A. Pendahuluan
Dalam dunia ini, manusia tak jarang mendapatkan hal yang
tidak diinginkan dan menyakitkan. Berbagai probematika menghadang dalam diri
setiap individu yang menghirup udara di atas bumi ini. Kadang permasalahan itu bukan
hanya muncul dari dirinya sendiri, tetapi kadang juga muncul dari alam yang
menaunginya. Banjir, gunung meletus, gempa bumi merupakan beberapa diantaranya.
Semuanya berkombinasi sebagai hiasan dunia, sebab manusia hidup di dunia ini
pada hakikatnya adalah untuk menghadapi permasalahan-permasalahan tesebut.
Dalam agama Budha, Sidharta Gautama dianggap sebagai
manusia yang paling memiliki hikmat dan kebijaksanaan. Sebagai founder
dari agama Budha tentunya ia menjadi panutan bagi umatnya. Namun, apabila kita
mendalami ajarannya, maka akan kita temukan konsep penderitaan yang ia
eksplorkan. Kebenaran-kebenaran-kebenaran tentang penderitaan tersebut
terangkum dalam empat kebajikan kebenaran (four noble truth).
Dalam Islam sendiri konsep semacam itu banyak dibahas
dalam salah satu cabang ilmu besar Islam, yakni mistisisme Islam (tasawuf).[1]
Didalamnya sufi (pelaku tasawuf) mengidentikkan dirinya dengan penekanan hawa
nafsu di dunia ini. Hal ini identik dengan penderitaan di dunia. Mereka
menganggap dunia hanyalah sebuah fatamorgana yang hanya menjadi tempat berteduh
sementara. Hidup mereka hanya digunakan untuk Allah dan perilaku mereka penuh
dengan kearifan, sehingga al-Suyuthi berkata “Seorang sufi adalah seseorang
yang terus-menerus melakukan penyucian dalam berhubungan dengan Allah dan
berbuat baik terhadap makhluk”.[2]
Maka dalam tulisan ini akan sedikit dibicarakan mengenai
konsep penderitaan Budha, serta analisis Tasawuf sebagai penjabaran salah satu
trilogi agama, yakni ihsan dalam memaknainya.[3]
Tentunya pembahasan yang dipakai tidak
menggunakan pendekatan perbedaan teologis, tetapi memakai aspek spiritualitas
masing-masing. Pembahasan pertama mengenai historisitas Budha untuk mengetahui
jalan pikirannya. Kemudian dilanjutkan pemaparan konsep penderitaan yang dia
ajarkan. Ketiga, konsep tersebut akan dianalis dengan perspektif tasawuf.
B. Perjalanan Hidup
Sidharta Gautama.
Sidharta
Gautama (hidup 560 S.M. s/d. 480 S.M.) merupakan seorang pangeran kerajaan,
yang dibesarkan di dalam istana yang mewah di perbatasan Nepal. Dia adalah
putra Raja Magandha bernama Suddodhana. Dalam kehidupannya di istana, Sidharta
mempunyai istri yang bernama Gopa dan anak laki-laki yang mempunyai nama
Rahula. Mereka hidup dalam kenikmatan istana yang serba mewah.[4]
Akan
tetapi setelah itu, hatinya justru terpaut dengan realitas di luar. Ia menengok
ke luar dari dirinya sendiri dan menemukan orang-orang yang menderita dan
menemukan realita-realita penderitaan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal
tersebut membuatnya berempati, bersimpati dan kemudian mengambil aksi. Orang
miskin yang terkapar di jalan, yang hari demi hari menjangkau kebutuhan hidup
yang tak terjangkau, orang yang tertimpa penyakit yang tak kunjung sembuh, dan
akhirnya orang-orang yang menangis meratapi kematian saudara mereka menghiasi
pandangan Sidharta. Sementara orang kaya pun juga mengalami hal demikian, rasa
tak puas, was-was, dan gelisah, kecewa dan murung karena dihantui berbagai
macam penyakit setiap waktu dapat membawa ke liang lahat. Itulah sebagian
penderitaan orang kaya.[5]
Semuanya menyeruak di pikiran Sidharta dan menjadi
polemik di dalamnya.
Pangeran
yang berumur 29 tahun itu akhirnya merenung. Ia sadar bahwa semua penderitaan
adalah jalan bagi semua orang. Namun, bagaimanakah cara untuk melepaskan dari
fakta ini. Ia masuk ke dalam pencarian akan kebenaran, suatu kebenaran yang
bersifat filosofis sekaligus praktis. Sidharta muda lalu memutuskan untuk
meninggalkan kerajaan dan ingin belajar akan kebenaran.[6]
Ryuho Okawa menyebutkan tiga alasan kuat mengapa Budha menyingkir dari
kehidupan duniawi, yakni :
a.
Adanya suara bathin yang mendorong untuk melakukannya.
b.
Untuk mencari jawaban yang dicari Budha : empat
penderitaan, derita kelahiran, derita masa lalu, derita sakit, dan derita
kematian.
c.
Adanya keinginan yang kuat untuk sendiri dan larut dalam
perenungan.[7]
Dia
pergi dengan tanpa membawa uang, dengan meninggalkan keluarga, dia pergi dan
belajar pada guru terkenal Alara dan Udakka, tetapi ia tidak merasakan kepuasan
pada pengajaran mereka. Masa selanjutnya dari pengembaraannya dimulai dengan
tindakan ekstrem (asketisme). Ia tinggal di hutan belantara, tubuhnya kurus
kering karena makanan yang terbatas. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa
tindakan asketisme yang demikian adalah ilusi belaka, tidak membawa pada
realisasi diri.[8]
Setelah
tidak memperoleh hal yang diinginkan, Sidharta kemudian duduk di bawah pohon
bodhi. Semalam suntuk ia merenungi nasibnya dan pagi harinya ia tersentak
seraya menemukan kebenaran. Di sana, ia menemukan apa yang dicita-citakan,
yakni ajaran tentang sebab akibat penderitaan (samsara) dan cara-cara
mendapatkan kelepasan yang tersimpan dalam empat pokok pandangan filosofis
(empat kebajikan kebenaran/kesunyaataan mulia).[9]
Maka setelah itu, dia mendapat julukan Budha atau orang yang mendapat
penerangan.
Pada
waktu itu, umurnya menginjak 35 tahun. Sisa umurnya yang 45 tahun dipergunakan
berkelana di sepanjang India utara. Ia menyebarkan paham filosofinya pada
banyak orang dan akhirnya pengaruhnya pun cepat meluas. Saat ia wafat tahun 483
S.M. sudah ratusan ribu orang memeluk ajarannya. Kemudian ajarannya
ditransmisikan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya.[10]
Ajaran-ajarannya dipelihara oleh murid-muridnya secara turun-temurun sampai
kemudian ditulis dalam kitab-kitab yang memuat ajaran tersebut pada tahun 80
S.M. Kitab-kitab yang memuat ajaran Budha itu disebut Tripitaka yang
artinya “tiga keranjang” atau “tiga kelompok”. Kitab ini terdiri dari Vinaya
Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka.[11]
C. Konsep Empat
Kebajikan Kebenaran.
Dari pencerahan
yang dialami Budha tersebut munculah empat dasar kebenaran dalam agama Budha.
Keempatnya bertemakan penderitaan. Penderitaan ini bisa dikatakan sebagai
orientasi dasar Budhisme masa dan di tempat manapun.
Adapun
keempat ajaran tersebut adalah sebagai berikut :
1. Penderitaan (Dukha).
Dukka
adalah penderitaan itu sendiri. Hidup di dunia ini penuh dengan hal-hal yang
menyedihkan dan kesengsaraan, maka dapat disimpulkan bahwa hidup itu menderita.[12]
Bagi Budha, hidup adalah menderita, Kelahiran adalah penderitaan, umur tua
adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan yang tidak
dikasihi adalah penderitaan, tidak mencapai yang diinginkan adalah penderitaan.
Sehingga secara singkat, kelima pelekatan pada dunia ini adalah penderitaan.[13]
Adapun dukha dalam konteks
ajaran Budha itu mempunyai makna mendalam dan luas yang diartikan sebagai rasa
sakit, penderitaan, dan lawannya adalah kebahagiaan atau sukha.[14]
Dukha mempunyai tiga pengertian, pertama adalah penderitaan biasa (dukha-dukha).
Kedua, dukha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (vippar madhuka).
Suatu perasaan bahagia yang tidak kekal, cepat, atau lambat berubah, dan
perbuatan itu menimbulkan dukha. Ketiga, dukha akibat
ketergantungan lainnya (shankara dukha).[15]
Sedangkan mengenai kesenangan,
sebenarnya Budha sendiri tidak menyangsikan bahwa mungkin sekali manusia
memperoleh kesenangan dalam hidup ini, dan kesennagan itu dapat dinikmati. Namun, ada dua masalah. Pertama, seberapa
jauhkah hidup itu dapat dinikmati. Kedua, pada tingkat manakah kenikamatan itu
timbul jika memang ia ada dalam diri kita. Sang Budha berpendapat bahwa tingkat
kenikmatan itu bersifat supersifisial yang mungkin memadai untuk hewan, tetapi
bagi manusia kenikmatan itu akan membawa suatu kekosongan besar, kehampaan, dan
rasa putus asa. Atas dasar itu, kesenangan dianggap sebagai kepedihan yang
pulas.[16]
Dengan demikian, kesenangan pada dasarnya adalah sebuah penderitaan pula.
Budha mengutip enam peristiwa hidup
dimana keterplesetan hidup ini sangat nyata secara menyedihkan. Baik kaya
maupun miskin, orang biasa maupun orang berbakat, semuanya mengalami keadaan
ini :
a. Pengalaman
menyedihkan (trauma) di waktu lahir. Hal ini meliputi rentetan perasaan sakit,
keluar, dan kaget.
b. Patologi penyakit.
c. Kemurungan yang
timbul kerana menjadi tua.
d. Ketakutan akan
mati.
e. Terikat pada sesuatu
yang ingin kita hindari.
f. Terpisah dari
seseorang yang kita cintai.[17]
2. Penyebab
penderitaan (Samudaya).
Budha
mensinyalir bahwa “kehausan atau keinginan” (tanha) merupakan sumber
segala penderitaan dan kepedihan hidup.
Dia adalah sumber nafsu yang tidak dapat menimbulkan rasa puas manusia selama
hidupnya.[18] Keinginan atau kehausan pada hakikatnya
disebabkan oleh ketidaktahuan atau awidya. Ketidaktahuan ini
adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis, ketidaktahuan yang menjadikan orang
dikaburkan pandanganya. Ketidaktahuan ini mengenai tabiat asasi alam semesta
yang memiliki 3 ciri mencolok, yakni :
a.
Bahwa alam semesta penuh dengan penderitaan (dukha).
b.
Bahwa alam semesta adalah fana (anitya atau anicca).
c.
Bahwa tiada jiwa di dalam jiwa ini (anatman atau anatta). [19]
Keinginan
merupakan hal yang tidak dapat dipuaskan secara tuntas. Keinginan ini bisa
dikategorisasikan menjadi tiga :
a.
Keinginan untuk mendapatkan kesenangan sensual atau
inderawi, semisal keinginan untuk memiliki benda.
b.
Keinginan untuk eksistensi dan menjadi sesuatu, misalnya
ingin menjadi seseorang yang berkarakteristik tertentu atau ingin hidup kekal.
c.
Keinginan untuk non eksistensi, yakni kadang kala kita
ingin untuk mati, dan kalau bisa memilih untuk tidak lahir di dunia ini.[20]
3. Pemadaman (nirodha).
Sebagai manusia, tentunya kita
berusaha untuk memenuhi keinginan kita. Namun, secara tidak langsung kita telah
melekatkan diri pada penderitaan (dukha). Cara untuk menangulanginya
adalah dengan melepaskan atau memadamkan keinginan tersebut dan membiarkannya
berlalu.
Pemadaman
kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna yakni dengan
pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannya
dari dirinya, dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.[21]
Dengan kata lain, penghapusan keinginan adalah penghapusan penderitaan, dan
penghapusan penderitaan adalah dengan nirwana, pemadaman api kerakusan,
kebencian, dan angan-angan.[22]
Nirwana
sendiri secara literal berarti pemadaman atau pendinginan. Sesuatu yang
dipadamkan adalah keinginan, api nafsu, kebencian, dan sebagainya yang
ditiadakan. Dalam kitab-kitab Budhis disebutkan bahwa di dalam nirwana
segala samsara ditindas secara
sempurna, segala skandha dilarutkan, segala keinginan ditiadakan, demikian
pula segala sebab, sehingga seseorang di didalam nirwana mengalami keadaan yang
sangat damai. Di lain tempat dikatakan, bahwa nirwana adalah suatu kebahagiaan
yang tanpa pengamatan, tanpa perasaan dengan sadar. Di situ ketidaktenangan
hidup berakhir, sehingga ada kebahagiaan yang tentu. Juga disebutkan, bahwa
nirwana adalah suatu kedaan yang jauh lebih baik dari pada segala kebahagiaan
dunia.[23]
4. Jalan mengakhiri
Penderitaan (marga).
Cara
menghilangkan keinginan itu ada delapan jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha). [24]
Sakyamuni Budha membentuk delapan poin tersebut untuk dapat memeriksa pikiran
dan tindakan manusia.[25]
Delapan hal itu adalah :
a.
Pandangan yang benar (right view).
Secara sederhana, pandangan yang
benar adalah memandang dunia tanpa bias, bebas dari segala prasangka, memandang
dunia dengan kearifan spiritual. Adapun menurut pengertian tradisional agama
Budha, pandangan yang benar dimaknai sebagai cara melihat sesuatu berdasarkan
Empat Kebenaran Kebajikan (Kebenaran Penderitaan, Kebenaran Sebab, Kebenaran
Kehancuran, dan Kebenaran Jalan) serta menganalisis sesuatu berdasarkan sebab
dan akibat.[26]
b.
Pikiran yang benar (right intent).
Pikiran yang benar ini adalah dengan
mengkaji diri apakah sudah berpikir berdasarkan kebenaran Budha atau tidak.
Sementara dalam ajaran tradisional Budha, hal tersebut bermakna jalan
penyelesaian terbaik dalam rangka melanjutkan perjalanan menuju pencerahan dan
selalu membuat keputusan-keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.[27]
c.
Perkataan yang benar (right speech).
Perkataan yang benar dilakukan dalam
berbagai macam bentuk, antara lain dengan menahan diri untuk tidak berkata
untuk menyakiti orang lain, tidak berkata bohong, dan tidak mengeluarkan
kata-kata yang tidak berguna.[28]
d.
Tindakan yang benar (right action).
Tindakan yang benar ditafsirkan sebagai
cara bekerja yang benar, maka ada dua titik penting yang harus diperhatikan.
Pertama, melihat pekerjaan kita sudah bertentangan dengan hati nurani atau
tidak. Kedua, ketika melakukan pekerjaan kita bisa menjalin harmonis dengan
orang lain atau tidak. Sementara dalam ajaran tradisional diartikan sebagai
larangan melakukan tindak-tindak kejahatan, seperti membunuh, mencuri, dan
tidak menghormati orang yang lebih tua.[29]
e.
Kehidupan yang benar (right livelihood).
Menurut ajaran tradisional Budha, kehidupan
yang benar adalah dengan tidak melakukan tindak kejahatan atau memilih
pekerjaan-pekerjaan yang berlawanan dengan ajaran kebenaran Budha, seperti
mengajarkan materialisme, doa atau keyakinan yang menyimpang, dianggap sebagai
tindakan yang akan merusak kehidupan yang benar.[30]
f.
Usaha yang benar (right effort).
Usaha yang benar memiliki makna
bekerja keras berdasarkan jalan kebenaran Budha. Ada dua titik yang harus kita
gunakan untuk melatih refleksi diri tentang jalan usaha yang benar ini.
Pertama, memandang dunia ini sebagai tempat latihan jiwa. Kedua, untuk
mengetahui apakah tingkat spiritualitas kita meningkat dan berkembang atau
tidak.[31]
g.
Kesadaran yang benar (right mindfulness).
Kesadaran yang benar berbeda dengan
refleksi diri tentang jalan pikiran yang benar (right thought), sebagai
cara mengontrol apa yang kita pikirkan dan memeriksa setiap pikiran-pikiran
yang muncul dalam kepala. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ia dianggap
sebagai kontrol terhadap daya kehendak yang diarahkan pada tujuan-tujuan
tertentu.[32]
h.
Konsentrasi yang benar (right concentration).
Konsentrasi yang benar merupakan
puncak atau jalan terakhir dari delapan mulia, caranya adalah dengan
bermeditasi. Hal ini terkait dengan tujuan tertinggi agama Budha karena agama
pada dasarnya adalah disiplin konsentrasi spiritual.[33]
Secara
singkat, kedelapan jalan kebenaran itu terdiri dari tiga dimensi :
a.
Kebijaksanaan (prajna), dimensi ini terdiri dari
Pandangan yang benar (right view) dan Pikiran yang benar (right
intent).
b.
Moralitas (sila), dimensi ini terdiri dari
Perkataan yang benar (right speech), Tindakan yang benar (right
action), dan Kehidupan yang benar (right livelihood).
c.
Disiplin mentalitas (samadhi), dimensi ini terdiri
dari Usaha yang benar (right effort), Kesadaran yang benar (right
mindfulness), dan Konsentrasi yang benar (right concentration).[34]
D. Analisis Tasawuf
dalam ajaran Empat Kebajikan Kebenaran.
Walaupun empat kebaikan kebenaran
sebenarnya dianggap sebagai faham fiosofis Budha. Namun, menurut hemat penulis
disamping memiliki sisi filosofis, ajaran tersebut juga mempunyai sisi
spiritualitas tak kalah besar. Oleh sebab itu, tasawuf tentunya sangat
representatif untuk melihat dan menerawang empat ajaran Budha tersebut. Berikut
analisis yang bisa dipaparkan penulis
dalam beberapa konsep Budha itu:
1.
Konsep Penderitaan (Dukha).
Budha
menyimpulkan bahwa kehidupan merupakan suatu penderitaan. Semua yang terkait dengan
dunia, kelahiran, mati dan lain-lain adalah penderitaan. Dalam pemikiran
masyarakat umum, hal tersebut adalah sesuatu yang paradoks. Bagaimana tidak,
kehidupan merupakan sebuah kebahagiaan yang dimiliki manusia. Mungkin inilah
dasar perbedaan antara pemikiran Budha dengan manusia pada umumnya.
Dalam perjalanan
spritualnya dalam mencari kebenaran, ia tidak menemukan kebenaran yang
dicarinya lewat asketisme. Dia tidak puas dengan cara-cara rahib Hindu dalam
menyikapi hidup. Oleh sebab itu, ia memilih jalan tengah (middle way)
antara asketisme, yang ia anggap tidak ada gunanya dan kesenangan kehidupan
dunia. Inilah yang menjadi penentu konsep empat kebajikan kebenarannya,
terutama konsep dukha ini.
Secara
sufistik, -- menurut penulis-- Budha itu bisa dikategorikan sebagai sufi yang moderat.
Tidak menyikapi hidup dengan asketik secara total, tetapi juga menggunakan
keduniaan ala kadarnya. Ia tetap mengadakan kedekatan sosial pada orang lain.
Inilah contoh sufi yang sesuai dengan pemahaman agama.
Dalam
konsep dukhanya, ia mencoba mendeskripsikan penderitaan yang ia maksud
bukanlah sebagai tindakan asketis total, tetapi lebih memandang dunia sebagai
cobaan dan deritanya harus dihadapi. Hal ini tentunya juga mempunyai banyak
persamaan dengan para pelaku tasawuf (sufi) dalam memandang hakikat hidup.
Mereka melihat kehidupan sebagai bentuk cobaan yang manusia harus bisa
menanggulanginya. Namun, pandangan terhadap kehidupan niscaya berbeda antara
sufi dan Budha
Sufi bukanlah orang yang menganggap dunia ini
sebagai penderitaan. Dunia ini adalah ciptaan Allah yang tidak pantas dianggap
sebagai tempat penderitaan. Ia hanyalah sebagai lintasan pendek untuk mencapai
kebahagian akhirat. Perbedaan tersebut menurut penulis bersumber dari ajaran
Budha itu sendiri yang hanya berkonstruksi filosofis, tanpa disertai akar
teologis. Tentunya hal ini berbeda dengan sufi yang memasukkan unsur-unsur
teologis dalam penerapan tasawuf mereka.
Para
sufi niscaya memiliki perspektif berbeda dalam memandang dunia. Dengan memakai
kaca mata terbalik itulah metode mereka. Kelahiran umpama, dia bukan hanya menjadi
rahmat sebagaimana dipahami masyarakat awam, akan tetapi juga menjadi cobaan.
Apakah sang hamba masih bisa beribadah atau tidak pada Tuhan setelah itu. Begitu
pula kematian, bukan sebatas sebagai cobaan sebagaimana dimengerti komunitas
awam, tetapi juga sebagai rahmat karena setelah itu mereka akan menghadap pada Tuhan
yang dinanti-nantikannya.
2.
Konsep Penyebab penderitaan (Samudaya).
Dalam
konsep ini, nampaknya Budha lebih menekankan agar manusia menyadari bahwa
keinginan atau hawa nafsu merupakan sebab dari penderitaan yang dialami
manusia. Dari itu Budha mengisyaratkan
penekanan secara komprehensif untuk meleburkan keinginan.
Dalam
persektif sufi pada khususnya dan kalangan muslim pada umumnya keinginan atau
nafsu memang menjadi musuh utama. Ia niscaya menjadi musuh yang mencelakakan
dan harus diwaspadai. Nafsu menimbulkan petaka yang amat besar dan sukar
dihindari. Ulama menyebut dua macam sebab mengapa manusia harus waspada pada
hawa nafsu sebagaimana dikutip Al-Ghazali, yaitu:
a.
Karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam.
b.
Karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai.[35]
Sidharta
pada hal ini menyebutnya sebagai penyebab penderitaan, sebab memang pada
dasarnya keinginan seseorang menimbulkan kerusakan. Hal ini juga nampaknya
diiyakan oleh banyak ahli tasawuf, sebab memang ittibā’ul hawā’ adalah
salah satu perbuatan tercela. Sehingga Ali bin Abi Thalib berkata “Sesungguhnya
sesuatu yang paling menakutkan adalah ittibā’ul hawā’ dan tūl amal. Ittibā’ul hawā’ dapat mencegah dari perbuatan haq dan tūl
amal dapat melupakan akhirat, kecuali bila dunia dipindah di belakang orang
itu dan akhirat ditaruh didepan orang tersebut”[36]
Tidak
semua keinginan bisa menyerang manusia. Tergantung manusia tersebut bisa
menghadapinya atau tidak. Apakah nafsu itu menguasainya ataukah ia yang menguasai
nafsu. Dalam tasawuf terdapat tiga tingkatan jiwa (nafs) yang dimiliki
manusia, ketiga jiwa itu adalah :
a.
Nafs Ammārah, yakni suatu tingkatan rohani yang masih cenderung mengikuti panggilan
hawa nafsu. Ia masih bisa terpengaruh godaan syaitan. Nafsu inilah yang
dimiliki mayoritas orang.
b.
Nafs Lawwāmah, yakni suatu tingkatan rohani yang sudah lebih tinggi karena kebiasan
mawas diri, mengkoreksi kealpaan diri, meneliti diri sendiri, dan memeriksa
dengan cermat serta selalu membuat perhitungan timbal balik antara kesalahan
dirinya dibandingkan dengan amal salehnya. Ia merasa bersuka cita dan menyesal
dan menyesal dalam keburukannya dan sebaliknya merasa senang dan tenang apabila
ia berbuat kebaikan.
c.
Nafs Mutmainnah, yakni jiwa yang tenang tentram dalam kebaikan. Apabila seseorang sudah
demikian terlatih dengan tingkat kerohanian yang kedua di atas, suka menegor
diri sendiri apabila terpeleset dalam kemungkaran, akhirnya dapatlah berkenalan
mengerjakan kebaikan dan selalu terjauh dari keburukan karena kewaspadaanya,
maka boleh dikatakan dia telah mencapai tempat kerohanian yang luhur.[37]
Tak
dapat dipungkiri bahwa konsep nafsu sebagai pembawa malapetaka memang tidak ada
perbedaan pada masing-masing. Baik dari Budha maupun sufi sama-sama menyimpukan
nafsu sebagai sumber penderitaan. Dalam hal ini, Sidharta memang memiliki sisi
spiritual ataupun filosofis yang cukup excellent dalam menyikapinya.
Pandangan tersebut terimplementasikan dalam salah satu ajarannya ini.
3.
Pemadaman (nirodha).
Tahapan
ini Budha sepertinya mendorong manusia agar menghentikan laju penderitaan
manusia dengan cara pemadaman hawa nafsunya tersebut. Baik dengan pembuangan
keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannya dari
dirinya, dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.
Nampaknya
metode Budha tersebut, yakni nirwana hampir mirip dengan cara sufi
menghilangkan nafsunya. Banyak kaum sufi mengekang hasratnya dari keduniaan dan
pemadaman nafsu. Salah satu sufi, Abu Ya’qub al-Susi mendefinisikan sufi
sebagai orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya
dan tidak mengikuti hawa nafsunya.[38]
Dalam
dunia sufi, berbagai macam cara dilakukan untuk meredam nafsu yang menyeruak di
badan. Ulama menyebutkan cara untuk menghilangkan nafsu ada tiga macam
sebagaimana dikutip al-Ghazali, yakni:
a.
Mengekang keinginan, sebab binatang binal akan lemah akan
lemah bila dikurangi makannya.
b.
Dibebani dengan beribadah, sebab keledai pun jika
ditambah bebannya dan dikurangi makannya akan tunduk dan menurut.
c.
Berdoa dan memohon petolongan Allah.[39]
Lepas
dari tatanan teologis, metode al-Ghazali tersebut sebenarnya hampir sama dengan
cara Budha memadamkan keinginannya. Walaupun terdapat sedikit perbedaan yang
diakibatkan perbedaan teologi. Hal itu dapat dimaklumi, sebab Budhisme memang
pada dasarnya cuma sekedar faham fiosofis dan dianggap tidak merujuk pada suatu
agama. Namun, secara kerohanian mereka
punya metode yang sama, yakni mengekang dan membuang nafsu yang tidak ada
manfaatnya tersebut.
Dalam organisasi
sufisme, yakni thariqah sebenarnya sudah dilaksanakan berbagai macam
bentuk peleburan hawa nafsu serta memadamkan pikiran keduniaan. Ada beberapa
bentuk isi dan sistem thariqah yang harus dilakukan sālik (orang
yang suluk), yakni:
a.
Dzikir, yakni duduk tafakur di kamar gelap seorang diri
dalam keadaan tidak boleh kenyang. Dzikir dibagi menjadi tiga tingkat : Dzikir
lisan, dzikir qalbu, dan dzikir sirr (rahasia).
b.
Beratib, yakni mengucapkan dzikir “Lā ilāha illallāh”
dengan gerak-gerak badan tertentu.
c.
Bemuzik, membaca wirid-wirid, syair-syair dengan iringan
rebana.
d.
Menari, dilakukan oleh ahli thariqat dalam tata cara
khusus, berupa tarian dzikir.
e.
Bernafas, mengatur nafas seraya berdzikir. Berusaha memperlambat
nafas, tetapi memperbanyak dzikir.
f.
Bersenam, yakni mengucapkan tahlil sambil berdiri dan
bergerak secara literatur sesuai dengan yang ditentukan oleh masing-masing thariqah.[40]
Sementara
dalam paradigma sufisme lainnya terdapat istilah fanā’ dan baqā’
untuk peleburan nafsu. Fanā’ disebutkan sebagai hilangnya semua
keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala
perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat
membedakan sesuatu dengan sadar, dan dia telah menghilangkan semua kepentingan
dalam ia berbuat sesuatu. Selanjutanya akan muncul sifat baqā’, yaitu
hilangnya segala sesuatu pada dirinya, dan menetapkan (mengekalkan) sesuatu
bagi Allah pada dirinya.[41]
4.
Jalan mengakhiri Penderitaan (marga).
Dalam
jenjang yang keempat ini Budha menyebutkan delapan tingkatan untuk mengakhiri penderitaan. Dari kedelapan pembagian ini akan diperoleh kebahagiaan.
Puncak dari kedelapan langkah itu adalah bermeditasi,
sehingga akan diperoleh ketentraman hati.
Dalam hal ini, kita harus mengakui Budha sebagai orang yang sangat bijak
untuk mencetuskan konsep pencerahannya ini. Apa yang diajarkan Budha pada
murid-muridnya tersebut memang sangat mengandung sisi spiritual maupun sosial yang
baik. Sebuah pemahaman yang tentunya bisa membangun jasmani maupun rohani
manusia ke arah kebaikan.
Meditasi,
sebagaimana yang dilakukan Budha tersebut tentunya juga dilakukan oleh para
ahli Tasawuf untuk mendekatkan diri pada rabbnya. Sehingga dalam praktek
sufi sering disebut sebagai proses uzlah, yakni pergi meninggalkan
keramaian duniawi ke tempat yang sepi dari hiruk-pikuk manusia. Dari hal itu
akan didapatkan kemajuan spiritual, ketenangan batin, serta menghilangkan
ketergantungan pada dunia. Hal tersebut kiranya pula yang menjadi tujuan
meditasi agama Budha.
Delapan
ajaran Budha tersebut bisa dibilang kebanyakan sudah diaplikasikan oleh para
ahli tasawuf, sebab banyak dari hal itu sinergis dengan asas-asas dalam
tasawuf. Dari mulai pandangan yang benar sampai konsentrasi yang benar bertebar
benih-benih ketasawufan, sehingga memang delapan langkah itu sejalan dengan
inti ajaran tasawuf. Selain itu, delapan
jalan itu juga mengandung sisi filosofis dan sosial yang tak kalah baiknya.
Sementara
dalam tasawuf sendiri sebenarnya ada konsep tentang tingkatan-tingkatan untuk
mencapai derajat tinggi di hadapan Allah, yakni maqāmāt. Maqāmāt
adalah jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi yang berisi
stasiun-stasiun. Selain itu, terdapat pula ahwāl sebagai keadaan mental,
seperti perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Ahwāl berbeda
dengan maqāmāt, ia bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat
sebagai anugerah dan rahmat Tuhan. Ahwāl bersifat sementara, datang dan
pergi; datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mencari Tuhan.[42]
Para
ahli Tasawuf menyebutkan tingkatan-tingkatan maqāmāt secara berbeda-beda. Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi dalam bukunya al-Ta’āruf
li Madzhab ahl-Tasawwuf misalnya menyebutkan sebagai berikut :
a.
Taubat.
b.
Zuhud.
c.
Sabar.
d.
Kefakiran.
e.
Kerendahan hati.
f.
Taqwa.
g.
Tawakkal.
h.
Ridlo.
i.
Cinta.
j.
Makrifat.
Sementara Abu Nasr
al-Sarraj al-Thusi dalam al-Lummā’ menyebutkan :
a.
Tobat.
b.
Wara’.
c.
Zuhud.
d.
Kefakiran.
e.
Sabar.
f.
Tawakal.
g.
Ridlo.
Abu Hamid
al-Ghazali mengatakan dalam Ihyā’ Ulumuddin sebagai berikut
a.
Tobat.
b.
Sabar.
c.
Kefakiran.
d.
Zuhud.
e.
Tawakkal.
f.
Cinta.
g.
Makrifat.
h.
Kerelaan.[43]
Adapun Ahwāl
secara biasa adalah takut, rendah hati, patuh, ikhlas, rasa berteman,
gembira hati, dan syukur.[44]
Dari hal tersebut di atas, jalan yang dilalui seorang sufi tidaklah licin dan
dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari satu stasiun ke stasiun yang lain tentunya
menghendaki usaha yang berat dan waktu yang relatif lama. Hal itu juga kiranya
yang menimpa Budha untuk sampai pada tingkatan yang tertinggi asthavida.
E. PENUTUP
Pada dasarnya seluruh agama mengajarkan kebaikan, yang
berbeda hanyalah sistem teologi yang dimiliki. Antara satu dengan yang lain
menyuruh setiap umatnya melakukan kebaikan, baik secara vertikal maupun
horizontal. Tak dapat dipungkiri, munculnya agama dapat dikatakan sebagai
“obat” atas “penyakit” moral yang dimiliki masing-masing umat.
Dalam
ajaran Sidharta, rasa spiritualitasnya sebenarnya pantas diacungi jempol.
Ajarannya banyak menekankan penghapusan hawa nafsu serta dapat membangun sisi rohani
manusia. Pengajarannya bagi pemeluknya dianggap sebagai bentuk mutiara hikmah
yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Wallāhu a’lam bi al-Sawāb
[1] Tasawuf
berasal dari kata sufi, sementara
asal kata sufi sendiri para intelektual berbeda-beda dalam memaknainya.
Diantaranya adalah ahl al-suffah (asketisme zaman nabi), saf
(barisan), safa (suci), dan lain-lain. Lihat Harun Nasution, Falsafah
dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 43-44.
[2] Fadhalalla
Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia (Yogyakarta: Pustaka
Sufi, 2003), hlm. 5.
[3] Trilogi
Agama merupakan konsep yang bersumber dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan muslim dalam kita sahihnya. Disana diceritakan tentang malaikat
Jibril yang bertanya pada Nabi tentang makna iman, islam, dan ihsan. Nabi pun
bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lihat CD Mausu’ah al-Hadis
al-Syarifah, Shahih Bukhari no. Hadis 48, 4404, Sahih Muslim no. Hadis 10,
11, dan lain-lain. Dari hal itu, Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa ihsan
dipandang sebagai akar tumbuhnya Tasawuf. Lihat Atang Abdul Hakim dan Jaih
Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
152.
[5] Michael H.
Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta:
Pustaka Jaya, 1997), 48.
[6]Sir
Norman Anderson, The World Religion (Grand Rapids: Eerdmans dan
Leicester: IVIP, 1987), hlm. 171.
[7] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha : Jalan Menuju Pencerahan,
terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: Saujana, 2004), hlm. 15-19.
[11] Djam’annuri (Ed.), Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 64.
[14] Mariasusai
Dhavamony, Fenomenologi Agama, terj. Terj. Sudiarja (Yogyakarta:
Kanisius, 1996), hlm. 309.
[16] Huston
Smith, Agama-Agama Manusia, terj. Saafreudin Bahar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm.
130.
[18] Moh. Arifin, Menguak Ajaran-Ajaran..., hlm. 100.
[19] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha..., hlm. 56.
[22] H. Byron
Earhart (Ed.), Religious Traditions of The World (California: Harper
Collins Pubbliser, 1993), hlm.908.
[36] Ibnu Jauzi, Sifat al-Shafwah juz I, CD Room Maktabah Syamilah,
Pustaka Ridwan, hlm. 55.
[37] Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin
(Surabaya: Bina Ilmu, 1980), hlm. 55-56.
[38] Pokja Akademik, Akhlaq/ Tasawuf (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm.
31.
[41] Abu Bakar M.
al-Kalabazi, Ajaran-Ajaran Sufi, terj. Nasir Yusuf (Bandung: Ganesha,
1995), hlm. 175.
Terima kasih gan, mMenambah pengetahuan tentang Sufi
BalasHapus