QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Jumat, 13 Januari 2012

Hanya Engkau lah yang Maha Tahu

Dadaku terenyuh memandang sebongkah tubuh tak berdaya di depanku. Bibir membisu tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Mataku terbelangak memancarkan rasa ketidakpercayaan terhadap apa yang aku lihat sekarang. Api penyesalan membara dalam hati sanubari ini.
“Hah!! Ya Allah, apa yang aku lakukan!! “ kataku histeris.
Aku bingung tak tahu apa yang harus diperbuat. Ku tengok ke kanan dan ke kiri, jalanan sepi tak berpenghuni. Aku coba teriak, namun tak ada yang mendengar. Akhirnya, aku putuskan menggotong tubuh itu ke dalam mobilku. Sedikit demi sedikit, berlahan tubuh yang tergulai lemas itu ku masukkan dalam mobil.
Rasa bingung menghegemoni diriku. Akan kemanakah ku bawa tubuh yang penuh dengan darah ini? Aku pandang badanku sesaat, rasanya tak sanggup melihat, walaupun hanya sekejab. Darah merah kental melapisi seluruh bagian tangan dan bajuku. Lantas karena tak tahan, Mataku pun melepaskan penglihatannya dari badanku. Mobil yang aku kendarai pun akhirnya meluncur cepat ke arah kota.
“Kenapa bisa terjadi hal ini? Mengapa tadi aku terbawa suasana sehingga hilang kendali?? Bodoh, bodoh, bodoh!!!” gerutuku dalam hati.
Ingin rasanya mulutku berbicara sembari meminta maaf. Namun aku sadar, tubuh yang penuh darah itu tak akan bisa mendengar sepatah kata apapun dariku. Sebab jari-jemarinya tak bergerak sama sekali bagaikan jasad yang sudah ditinggalkan jiwanya. Akan tetapi aku masih bersyukur, karena sebelum diangkat ke mobil, tubuh itu masih kelihatan bernafas. Sesekali bola mataku melirik ke arah spion depan guna melihat kondisi menyedihkan orang yang aku tabrak. Aku berdoa, semoga malaikat maut belum berkenan mencabut nyawa orang itu.  
Dengan kecepatan tingkat tinggi, laju mobilku pun berhenti di rumah sakit al-Islam Yogyakarta. Aku panggil petugas Unit Gawat Darurat (UGD) dengan nafas tergopoh-gopoh. Kakiku berlari dengan cepatnya hingga menyebabkan nafasku tak beraturan. Bersamaku, petugas UGD pun berlarian menuju mobil yang aku parkir tepat di depan RS.
“Astaga!!!! Darahnya banyak sekali keluar!” teriak salah salah satu petugas.
“Ayo cepat dibawa ke UGD, semoga belum terlambat” sahut petugas lainnya.
--------
Tubuhku pun aku rebahkan di atas sebuah kursi rumah sakit bercat putih seraya menunggu hasil pemeriksaan tim dokter. Sambil menanti, pikiranku melayang-layang memikirkan kejadian sebelum tabrakan itu. Mataku hanya bisa memancarkan cahaya kosong. Tak ada senyuman yang nampak dari kedua bibirku. Raut wajahku semu laksana bulan kesiangan.
Aku ingat, sebelum tabrakan itu, aku mengalami sebuah kegagalan besar dalam hidupku. Jalinan cinta yang sudah aku bina selama satu tahun akhirnya hilang tak berbekas. Rajutan kasih sayang yang rencananya akan ku labuhkan pada janji suci pernikahan akhirnya tak mampu diamini oleh takdir. Dia ternyata lebih memilih laki-laki lain yang lebih kaya daripada aku. Mulutku tak henti-hentinya mengumpat padanya. Sedih memang memikirkanya. Sehingga menjadikan pikiranku kalut dan mengemudi seperti kesetanan. Hasilnya, sebongkah tubuh tak berdosa harus menjadi korban atas ulah bodohku.
Usai memikirkan peristiwa yang mengiris-iris hatiku itu, lambat laun kelopak mataku mulai menutup. Rasa kantuk sepertinya sudah tak tertahankan lagi. Diriku pun tertidur di atas kursi yang memang hanya terisi oleh tubuhku saja. Akhirnya aku pun terbang ke alam mimpi.
Namun tak lama berselang, terdengar suara memanggil-manggil diriku. Dengan sekejab, mataku pun terbuka dan memandang sesosok tubuh berdiri di depanku. Orang itu berpakaian putih lengkap dengan stetoskop melilit lehernya.  
“Pak, mohon maaf, apa benar bapak yang yang bernama Rahman? orang yang membawa pasien yang kecelakaan tadi?” tanya dokter.
“Iya pak dokter. Bagaimanakah keadaannya sekarang?” jawabku yang disertai rasa keingintahuan yang besar.
“Keadaannya sangat kritis. Darahnya banyak sekali keluar. Tapi kami akan berusaha sebisa mungkin. Hm, bapak sudah menghubungi pihak keluarganya?” tanya kembali dokter.
“Oh! Be..be..lum pak. Tadi saya bingung hingga lupa dan tak sempat menghubungi keluarganya” kataku seraya kaget mendengar perkataan dokter.
“Ini, kami sudah mengambil dompet dan handpone dari sakunya. Semoga ini bisa membantu untuk memberitahukan pada keluarganya” ucap dokter.
Kata-kata dokter menusuk tajam di hatiku. Orang yang aku tabrak sekarang kondisinya sangat parah, dan bisa jadi tidak bisa terselamatkan. Pikiranku tak karuan memikirkannya. Dokter lantas menyerahkan handpone dan dompetnya padaku. Aku gemetar saat ia meletakkan barang-barang itu di atas tanganku. Bagaimana tidak, aku takut jika keluarganya tidak terima dengan yang terjadi ini dan akhirnya menuntutku. Sulit rasanya menghubungi keluarga orang yang aku tabrak. Ingin diriku merusakkan hape itu dan bisa mendapatkan alasan agar keluarganya tak datang ke rumah sakit.
Namun, niat jahat itu tak jadi terlaksana. Aku tersadar, setiap kejahatan haruslah dipertanggung jawabkan. Tak pantas, sebagai manusia berbuat buruk pada sesamanya. Apalagi ia berada dalam keadaan sekarat seperti itu. Aku membayangkan kalau diriku berada di posisinya, pastilah akan sangat menyakitkan. Terutama bila keluargaku tak mengetahui kondisiku.
Setelah ku lihat namanya di KTP yang ada di dompetnya, ternyata namanya adalah Muhammad Syahrur. Tempat tinggalnya berada di kabupaten Bantul, tepatnya di desa Karangkajen. Ia lahir pada tahun 1985. Itu artinya, usianya kini menginjak 26 tahun, usia yang tak terpaut jauh dengan diriku. Aku sendiri sekarang berusia 25 tahun.
Akhirnya aku putuskan untuk menghubungi keluarga Syahrur dengan handponenya. Ku cari-cari satu persatu nama di handponenya, mataku pun tertuju pada satu nama ‘adekQ’. Otakku berpikir, mungkin dari nomor inilah akan diketahui siapa keluarganya dan agar mereka bisa tahu kondisi yang menimpa Syahrur. Alhasil, aku berhasil juga memberitahuan keadaan orang yang aku tabrak. Mereka mengatakan akan datang langsung ke rumah sakit al-Islam.
-------
“Assalamu’alaikum” sapa seorang gadis.
“Wa’alaikum Salam” jawabku.
“Maaf, bapak yang namanya Rahman?”
“I.. iya benar. Ini mbak Silvi yang aku telpon tadi?”
“Benar, saya Silvi dan ini ibu saya”kata gadis itu seraya menunjukkan ibunya yang berdiri tepat disampingnya.
“Oh! jadi kamu yang telah menabrak anakku? Saya tanya, kamu bisa menyetir tidak hingga anakku bisa seperti itu??? Perlu kamu tahu!! ayah Syahrur sudah meninggal sejak dia masih SD. Dia yang menjadi tulang punggung keluarga. Dia yang membiayai adiknya ini hingga bisa kuliah. Sekarang kamu telah menghancurkan segalanya!!” umpat ibu Syahrur .
“Ma..ma..maafkan saya Bu. Saya tak bermaksud melakukan hal itu” kataku dengan sedikit tergagap-gagap.
“Tak bermaksud apanya??? Kamu telah membuat anakku sengsara! Kehidupannya hancur sekarang. Tak tahu kapan bisa sadar dan mungkin tak bisa selamat. Dan bagaimana kami harus membayar rumah sakit ini? Biayanya mahal dan kami ini keluarga miskin!!” ucap ibu Syahrur disertai beberapa tetes air mata keluar dari kedua matanya.
“Untuk masalah biaya, biar saya yang menanggungnya ibu. Saya yang menabraknya. Jadi saya yang akan bertanggung jawab dan memberikan ganti rugi atas semua yang terjadi” jawabku guna mencairkan suasana yang memanas.
“Tapi tetap saja itu belum cukup!! Uang saja tak cukup untuk mengganti musibah ini. Mungkin lebih baik kita hubungi kepolisian” kata ibu Syahrur mengancam.
“Jangan Bu! saya mohon” pintaku dengan memelas.
Kemarahan ibu Syahrur yang bernama Sulasmi tak bisa tertahankan lagi. Sang ibu tak bisa menerima begitu saja kejadian menyedihkan yang terjadi pada anaknya. Ia terus mengumpat dan memojokkanku yang disertai juga  dengan isak tangis dari kedua matanya. Tak tega diriku memberikan pembelaan, sebab iba melihat keadaan wanita tua itu. Biarlah diriku menerima cacian dari ibu yang sudah melahirkan orang yang ku tabrak.
Akan tetapi, Silvi, adik kandung Syahrur ternyata tak sama seperti ibunya. Ia mencoba menenangkan ibunya yang sedang kalut itu. Ia dengan sabarnya memberikan pengertian pada ibunya akan ketidaksengajaan diriku. Untaian-untaian kata penuh rasa pengertian keluar dari dua bibir perempuan cantik berjilbab biru muda itu. Akhirnya, ibunya pun bisa menerima atas apa yang terjadi tanpa melaporkan pada pihak yang berwajib.
Melihat keindahan perilaku Silvi, membuatku terkagum-kagum. Dengan wajah yang cukup manis, ternyata kepribadiannya juga tak kalah dengan bentuk luarnya. Rasanya jarang aku menemukan perempuan seperti yang ada di hadapanku sekarang ini. Jika diprosentasekan, mungkin perbandingannya sekitar satu banding lima puluh.
Tak sadar, pandanganku terus tertuju pada Silvi. Seolah-olah ada magnet kuat yang menarikku untuk selalu memandang wajah Silvi yang manis itu. Tak hanya itu, hatiku pun bergejolak ketika kedua mataku melihatnya. Namun cepat-cepat aku tundukkan. Malu rasanya, aku takut kalau sampai Syaithan masuk ke dalam pikiranku dan menancapkan godaanya padaku. Sehingga menjadikan diriku berpikiran yang tidak-tidak. 
-------
            “Pak Rahman!! tolong masuk ke dalam!” muncul suara dari ruangan Syahrur.
            Aku dan didampingi adik serta ibu Syahrur tersentak dan tanpa basa-basi segera masuk ke dalam ruangan opname. Penasaran, apakah maksud kata-kata perawat rumah sakit tadi? Mungkinkah orang yang aku tabrak sudah sadar dan dapat diselamatkan? Ataukah sesuatu yang tidak diinginkan malah terjadi pada diri Syahrur? Buru-buru ku hapus dugaan negatif itu. Aku hanya berharap dia bisa selamat agar kesedihan Silvi serta ibunya tak berlarut-larut. Tak tega rasanya, bila harus memberikan masalah pada keluarga yang mengandalkan Syahrur sebagai tulang punggungnya itu.
            Takdir Tuhan pun tak disangka berjalan seirama dengan pikiranku. Orang yang aku tabrak sekarang sudah sadar dan sedikit demi sedikit sudah bisa berbicara. Meskipun hanya sepatah dua patah kata saja. Gembira rasanya melihat kondisinya sekarang. Apalagi Silvi dan ibunya sudah bisa tersenyum. Tak terasa mataku pun menangis haru melihat kebahagiaan ini.
            “Ini mu’jizat dari Allah” kataku.
            Di hadapan mereka bertiga aku ceritakan penyebab kekalutan hatiku sebelumnya. Penyebab kenapa aku sampai kesetanan ketika mengemudi. Mereka mendengarkan kata demi kata yang keluar dari mulutku. Tak ku sangka, mereka pun menangis haru saat mendengar kisah sedihku. Di saat yang sama, aku jelaskan pula perasaan yang tak karuan ketika memandang Silvi. Aku ingin supaya dia bisa menjadi pendamping hidupku. Tak disangka juga, keinginanku pun diamini oleh Silvi dan keluarganya. Sungguh keluarga terbaik yang pernah aku temui.
            “Ya Allah, terima kasih atas cobaan yang berbalut kebahagiaan ini. Hanya Engkau lah yang maha tahu” pujiku sambil melakukan sujud syukur.   
             



                 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj