Pernikahan
merupakan suatu ikatan suci antara laki-laki dan perempuan. Ia adalah wujud
sunnah Nabi Muhammad yang wajib diikuti oleh setiap kaum muslimin. Di dalamnya
pasangan kaum adam dan hawa saling memberikan rasa kasih sayang pada lawan
jenis. Rajutan cinta kasih ini haruslah bertujuan untuk mencapai kebahagiaan
dalam tataran selanjutnya, yang biasa disebut sakinah, mawaddah, wa rahmah.
Namun
dalam beberapa waktu terakhir munculah pembicaraan kontroversial di berbagai kalangan
yang berhubungan dengannya, yakni masalah nikah sirri. Sebenarnya terma nikah
sirri merupakan suatu hal yang biasa, sebab praktek ini sudah ada sejak dulu.
Akan tetapi setelah dibumbuhi dengan adanya hukuman pidana bagi pelakunya, maka
jadilah hal ini menjadi luar biasa. Hukuman pidana ini disebutkan dalam Pasal
143 RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan, yang hanya
diperuntukkan bagi pemeluk Islam menggariskan, setiap orang yang dengan sengaja
melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah dipidana
dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan hingga tiga tahun dan
denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta (Oke Zone, 17 Februari 2010).
Pembahasan
ini baru menjadi RUU (Rancangan Undang-Undang) dan belum disahkan menjadi UU
(Undang-Undang). Hal ini terjadi akibat merebaknya pro-kontra mengenai hukuman
pidana pada pelaku nikah sirri ini, baik dari kalangan intelektual, MUI
(Majelis Ulama Indonesia), Ormas Keagamaan, dan lain-lain. Berikut beberapa
opini akan peristiwa yang menggucangkan bumi Indonesia itu :
Kalangan
Pro Pidana Nikah Sirri :
1. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), mereka
menyatakan dukungan pada RUU ini. Hal ini terjadi akibat fakta empiris yang
terjadi di lapangan, yakni secara sosiologis biasanya nikah sirri terjadi pada
pernikahan kedua dan seterusnya dengan prefensi usia pasangan perempuan yang
lebih muda, semakin muda, dan bahkan anak. Menurut penelitian mereka pada lima
daerah di Pantura, anak-anak korban kawin sirri rentan eksploitasi untuk
pelacuran dan perdagangan anak. Sementara anak hasil perkawinan sirri
dititipkan di kampung pada orang tua atau neneknya yang berakibat pada
kesehatan yang relatif rendah dan tentu saja hal ini berdampak pada dampak gizi
buruk yang menimpa mereka (Antara News, 23 Februari 2010).
2. Dr. Emi Susanto Hendrarso (Ketua PSW Unair), beliau
menyatakan semangat RUU ini adalah untuk melindungi perempuan agar dia tak
masuk dalam perkawinan bermasalah. Namun, ia menambahkan, jangan sampai jika
disahkan nanti, aturan ini justru menjadi bumerang bagi perempuan. Artinya,
harus ada pengecualian bagi pelaku nikah siri dengan alasan tidak punya uang
(miskin) atau karena budaya (Antara News, 23 Februari 2010).
3. Prof. Mahfudz MD (Ketua MK), beliau mendukung
wacana pelarangan pernikahan siri agar tidak terdapat korban akibat pernikahan
jenis tersebut. Dalam pandangannya, pelarangan atas pernikahan siri tersebut
tidak melanggar ketentuan agama karena dalam Islam sendiri terdapat beragam
penafsiran (Antara News, 23 Februari 2010).
4. Abu Bakar Ba’asyir (Pengasuh PP. Ngruki Solo),
beliau mengemukakan bahwa praktik kawin siri atau nikah di bawah tangan
hendaknya dihentikan. Sebab, cara atau bentuk perkawinan itu dapat menimbulkan
fitnah dan merugikan kedua fihak dikemudian hari (Antara News, 23 Februari
2010).
5. Prof. Nasaruddin Umar (Dirjen Bimas Islam Kementrian
Agama), beliau mengatakan pernikahan itu perlu dicatat secara sah. Itu perlu
diatur, jika tidak maka bisa terbentur persoalan administrsi, misalnya si anak
tidak akan dapat akta kelahiran. Selain itu, hal ini akan sangat merugikan
perempuan (Oke Zone, 17 Februari 2010).
6. Patrialis Akbar (Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia), beliau menuturkan bahwa nikah sirri hanyalah pernikahan
bohong-bohongan. Menurutnya, harus diberikan kesadaran pada
masyarakat bahwa pernikahan itu tidak sekedar nikah saja. Pernikahan sebaiknya
juga dibekali dengan surat nikah, sehingga memiliki kepastian hukum (Oke Zone, 16 Februari 2010).
Kalangan
Kontra Pidana Nikah Sirri :
1. KH. Mutawakkil (Ketua Pengurus PWNU Jatim), beliau
menyatakan bahwa Pidana ini bertentangan dengan syariah, sebab persyaratan
pernikahan hanyalah wali, ijab qabul, maskawin, dan saksi (Antara News, 23
Februari 2010).
2. KH. Hasyim Muzadi (Ketua PBNU), beliau mengatakan
bahwa jika praktik nikah siri hendak diberi sanksi maka cukup bersifat
administratif, tidak perlu pidana (Antara News, 23 Februari 2010).
3. MUI Bogor menolak pidana ini, mereka menjelaskan
bahwa alasan penolakan tersebut karena nikah siri dalam ajaran Islam sudah sah
jika memenuhi persyaratan. Mereka menambahi, nikah siri merupakan masalah
manusiawi dan pemerintah hendaknya mengatur sanksi terhadap praktek kumpul kebo
yang marak saat ini. Sebab pada dasarnya nikah sirri dikarenakan motif ekonomi,
misalnya masyarakat kecil kesulitan untuk membayar biaya perkawinan di Kantor
Urusan Agama (Antara News, 1 Maret 2010).
4. Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (PKJ3)
menilai RUU yang mengatur ketentuan sanksi pidana bagi pelaku nikah siri akan
semakin merugikan perempuan. Dampak peraturan itu bagi perempuan seperti `sudah
jatuh tertimpa tangga`. Perempuan yang nikah siri itu ada banyak kasus, ada
yang terpaksa pernikahannya tidak tercatat karena ia jadi sebagai korban atau
karena alasan ekonomi (Antara News, 10 Maret 2010).
5. Prof. Din Syamsuddin (Ketua Umum PP. Muhammadiyah),
beliau menyatakan bahwa nikah sirri sah dan tidak bertentangan dengan agama (Oke
Zone, 17 Februari 2010).
6. Prof. Yunahar Ilyas (Ketua PP. Muhammadiyah), beliau menyatakan sebelum
memberikan hukum pidana bagi pelaku nikah sirri, pemerintah harus terlebih
dahulu memidanakan pelacuran. Dalam hal ini hukuman pidana dirasa terlalu jauh.
Menurutnya, nikah siri sudah memenuhi persyaratan hukum Islam yang tidak
dicatatkan di KUA. Akan tetapi beliau menambahi, nikah siri lebih banyak
merugikan kaum perempuan karena tidak adanya jaminan hukum (Oke Zone, 17
Februari 2010).
7. KH. Ma’ruf Amin (Ketua MUI), beliau menyatakan nikah sirri
diperbolehkan dengan syarat, yaitu terpenuhinya syarat dan rukun serta
memberikan hak-hak pada isteri dan anak. Hal ini pernah diputuskan oleh MUI
pada tahun 2005. Kemudian menyangkut pidana pada palaku nikah sirri, beliau berpendapat
jika ada usul pidana maka muncul pro-kontra sebab terkesan mengharamkan nikah
sirri (Oke Zone, 18 Februari 2010).
8. Prof. Suryadharma Ali (Menteri Agama), beliau menegaskan bahwa nikah
siri bukan termasuk tindak pidana. Menurut dia, nikah siri tidak bisa disamakan
dengan berzina yang masuk kategori pelanggaran pidana. Nikah sirri hanya
sebatas pelanggaran administratif. Suryadharma menjelaskan, orang berzina di
tempat pelacuran itu melanggar administratif dan syar'i. Karena itu, perzinahan
tidak bisa disamakan dengan nikah siri. Jadi, secara pribadi beliau
menyatakan tidak setuju kalau nikah siri dipidanakan (Oke Zone, 16 Februari
2010).
9. MUI Jatim, menurutnya nikah sirri sah secara syar’i dan sebaiknya
pemerintah memberantas pelacuran (Oke Zone, 19 Februari 2010).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar