Dadaku terenyuh memandang sebongkah tubuh tak berdaya di
depanku. Bibir membisu tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Mataku
terbelangak memancarkan rasa ketidakpercayaan terhadap apa yang aku lihat
sekarang. Api penyesalan membara dalam hati sanubari ini.
“Hah!! Ya Allah, apa yang aku lakukan!! “ kataku
histeris.
Aku bingung tak tahu apa yang harus diperbuat. Ku tengok
ke kanan dan ke kiri, jalanan sepi tak berpenghuni. Aku coba teriak, namun tak
ada yang mendengar. Akhirnya, aku putuskan menggotong tubuh itu ke dalam
mobilku. Sedikit demi sedikit, berlahan tubuh yang tergulai lemas itu ku
masukkan dalam mobil.
Rasa bingung menghegemoni diriku. Akan kemanakah ku bawa
tubuh yang penuh dengan darah ini? Aku pandang badanku sesaat, rasanya tak
sanggup melihat, walaupun hanya sekejab. Darah merah kental melapisi seluruh
bagian tangan dan bajuku. Lantas karena tak tahan, Mataku pun melepaskan
penglihatannya dari badanku. Mobil yang aku kendarai pun akhirnya meluncur
cepat ke arah kota.
“Kenapa bisa terjadi hal ini? Mengapa tadi aku terbawa suasana
sehingga hilang kendali?? Bodoh, bodoh, bodoh!!!” gerutuku dalam hati.
Ingin rasanya mulutku berbicara sembari meminta maaf.
Namun aku sadar, tubuh yang penuh darah itu tak akan bisa mendengar sepatah
kata apapun dariku. Sebab jari-jemarinya tak bergerak sama sekali bagaikan
jasad yang sudah ditinggalkan jiwanya. Akan tetapi aku masih bersyukur, karena
sebelum diangkat ke mobil, tubuh itu masih kelihatan bernafas. Sesekali bola
mataku melirik ke arah spion depan guna melihat kondisi menyedihkan orang yang
aku tabrak. Aku berdoa, semoga malaikat maut belum berkenan mencabut nyawa
orang itu.
Dengan kecepatan tingkat tinggi, laju mobilku pun
berhenti di rumah sakit al-Islam Yogyakarta. Aku panggil petugas Unit Gawat
Darurat (UGD) dengan nafas tergopoh-gopoh. Kakiku berlari dengan cepatnya
hingga menyebabkan nafasku tak beraturan. Bersamaku, petugas UGD pun berlarian
menuju mobil yang aku parkir tepat di depan RS.
“Astaga!!!! Darahnya banyak sekali keluar!” teriak salah
salah satu petugas.
“Ayo cepat dibawa ke UGD, semoga belum terlambat” sahut
petugas lainnya.
--------
Tubuhku pun aku rebahkan di atas sebuah kursi rumah sakit
bercat putih seraya menunggu hasil pemeriksaan tim dokter. Sambil menanti, pikiranku
melayang-layang memikirkan kejadian sebelum tabrakan itu. Mataku hanya bisa
memancarkan cahaya kosong. Tak ada senyuman yang nampak dari kedua bibirku.
Raut wajahku semu laksana bulan kesiangan.
Aku ingat, sebelum tabrakan itu, aku mengalami sebuah
kegagalan besar dalam hidupku. Jalinan cinta yang sudah aku bina selama satu
tahun akhirnya hilang tak berbekas. Rajutan kasih sayang yang rencananya akan
ku labuhkan pada janji suci pernikahan akhirnya tak mampu diamini oleh takdir. Dia
ternyata lebih memilih laki-laki lain yang lebih kaya daripada aku. Mulutku tak
henti-hentinya mengumpat padanya. Sedih memang memikirkanya. Sehingga menjadikan
pikiranku kalut dan mengemudi seperti kesetanan. Hasilnya, sebongkah tubuh tak
berdosa harus menjadi korban atas ulah bodohku.
Usai memikirkan peristiwa yang mengiris-iris hatiku itu, lambat
laun kelopak mataku mulai menutup. Rasa kantuk sepertinya sudah tak tertahankan
lagi. Diriku pun tertidur di atas kursi yang memang hanya terisi oleh tubuhku
saja. Akhirnya aku pun terbang ke alam mimpi.
Namun tak lama berselang, terdengar suara
memanggil-manggil diriku. Dengan sekejab, mataku pun terbuka dan memandang sesosok
tubuh berdiri di depanku. Orang itu berpakaian putih lengkap dengan stetoskop melilit
lehernya.
“Pak, mohon maaf, apa benar bapak yang yang bernama Rahman?
orang yang membawa pasien yang kecelakaan tadi?” tanya dokter.
“Iya pak dokter. Bagaimanakah keadaannya sekarang?”
jawabku yang disertai rasa keingintahuan yang besar.
“Keadaannya sangat kritis. Darahnya banyak sekali keluar.
Tapi kami akan berusaha sebisa mungkin. Hm, bapak sudah menghubungi pihak keluarganya?”
tanya kembali dokter.
“Oh! Be..be..lum pak. Tadi saya bingung hingga lupa dan
tak sempat menghubungi keluarganya” kataku seraya kaget mendengar perkataan
dokter.
“Ini, kami sudah mengambil dompet dan handpone dari
sakunya. Semoga ini bisa membantu untuk memberitahukan pada keluarganya” ucap
dokter.
Kata-kata dokter menusuk tajam di hatiku. Orang yang aku
tabrak sekarang kondisinya sangat parah, dan bisa jadi tidak bisa
terselamatkan. Pikiranku tak karuan memikirkannya. Dokter lantas menyerahkan
handpone dan dompetnya padaku. Aku gemetar saat ia meletakkan barang-barang itu
di atas tanganku. Bagaimana tidak, aku takut jika keluarganya tidak terima
dengan yang terjadi ini dan akhirnya menuntutku. Sulit rasanya menghubungi keluarga
orang yang aku tabrak. Ingin diriku merusakkan hape itu dan bisa mendapatkan
alasan agar keluarganya tak datang ke rumah sakit.
Namun, niat jahat itu tak jadi terlaksana. Aku tersadar, setiap
kejahatan haruslah dipertanggung jawabkan. Tak pantas, sebagai manusia berbuat
buruk pada sesamanya. Apalagi ia berada dalam keadaan sekarat seperti itu. Aku
membayangkan kalau diriku berada di posisinya, pastilah akan sangat
menyakitkan. Terutama bila keluargaku tak mengetahui kondisiku.
Setelah ku lihat namanya di KTP yang ada di dompetnya,
ternyata namanya adalah Muhammad Syahrur. Tempat tinggalnya berada di kabupaten
Bantul, tepatnya di desa Karangkajen. Ia lahir pada tahun 1985. Itu artinya,
usianya kini menginjak 26 tahun, usia yang tak terpaut jauh dengan diriku. Aku sendiri
sekarang berusia 25 tahun.
Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi keluarga Syahrur
dengan handponenya. Ku cari-cari satu persatu nama di handponenya, mataku pun tertuju
pada satu nama ‘adekQ’. Otakku berpikir, mungkin dari nomor inilah akan
diketahui siapa keluarganya dan agar mereka bisa tahu kondisi yang menimpa
Syahrur. Alhasil, aku berhasil juga memberitahuan keadaan orang yang aku
tabrak. Mereka mengatakan akan datang langsung ke rumah sakit al-Islam.
-------
“Assalamu’alaikum” sapa
seorang gadis.
“Wa’alaikum Salam”
jawabku.
“Maaf, bapak yang namanya
Rahman?”
“I.. iya benar. Ini mbak Silvi yang aku telpon tadi?”
“Benar, saya Silvi dan ini
ibu saya”kata gadis itu seraya menunjukkan ibunya yang berdiri tepat
disampingnya.
“Oh! jadi kamu yang telah menabrak anakku? Saya tanya,
kamu bisa menyetir tidak hingga anakku bisa seperti itu??? Perlu kamu tahu!! ayah
Syahrur sudah meninggal sejak dia masih SD. Dia yang menjadi tulang punggung
keluarga. Dia yang membiayai adiknya ini hingga bisa kuliah. Sekarang kamu
telah menghancurkan segalanya!!” umpat ibu Syahrur .
“Ma..ma..maafkan saya Bu. Saya tak bermaksud melakukan
hal itu” kataku dengan sedikit tergagap-gagap.
“Tak bermaksud apanya??? Kamu telah membuat anakku
sengsara! Kehidupannya hancur sekarang. Tak tahu kapan bisa sadar dan mungkin
tak bisa selamat. Dan bagaimana kami harus membayar rumah sakit ini? Biayanya
mahal dan kami ini keluarga miskin!!” ucap ibu Syahrur disertai beberapa tetes
air mata keluar dari kedua matanya.
“Untuk masalah biaya, biar saya yang menanggungnya ibu.
Saya yang menabraknya. Jadi saya yang akan bertanggung jawab dan memberikan ganti
rugi atas semua yang terjadi” jawabku guna mencairkan suasana yang memanas.
“Tapi tetap saja itu belum cukup!! Uang saja tak cukup
untuk mengganti musibah ini. Mungkin lebih baik kita hubungi kepolisian” kata
ibu Syahrur mengancam.
“Jangan Bu! saya mohon” pintaku dengan memelas.
Kemarahan ibu Syahrur yang bernama Sulasmi tak bisa
tertahankan lagi. Sang ibu tak bisa menerima begitu saja kejadian menyedihkan
yang terjadi pada anaknya. Ia terus mengumpat dan memojokkanku yang disertai
juga dengan isak tangis dari kedua
matanya. Tak tega diriku memberikan pembelaan, sebab iba melihat keadaan wanita
tua itu. Biarlah diriku menerima cacian dari ibu yang sudah melahirkan orang
yang ku tabrak.
Akan tetapi, Silvi, adik kandung Syahrur ternyata tak
sama seperti ibunya. Ia mencoba menenangkan ibunya yang sedang kalut itu. Ia
dengan sabarnya memberikan pengertian pada ibunya akan ketidaksengajaan diriku.
Untaian-untaian kata penuh rasa pengertian keluar dari dua bibir perempuan cantik
berjilbab biru muda itu. Akhirnya, ibunya pun bisa menerima atas apa yang
terjadi tanpa melaporkan pada pihak yang berwajib.
Melihat keindahan perilaku Silvi, membuatku terkagum-kagum.
Dengan wajah yang cukup manis, ternyata kepribadiannya juga tak kalah dengan
bentuk luarnya. Rasanya jarang aku menemukan perempuan seperti yang ada di
hadapanku sekarang ini. Jika diprosentasekan, mungkin perbandingannya sekitar
satu banding lima puluh.
Tak sadar, pandanganku terus tertuju pada Silvi.
Seolah-olah ada magnet kuat yang menarikku untuk selalu memandang wajah Silvi
yang manis itu. Tak hanya itu, hatiku pun bergejolak ketika kedua mataku
melihatnya. Namun cepat-cepat aku tundukkan. Malu rasanya, aku takut kalau sampai
Syaithan masuk ke dalam pikiranku dan menancapkan godaanya padaku. Sehingga
menjadikan diriku berpikiran yang tidak-tidak.
-------
“Pak
Rahman!! tolong masuk ke dalam!” muncul suara dari
ruangan Syahrur.
Aku dan
didampingi adik serta ibu Syahrur tersentak dan tanpa basa-basi segera masuk ke
dalam ruangan opname. Penasaran, apakah maksud kata-kata perawat rumah sakit tadi?
Mungkinkah orang yang aku tabrak sudah sadar dan dapat diselamatkan? Ataukah sesuatu
yang tidak diinginkan malah terjadi pada diri Syahrur? Buru-buru ku hapus
dugaan negatif itu. Aku hanya berharap dia bisa selamat agar kesedihan Silvi
serta ibunya tak berlarut-larut. Tak tega rasanya, bila harus memberikan masalah
pada keluarga yang mengandalkan Syahrur sebagai tulang punggungnya itu.
Takdir
Tuhan pun tak disangka berjalan seirama dengan pikiranku. Orang yang aku tabrak
sekarang sudah sadar dan sedikit demi sedikit sudah bisa berbicara. Meskipun
hanya sepatah dua patah kata saja. Gembira rasanya melihat kondisinya sekarang.
Apalagi Silvi dan ibunya sudah bisa tersenyum. Tak terasa mataku pun menangis
haru melihat kebahagiaan ini.
“Ini
mu’jizat dari Allah” kataku.
Di
hadapan mereka bertiga aku ceritakan penyebab kekalutan hatiku sebelumnya. Penyebab
kenapa aku sampai kesetanan ketika mengemudi. Mereka mendengarkan kata demi
kata yang keluar dari mulutku. Tak ku sangka, mereka pun menangis haru saat mendengar
kisah sedihku. Di saat yang sama, aku jelaskan pula perasaan yang tak karuan
ketika memandang Silvi. Aku ingin supaya dia bisa menjadi pendamping hidupku. Tak
disangka juga, keinginanku pun diamini oleh Silvi dan keluarganya. Sungguh
keluarga terbaik yang pernah aku temui.
“Ya
Allah, terima kasih atas cobaan yang berbalut kebahagiaan ini. Hanya Engkau lah
yang maha tahu” pujiku sambil melakukan sujud syukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar