah satu keilmuan Islam ini,
semisal LL. tadi. Meskipun
pada tahun-tahun belakangan muncul Madrasah Diniyah formal dan Ma’had Ali yang banyak
mengkaji kitab-kitab Musthalah hadis. Namun sepertinya butuh beberapa tahun
lagi untuk dapat membangun kajian-kajian hadis yang bagus.
Demikian
makalah ini penulis buat. Penulis yakin bahwa makalah ini penuh dengan
kesalahan dan kekeliruan. Oleh karenanya, penulis meminta saran dan kritikan
dari teman-teman serat bapak dosen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar