QUR'ANIC STUDIES HADITH STUDIES GENERAL KNOWLEDGE
ISLAMIC NEWS GENERAL NEWS SCHOLARSHIP NEWS
HAPPY STORY SAD STORY CERPEN
MY PROFILE MY VILLAGE YOGYAKARTA

Jumat, 13 Januari 2012

Konsep Penderitaan dalam Perspektif Budha (Tinjauan Tasawuf)

A.  Pendahuluan
Dalam dunia ini, manusia tak jarang mendapatkan hal yang tidak diinginkan dan menyakitkan. Berbagai probematika menghadang dalam diri setiap individu yang menghirup udara di atas bumi ini. Kadang permasalahan itu bukan hanya muncul dari dirinya sendiri, tetapi kadang juga muncul dari alam yang menaunginya. Banjir, gunung meletus, gempa bumi merupakan beberapa diantaranya. Semuanya berkombinasi sebagai hiasan dunia, sebab manusia hidup di dunia ini pada hakikatnya adalah untuk menghadapi permasalahan-permasalahan tesebut.
Dalam agama Budha, Sidharta Gautama dianggap sebagai manusia yang paling memiliki hikmat dan kebijaksanaan. Sebagai founder dari agama Budha tentunya ia menjadi panutan bagi umatnya. Namun, apabila kita mendalami ajarannya, maka akan kita temukan konsep penderitaan yang ia eksplorkan. Kebenaran-kebenaran-kebenaran tentang penderitaan tersebut terangkum dalam empat kebajikan kebenaran (four noble truth).
Dalam Islam sendiri konsep semacam itu banyak dibahas dalam salah satu cabang ilmu besar Islam, yakni mistisisme Islam (tasawuf).[1] Didalamnya sufi (pelaku tasawuf) mengidentikkan dirinya dengan penekanan hawa nafsu di dunia ini. Hal ini identik dengan penderitaan di dunia. Mereka menganggap dunia hanyalah sebuah fatamorgana yang hanya menjadi tempat berteduh sementara. Hidup mereka hanya digunakan untuk Allah dan perilaku mereka penuh dengan kearifan, sehingga al-Suyuthi berkata “Seorang sufi adalah seseorang yang terus-menerus melakukan penyucian dalam berhubungan dengan Allah dan berbuat baik terhadap makhluk”.[2]   
Maka dalam tulisan ini akan sedikit dibicarakan mengenai konsep penderitaan Budha, serta analisis Tasawuf sebagai penjabaran salah satu trilogi agama, yakni ihsan dalam memaknainya.[3]  Tentunya pembahasan yang dipakai tidak menggunakan pendekatan perbedaan teologis, tetapi memakai aspek spiritualitas masing-masing. Pembahasan pertama mengenai historisitas Budha untuk mengetahui jalan pikirannya. Kemudian dilanjutkan pemaparan konsep penderitaan yang dia ajarkan. Ketiga, konsep tersebut akan dianalis dengan perspektif tasawuf.

B.  Perjalanan Hidup Sidharta Gautama.
            Sidharta Gautama (hidup 560 S.M. s/d. 480 S.M.) merupakan seorang pangeran kerajaan, yang dibesarkan di dalam istana yang mewah di perbatasan Nepal. Dia adalah putra Raja Magandha bernama Suddodhana. Dalam kehidupannya di istana, Sidharta mempunyai istri yang bernama Gopa dan anak laki-laki yang mempunyai nama Rahula. Mereka hidup dalam kenikmatan istana yang serba mewah.[4] 
            Akan tetapi setelah itu, hatinya justru terpaut dengan realitas di luar. Ia menengok ke luar dari dirinya sendiri dan menemukan orang-orang yang menderita dan menemukan realita-realita penderitaan dalam berbagai bentuk. Tentunya hal tersebut membuatnya berempati, bersimpati dan kemudian mengambil aksi. Orang miskin yang terkapar di jalan, yang hari demi hari menjangkau kebutuhan hidup yang tak terjangkau, orang yang tertimpa penyakit yang tak kunjung sembuh, dan akhirnya orang-orang yang menangis meratapi kematian saudara mereka menghiasi pandangan Sidharta. Sementara orang kaya pun juga mengalami hal demikian, rasa tak puas, was-was, dan gelisah, kecewa dan murung karena dihantui berbagai macam penyakit setiap waktu dapat membawa ke liang lahat. Itulah sebagian penderitaan orang kaya.[5]
Semuanya menyeruak di pikiran Sidharta dan menjadi polemik di dalamnya.
            Pangeran yang berumur 29 tahun itu akhirnya merenung. Ia sadar bahwa semua penderitaan adalah jalan bagi semua orang. Namun, bagaimanakah cara untuk melepaskan dari fakta ini. Ia masuk ke dalam pencarian akan kebenaran, suatu kebenaran yang bersifat filosofis sekaligus praktis. Sidharta muda lalu memutuskan untuk meninggalkan kerajaan dan ingin belajar akan kebenaran.[6] Ryuho Okawa menyebutkan tiga alasan kuat mengapa Budha menyingkir dari kehidupan duniawi, yakni :
a.       Adanya suara bathin yang mendorong untuk melakukannya.
b.      Untuk mencari jawaban yang dicari Budha : empat penderitaan, derita kelahiran, derita masa lalu, derita sakit, dan derita kematian.
c.       Adanya keinginan yang kuat untuk sendiri dan larut dalam perenungan.[7]
              Dia pergi dengan tanpa membawa uang, dengan meninggalkan keluarga, dia pergi dan belajar pada guru terkenal Alara dan Udakka, tetapi ia tidak merasakan kepuasan pada pengajaran mereka. Masa selanjutnya dari pengembaraannya dimulai dengan tindakan ekstrem (asketisme). Ia tinggal di hutan belantara, tubuhnya kurus kering karena makanan yang terbatas. Namun, pada akhirnya ia menyadari bahwa tindakan asketisme yang demikian adalah ilusi belaka, tidak membawa pada realisasi diri.[8]
            Setelah tidak memperoleh hal yang diinginkan, Sidharta kemudian duduk di bawah pohon bodhi. Semalam suntuk ia merenungi nasibnya dan pagi harinya ia tersentak seraya menemukan kebenaran. Di sana, ia menemukan apa yang dicita-citakan, yakni ajaran tentang sebab akibat penderitaan (samsara) dan cara-cara mendapatkan kelepasan yang tersimpan dalam empat pokok pandangan filosofis (empat kebajikan kebenaran/kesunyaataan mulia).[9] Maka setelah itu, dia mendapat julukan Budha atau orang yang mendapat penerangan.
            Pada waktu itu, umurnya menginjak 35 tahun. Sisa umurnya yang 45 tahun dipergunakan berkelana di sepanjang India utara. Ia menyebarkan paham filosofinya pada banyak orang dan akhirnya pengaruhnya pun cepat meluas. Saat ia wafat tahun 483 S.M. sudah ratusan ribu orang memeluk ajarannya. Kemudian ajarannya ditransmisikan secara oral dari satu generasi ke generasi berikutnya.[10] Ajaran-ajarannya dipelihara oleh murid-muridnya secara turun-temurun sampai kemudian ditulis dalam kitab-kitab yang memuat ajaran tersebut pada tahun 80 S.M. Kitab-kitab yang memuat ajaran Budha itu disebut Tripitaka yang artinya “tiga keranjang” atau “tiga kelompok”. Kitab ini terdiri dari Vinaya Pitaka, Sutta Pitaka, dan Abhidhamma Pitaka.[11]  

C.  Konsep Empat Kebajikan Kebenaran.
            Dari pencerahan yang dialami Budha tersebut munculah empat dasar kebenaran dalam agama Budha. Keempatnya bertemakan penderitaan. Penderitaan ini bisa dikatakan sebagai orientasi dasar Budhisme masa dan di tempat manapun.
            Adapun keempat ajaran tersebut adalah sebagai berikut :
1.    Penderitaan (Dukha).
            Dukka adalah penderitaan itu sendiri. Hidup di dunia ini penuh dengan hal-hal yang menyedihkan dan kesengsaraan, maka dapat disimpulkan bahwa hidup itu menderita.[12] Bagi Budha, hidup adalah menderita, Kelahiran adalah penderitaan, umur tua adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, disatukan dengan yang tidak dikasihi adalah penderitaan, tidak mencapai yang diinginkan adalah penderitaan. Sehingga secara singkat, kelima pelekatan pada dunia ini adalah penderitaan.[13] 
            Adapun dukha dalam konteks ajaran Budha itu mempunyai makna mendalam dan luas yang diartikan sebagai rasa sakit, penderitaan, dan lawannya adalah kebahagiaan atau sukha.[14] Dukha mempunyai tiga pengertian, pertama adalah penderitaan biasa (dukha-dukha). Kedua, dukha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (vippar madhuka). Suatu perasaan bahagia yang tidak kekal, cepat, atau lambat berubah, dan perbuatan itu menimbulkan dukha. Ketiga, dukha akibat ketergantungan lainnya (shankara dukha).[15]  
            Sedangkan mengenai kesenangan, sebenarnya Budha sendiri tidak menyangsikan bahwa mungkin sekali manusia memperoleh kesenangan dalam hidup ini, dan kesennagan itu dapat dinikmati.  Namun, ada dua masalah. Pertama, seberapa jauhkah hidup itu dapat dinikmati. Kedua, pada tingkat manakah kenikamatan itu timbul jika memang ia ada dalam diri kita. Sang Budha berpendapat bahwa tingkat kenikmatan itu bersifat supersifisial yang mungkin memadai untuk hewan, tetapi bagi manusia kenikmatan itu akan membawa suatu kekosongan besar, kehampaan, dan rasa putus asa. Atas dasar itu, kesenangan dianggap sebagai kepedihan yang pulas.[16] Dengan demikian, kesenangan pada dasarnya adalah sebuah penderitaan pula.
            Budha mengutip enam peristiwa hidup dimana keterplesetan hidup ini sangat nyata secara menyedihkan. Baik kaya maupun miskin, orang biasa maupun orang berbakat, semuanya mengalami keadaan ini :
a.       Pengalaman menyedihkan (trauma) di waktu lahir. Hal ini meliputi rentetan perasaan sakit, keluar, dan kaget.
b.      Patologi penyakit.
c.       Kemurungan yang timbul kerana menjadi tua.
d.      Ketakutan akan mati.
e.       Terikat pada sesuatu yang ingin kita hindari.
f.       Terpisah dari seseorang yang kita cintai.[17]  

2.    Penyebab penderitaan (Samudaya).
            Budha mensinyalir bahwa “kehausan atau keinginan” (tanha) merupakan sumber segala  penderitaan dan kepedihan hidup. Dia adalah sumber nafsu yang tidak dapat menimbulkan rasa puas manusia selama hidupnya.[18]  Keinginan atau kehausan pada hakikatnya disebabkan oleh ketidaktahuan atau awidya. Ketidaktahuan ini adalah semacam ketidaktahuan yang kosmis, ketidaktahuan yang menjadikan orang dikaburkan pandanganya. Ketidaktahuan ini mengenai tabiat asasi alam semesta yang memiliki 3 ciri mencolok, yakni :
a.       Bahwa alam semesta penuh dengan penderitaan (dukha).
b.      Bahwa alam semesta adalah fana (anitya atau anicca).
c.       Bahwa tiada jiwa di dalam jiwa ini (anatman atau anatta). [19]  
            Keinginan merupakan hal yang tidak dapat dipuaskan secara tuntas. Keinginan ini bisa dikategorisasikan menjadi tiga :
a.       Keinginan untuk mendapatkan kesenangan sensual atau inderawi, semisal keinginan untuk memiliki benda.
b.      Keinginan untuk eksistensi dan menjadi sesuatu, misalnya ingin menjadi seseorang yang berkarakteristik tertentu atau ingin hidup kekal.
c.       Keinginan untuk non eksistensi, yakni kadang kala kita ingin untuk mati, dan kalau bisa memilih untuk tidak lahir di dunia ini.[20]   
   
3.    Pemadaman (nirodha).
            Sebagai manusia, tentunya kita berusaha untuk memenuhi keinginan kita. Namun, secara tidak langsung kita telah melekatkan diri pada penderitaan (dukha). Cara untuk menangulanginya adalah dengan melepaskan atau memadamkan keinginan tersebut dan membiarkannya berlalu.     
            Pemadaman kesengsaraan terjadi dengan penghapusan keinginan secara sempurna yakni dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannya dari dirinya, dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.[21] Dengan kata lain, penghapusan keinginan adalah penghapusan penderitaan, dan penghapusan penderitaan adalah dengan nirwana, pemadaman api kerakusan, kebencian, dan angan-angan.[22]   
            Nirwana sendiri secara literal berarti pemadaman atau pendinginan. Sesuatu yang dipadamkan adalah keinginan, api nafsu, kebencian, dan sebagainya yang ditiadakan. Dalam kitab-kitab Budhis disebutkan bahwa di dalam nirwana segala  samsara ditindas secara sempurna, segala skandha dilarutkan, segala keinginan ditiadakan, demikian pula segala sebab, sehingga seseorang di didalam nirwana mengalami keadaan yang sangat damai. Di lain tempat dikatakan, bahwa nirwana adalah suatu kebahagiaan yang tanpa pengamatan, tanpa perasaan dengan sadar. Di situ ketidaktenangan hidup berakhir, sehingga ada kebahagiaan yang tentu. Juga disebutkan, bahwa nirwana adalah suatu kedaan yang jauh lebih baik dari pada segala kebahagiaan dunia.[23]   

4.    Jalan mengakhiri Penderitaan (marga).
            Cara menghilangkan keinginan itu ada delapan jalan kebenaran (disebut dengan Astavidha). [24] Sakyamuni Budha membentuk delapan poin tersebut untuk dapat memeriksa pikiran dan tindakan manusia.[25] Delapan hal itu adalah :
a.       Pandangan yang benar (right view).
            Secara sederhana, pandangan yang benar adalah memandang dunia tanpa bias, bebas dari segala prasangka, memandang dunia dengan kearifan spiritual. Adapun menurut pengertian tradisional agama Budha, pandangan yang benar dimaknai sebagai cara melihat sesuatu berdasarkan Empat Kebenaran Kebajikan (Kebenaran Penderitaan, Kebenaran Sebab, Kebenaran Kehancuran, dan Kebenaran Jalan) serta menganalisis sesuatu berdasarkan sebab dan akibat.[26]    
b.      Pikiran yang benar (right intent).
            Pikiran yang benar ini adalah dengan mengkaji diri apakah sudah berpikir berdasarkan kebenaran Budha atau tidak. Sementara dalam ajaran tradisional Budha, hal tersebut bermakna jalan penyelesaian terbaik dalam rangka melanjutkan perjalanan menuju pencerahan dan selalu membuat keputusan-keputusan yang tepat dalam kehidupan sehari-hari.[27]
c.       Perkataan yang benar (right speech).
            Perkataan yang benar dilakukan dalam berbagai macam bentuk, antara lain dengan menahan diri untuk tidak berkata untuk menyakiti orang lain, tidak berkata bohong, dan tidak mengeluarkan kata-kata yang tidak berguna.[28]   
d.      Tindakan yang benar (right action).
            Tindakan yang benar ditafsirkan sebagai cara bekerja yang benar, maka ada dua titik penting yang harus diperhatikan. Pertama, melihat pekerjaan kita sudah bertentangan dengan hati nurani atau tidak. Kedua, ketika melakukan pekerjaan kita bisa menjalin harmonis dengan orang lain atau tidak. Sementara dalam ajaran tradisional diartikan sebagai larangan melakukan tindak-tindak kejahatan, seperti membunuh, mencuri, dan tidak menghormati orang yang lebih tua.[29]
e.       Kehidupan yang benar (right livelihood).
            Menurut ajaran tradisional Budha, kehidupan yang benar adalah dengan tidak melakukan tindak kejahatan atau memilih pekerjaan-pekerjaan yang berlawanan dengan ajaran kebenaran Budha, seperti mengajarkan materialisme, doa atau keyakinan yang menyimpang, dianggap sebagai tindakan yang akan merusak kehidupan yang benar.[30]  
f.       Usaha yang benar (right effort).
            Usaha yang benar memiliki makna bekerja keras berdasarkan jalan kebenaran Budha. Ada dua titik yang harus kita gunakan untuk melatih refleksi diri tentang jalan usaha yang benar ini. Pertama, memandang dunia ini sebagai tempat latihan jiwa. Kedua, untuk mengetahui apakah tingkat spiritualitas kita meningkat dan berkembang atau tidak.[31]  
g.      Kesadaran yang benar (right mindfulness).
            Kesadaran yang benar berbeda dengan refleksi diri tentang jalan pikiran yang benar (right thought), sebagai cara mengontrol apa yang kita pikirkan dan memeriksa setiap pikiran-pikiran yang muncul dalam kepala. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa ia dianggap sebagai kontrol terhadap daya kehendak yang diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu.[32]
h.      Konsentrasi yang benar (right concentration).
            Konsentrasi yang benar merupakan puncak atau jalan terakhir dari delapan mulia, caranya adalah dengan bermeditasi. Hal ini terkait dengan tujuan tertinggi agama Budha karena agama pada dasarnya adalah disiplin konsentrasi spiritual.[33]
            Secara singkat, kedelapan jalan kebenaran itu terdiri dari tiga dimensi :
a.       Kebijaksanaan (prajna), dimensi ini terdiri dari Pandangan yang benar (right view) dan Pikiran yang benar (right intent).
b.      Moralitas (sila), dimensi ini terdiri dari Perkataan yang benar (right speech), Tindakan yang benar (right action), dan Kehidupan yang benar (right livelihood).
c.       Disiplin mentalitas (samadhi), dimensi ini terdiri dari Usaha yang benar (right effort), Kesadaran yang benar (right mindfulness), dan Konsentrasi yang benar (right concentration).[34]

D.  Analisis Tasawuf dalam ajaran Empat Kebajikan Kebenaran.
            Walaupun empat kebaikan kebenaran sebenarnya dianggap sebagai faham fiosofis Budha. Namun, menurut hemat penulis disamping memiliki sisi filosofis, ajaran tersebut juga mempunyai sisi spiritualitas tak kalah besar. Oleh sebab itu, tasawuf tentunya sangat representatif untuk melihat dan menerawang empat ajaran Budha tersebut. Berikut  analisis yang bisa dipaparkan penulis dalam beberapa konsep Budha itu:
1.      Konsep Penderitaan (Dukha).
            Budha menyimpulkan bahwa kehidupan merupakan suatu penderitaan. Semua yang terkait dengan dunia, kelahiran, mati dan lain-lain adalah penderitaan. Dalam pemikiran masyarakat umum, hal tersebut adalah sesuatu yang paradoks. Bagaimana tidak, kehidupan merupakan sebuah kebahagiaan yang dimiliki manusia. Mungkin inilah dasar perbedaan antara pemikiran Budha dengan manusia pada umumnya.  
            Dalam perjalanan spritualnya dalam mencari kebenaran, ia tidak menemukan kebenaran yang dicarinya lewat asketisme. Dia tidak puas dengan cara-cara rahib Hindu dalam menyikapi hidup. Oleh sebab itu, ia memilih jalan tengah (middle way) antara asketisme, yang ia anggap tidak ada gunanya dan kesenangan kehidupan dunia. Inilah yang menjadi penentu konsep empat kebajikan kebenarannya, terutama konsep dukha ini.
            Secara sufistik, -- menurut penulis-- Budha itu bisa dikategorikan sebagai sufi yang moderat. Tidak menyikapi hidup dengan asketik secara total, tetapi juga menggunakan keduniaan ala kadarnya. Ia tetap mengadakan kedekatan sosial pada orang lain. Inilah contoh sufi yang sesuai dengan pemahaman agama.
            Dalam konsep dukhanya, ia mencoba mendeskripsikan penderitaan yang ia maksud bukanlah sebagai tindakan asketis total, tetapi lebih memandang dunia sebagai cobaan dan deritanya harus dihadapi. Hal ini tentunya juga mempunyai banyak persamaan dengan para pelaku tasawuf (sufi) dalam memandang hakikat hidup. Mereka melihat kehidupan sebagai bentuk cobaan yang manusia harus bisa menanggulanginya. Namun, pandangan terhadap kehidupan niscaya berbeda antara sufi dan Budha
             Sufi bukanlah orang yang menganggap dunia ini sebagai penderitaan. Dunia ini adalah ciptaan Allah yang tidak pantas dianggap sebagai tempat penderitaan. Ia hanyalah sebagai lintasan pendek untuk mencapai kebahagian akhirat. Perbedaan tersebut menurut penulis bersumber dari ajaran Budha itu sendiri yang hanya berkonstruksi filosofis, tanpa disertai akar teologis. Tentunya hal ini berbeda dengan sufi yang memasukkan unsur-unsur teologis dalam penerapan tasawuf mereka.              
            Para sufi niscaya memiliki perspektif berbeda dalam memandang dunia. Dengan memakai kaca mata terbalik itulah metode mereka. Kelahiran umpama, dia bukan hanya menjadi rahmat sebagaimana dipahami masyarakat awam, akan tetapi juga menjadi cobaan. Apakah sang hamba masih bisa beribadah atau tidak pada Tuhan setelah itu. Begitu pula kematian, bukan sebatas sebagai cobaan sebagaimana dimengerti komunitas awam, tetapi juga sebagai rahmat karena setelah itu mereka akan menghadap pada Tuhan yang dinanti-nantikannya. 

2.      Konsep Penyebab penderitaan (Samudaya).
            Dalam konsep ini, nampaknya Budha lebih menekankan agar manusia menyadari bahwa keinginan atau hawa nafsu merupakan sebab dari penderitaan yang dialami manusia.  Dari itu Budha mengisyaratkan penekanan secara komprehensif untuk meleburkan keinginan.    
            Dalam persektif sufi pada khususnya dan kalangan muslim pada umumnya keinginan atau nafsu memang menjadi musuh utama. Ia niscaya menjadi musuh yang mencelakakan dan harus diwaspadai. Nafsu menimbulkan petaka yang amat besar dan sukar dihindari. Ulama menyebut dua macam sebab mengapa manusia harus waspada pada hawa nafsu sebagaimana dikutip Al-Ghazali, yaitu:
a.       Karena hawa nafsu merupakan musuh dari dalam.
b.      Karena hawa nafsu adalah musuh yang disukai.[35]
            Sidharta pada hal ini menyebutnya sebagai penyebab penderitaan, sebab memang pada dasarnya keinginan seseorang menimbulkan kerusakan. Hal ini juga nampaknya diiyakan oleh banyak ahli tasawuf, sebab memang ittibā’ul hawā’ adalah salah satu perbuatan tercela. Sehingga Ali bin Abi Thalib berkata “Sesungguhnya sesuatu yang paling menakutkan adalah ittibā’ul hawā’  dan tūl amal.  Ittibā’ul hawā’  dapat mencegah dari perbuatan haq dan tūl amal dapat melupakan akhirat, kecuali bila dunia dipindah di belakang orang itu dan akhirat ditaruh didepan orang tersebut”[36]
            Tidak semua keinginan bisa menyerang manusia. Tergantung manusia tersebut bisa menghadapinya atau tidak. Apakah nafsu itu menguasainya ataukah ia yang menguasai nafsu. Dalam tasawuf terdapat tiga tingkatan jiwa (nafs) yang dimiliki manusia, ketiga jiwa itu adalah :
a.       Nafs Ammārah, yakni suatu tingkatan rohani yang masih cenderung mengikuti panggilan hawa nafsu. Ia masih bisa terpengaruh godaan syaitan. Nafsu inilah yang dimiliki mayoritas orang.
b.      Nafs Lawwāmah, yakni suatu tingkatan rohani yang sudah lebih tinggi karena kebiasan mawas diri, mengkoreksi kealpaan diri, meneliti diri sendiri, dan memeriksa dengan cermat serta selalu membuat perhitungan timbal balik antara kesalahan dirinya dibandingkan dengan amal salehnya. Ia merasa bersuka cita dan menyesal dan menyesal dalam keburukannya dan sebaliknya merasa senang dan tenang apabila ia berbuat kebaikan.
c.       Nafs Mutmainnah, yakni jiwa yang tenang tentram dalam kebaikan. Apabila seseorang sudah demikian terlatih dengan tingkat kerohanian yang kedua di atas, suka menegor diri sendiri apabila terpeleset dalam kemungkaran, akhirnya dapatlah berkenalan mengerjakan kebaikan dan selalu terjauh dari keburukan karena kewaspadaanya, maka boleh dikatakan dia telah mencapai tempat kerohanian yang luhur.[37]   
            Tak dapat dipungkiri bahwa konsep nafsu sebagai pembawa malapetaka memang tidak ada perbedaan pada masing-masing. Baik dari Budha maupun sufi sama-sama menyimpukan nafsu sebagai sumber penderitaan. Dalam hal ini, Sidharta memang memiliki sisi spiritual ataupun filosofis yang cukup excellent dalam menyikapinya. Pandangan tersebut terimplementasikan dalam salah satu ajarannya ini.  
3.      Pemadaman (nirodha).
            Tahapan ini Budha sepertinya mendorong manusia agar menghentikan laju penderitaan manusia dengan cara pemadaman hawa nafsunya tersebut. Baik dengan pembuangan keinginan itu, dengan penyangkalan terhadapnya, dengan pemisahannya dari dirinya, dan dengan tidak memberi tempat kepadanya.  
            Nampaknya metode Budha tersebut, yakni nirwana hampir mirip dengan cara sufi menghilangkan nafsunya. Banyak kaum sufi mengekang hasratnya dari keduniaan dan pemadaman nafsu. Salah satu sufi, Abu Ya’qub al-Susi mendefinisikan sufi sebagai orang yang tidak merasa sukar dengan hal-hal yang terjadi pada dirinya dan tidak mengikuti hawa nafsunya.[38]
            Dalam dunia sufi, berbagai macam cara dilakukan untuk meredam nafsu yang menyeruak di badan. Ulama menyebutkan cara untuk menghilangkan nafsu ada tiga macam sebagaimana dikutip al-Ghazali, yakni:
a.       Mengekang keinginan, sebab binatang binal akan lemah akan lemah bila dikurangi makannya.
b.      Dibebani dengan beribadah, sebab keledai pun jika ditambah bebannya dan dikurangi makannya akan tunduk dan menurut.
c.       Berdoa dan memohon petolongan Allah.[39]
            Lepas dari tatanan teologis, metode al-Ghazali tersebut sebenarnya hampir sama dengan cara Budha memadamkan keinginannya. Walaupun terdapat sedikit perbedaan yang diakibatkan perbedaan teologi. Hal itu dapat dimaklumi, sebab Budhisme memang pada dasarnya cuma sekedar faham fiosofis dan dianggap tidak merujuk pada suatu agama.  Namun, secara kerohanian mereka punya metode yang sama, yakni mengekang dan membuang nafsu yang tidak ada manfaatnya tersebut.
            Dalam organisasi sufisme, yakni thariqah sebenarnya sudah dilaksanakan berbagai macam bentuk peleburan hawa nafsu serta memadamkan pikiran keduniaan. Ada beberapa bentuk isi dan sistem thariqah yang harus dilakukan sālik (orang yang suluk), yakni:
a.       Dzikir, yakni duduk tafakur di kamar gelap seorang diri dalam keadaan tidak boleh kenyang. Dzikir dibagi menjadi tiga tingkat : Dzikir lisan, dzikir qalbu, dan dzikir sirr (rahasia).
b.      Beratib, yakni mengucapkan dzikir “Lā ilāha illallāh” dengan gerak-gerak badan tertentu.
c.       Bemuzik, membaca wirid-wirid, syair-syair dengan iringan rebana.
d.      Menari, dilakukan oleh ahli thariqat dalam tata cara khusus, berupa tarian dzikir.
e.       Bernafas, mengatur nafas seraya berdzikir. Berusaha memperlambat nafas, tetapi memperbanyak dzikir.
f.       Bersenam, yakni mengucapkan tahlil sambil berdiri dan bergerak secara literatur sesuai dengan yang ditentukan oleh masing-masing thariqah.[40] 
            Sementara dalam paradigma sufisme lainnya terdapat istilah fanā’ dan baqā’ untuk peleburan nafsu. Fanā’ disebutkan sebagai hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu dengan sadar, dan dia telah menghilangkan semua kepentingan dalam ia berbuat sesuatu. Selanjutanya akan muncul sifat baqā’, yaitu hilangnya segala sesuatu pada dirinya, dan menetapkan (mengekalkan) sesuatu bagi Allah pada dirinya.[41]          
   
4.      Jalan mengakhiri Penderitaan (marga).
            Dalam jenjang yang keempat ini Budha menyebutkan delapan tingkatan untuk mengakhiri  penderitaan. Dari kedelapan  pembagian  ini akan diperoleh kebahagiaan.
Puncak dari kedelapan langkah itu adalah bermeditasi, sehingga akan diperoleh ketentraman hati.  Dalam hal ini, kita harus mengakui Budha sebagai orang yang sangat bijak untuk mencetuskan konsep pencerahannya ini. Apa yang diajarkan Budha pada murid-muridnya tersebut memang sangat mengandung sisi spiritual maupun sosial yang baik. Sebuah pemahaman yang tentunya bisa membangun jasmani maupun rohani manusia ke arah kebaikan.
            Meditasi, sebagaimana yang dilakukan Budha tersebut tentunya juga dilakukan oleh para ahli Tasawuf untuk mendekatkan diri pada rabbnya. Sehingga dalam praktek sufi sering disebut sebagai proses uzlah, yakni pergi meninggalkan keramaian duniawi ke tempat yang sepi dari hiruk-pikuk manusia. Dari hal itu akan didapatkan kemajuan spiritual, ketenangan batin, serta menghilangkan ketergantungan pada dunia. Hal tersebut kiranya pula yang menjadi tujuan meditasi agama Budha.  
            Delapan ajaran Budha tersebut bisa dibilang kebanyakan sudah diaplikasikan oleh para ahli tasawuf, sebab banyak dari hal itu sinergis dengan asas-asas dalam tasawuf. Dari mulai pandangan yang benar sampai konsentrasi yang benar bertebar benih-benih ketasawufan, sehingga memang delapan langkah itu sejalan dengan inti ajaran tasawuf.  Selain itu, delapan jalan itu juga mengandung sisi filosofis dan sosial yang tak kalah baiknya.    
            Sementara dalam tasawuf sendiri sebenarnya ada konsep tentang tingkatan-tingkatan untuk mencapai derajat tinggi di hadapan Allah, yakni maqāmāt. Maqāmāt adalah jalan panjang yang harus ditempuh seorang sufi yang berisi stasiun-stasiun. Selain itu, terdapat pula ahwāl sebagai keadaan mental, seperti perasaan sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Ahwāl berbeda dengan maqāmāt, ia bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi diperdapat sebagai anugerah dan rahmat Tuhan. Ahwāl bersifat sementara, datang dan pergi; datang dan pergi bagi seorang sufi dalam perjalanannya mencari Tuhan.[42]
            Para ahli Tasawuf menyebutkan tingkatan-tingkatan maqāmāt secara berbeda-beda.  Abu Bakar Muhammad al-Kalabazi dalam bukunya al-Ta’āruf li Madzhab ahl-Tasawwuf misalnya menyebutkan sebagai berikut :
a.       Taubat.
b.      Zuhud.  
c.       Sabar.
d.      Kefakiran.
e.       Kerendahan hati.
f.       Taqwa.
g.      Tawakkal.
h.      Ridlo.
i.        Cinta.
j.        Makrifat.
Sementara Abu Nasr al-Sarraj al-Thusi dalam al-Lummā’ menyebutkan :
a.       Tobat.
b.      Wara’.
c.       Zuhud.
d.      Kefakiran.
e.       Sabar.
f.       Tawakal.
g.      Ridlo.
Abu Hamid al-Ghazali mengatakan dalam Ihyā’ Ulumuddin sebagai berikut
a.       Tobat.
b.      Sabar.
c.       Kefakiran.
d.      Zuhud.
e.       Tawakkal.
f.       Cinta.
g.      Makrifat.
h.      Kerelaan.[43]
            Adapun Ahwāl secara biasa adalah takut, rendah hati, patuh, ikhlas, rasa berteman, gembira hati, dan syukur.[44] Dari hal tersebut di atas, jalan yang dilalui seorang sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah dari satu  stasiun ke stasiun yang lain tentunya menghendaki usaha yang berat dan waktu yang relatif lama. Hal itu juga kiranya yang menimpa Budha untuk sampai pada tingkatan yang tertinggi asthavida.

E.  PENUTUP
            Pada dasarnya seluruh agama mengajarkan kebaikan, yang berbeda hanyalah sistem teologi yang dimiliki. Antara satu dengan yang lain menyuruh setiap umatnya melakukan kebaikan, baik secara vertikal maupun horizontal. Tak dapat dipungkiri, munculnya agama dapat dikatakan sebagai “obat” atas “penyakit” moral yang dimiliki masing-masing umat. 
            Dalam ajaran Sidharta, rasa spiritualitasnya sebenarnya pantas diacungi jempol. Ajarannya banyak menekankan penghapusan hawa nafsu serta dapat membangun sisi rohani manusia. Pengajarannya bagi pemeluknya dianggap sebagai bentuk mutiara hikmah yang harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Wallāhu a’lam bi al-Sawāb


[1] Tasawuf berasal  dari kata sufi, sementara asal kata sufi sendiri para intelektual berbeda-beda dalam memaknainya. Diantaranya adalah ahl al-suffah (asketisme zaman nabi), saf (barisan), safa (suci), dan lain-lain. Lihat Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hlm. 43-44.  
[2] Fadhalalla Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. Tim Forstudia (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 5. 
[3] Trilogi Agama merupakan konsep yang bersumber dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan muslim dalam kita sahihnya. Disana diceritakan tentang malaikat Jibril yang bertanya pada Nabi tentang makna iman, islam, dan ihsan. Nabi pun bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Lihat CD Mausu’ah al-Hadis al-Syarifah, Shahih Bukhari no. Hadis 48, 4404, Sahih Muslim no. Hadis 10, 11, dan lain-lain. Dari hal itu, Said Agil Siradj mengungkapkan bahwa ihsan dipandang sebagai akar tumbuhnya Tasawuf. Lihat Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 152.      
[4] Moh. Arifin, Menguak Ajaran-Ajaran Agama Besar (Jakarta: Golden teravon Press, 1997), hlm. 94.
[5] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997), 48.
[6]Sir Norman Anderson, The World Religion (Grand Rapids: Eerdmans dan Leicester: IVIP, 1987), hlm. 171.  
[7] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha : Jalan Menuju Pencerahan, terj. Inyiak Ridwan Muzir (Yogyakarta: Saujana, 2004), hlm. 15-19.
[8] Sir Norman Anderson, The World Religion..., hlm. 171.
[9] Moh. Arifin, Menguak Ajaran-Ajaran..., hlm. 94.
[10] Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang..., hlm. 49.
[11] Djam’annuri (Ed.), Agama Kita: Perspektif Sejarah Agama-Agama (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 64.
[12] Moh. Arifin, Menguak Ajaran-Ajaran..., hlm. 97.  
[13] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 55.
[14] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, terj. Terj. Sudiarja (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 309.
[15] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 228.
[16] Huston Smith, Agama-Agama Manusia, terj. Saafreudin Bahar  (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), hlm. 130.
[17] Huston Smith, Agama-Agama Manusia..., hlm. 132-133.
[18] Moh. Arifin, Menguak Ajaran-Ajaran..., hlm. 100.
[19] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha..., hlm. 56.
[20] Rupert Gethin, The Fondations of Budhism (New York: Oxford University Press, 1998), hlm. 70. 
[21] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha..., hlm. 55.
[22] H. Byron Earhart (Ed.), Religious Traditions of The World (California: Harper Collins Pubbliser, 1993), hlm.908. 
[23] Harun Hadiwijoyo, Agama Hindu dan Budha..., hlm. 63.
[24] Moh. Arifin, Menguak Ajaran-Ajaran..., hlm. 97.
[25] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 50.
[26] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 55-57.
[27] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 58-60. 
[28] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 61-63.
[29] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 64-66.
[30] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 68-70.
[31] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 71-73.
[32] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 74-75.
[33] Ryuho Okawa, Hakikat Ajaran Budha..., hlm. 77-79.
[34] Ed. H. Byron Earhart, Religious Traditions of The World..., hlm. 909.
[35] Al-Ghazali, Minhajul Abidin, terj. Abul Hiyadh (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 117.
[36] Ibnu Jauzi, Sifat al-Shafwah juz I, CD Room Maktabah Syamilah, Pustaka Ridwan, hlm. 55.
[37] Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), hlm. 55-56.
[38] Pokja Akademik, Akhlaq/ Tasawuf  (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2005), hlm. 31.
[39] Al-Ghazali, Minhajul Abidin... hlm. 119.
[40] Hamzah Ya’qub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin..., hlm. 41-42.
[41] Abu Bakar M. al-Kalabazi, Ajaran-Ajaran Sufi, terj. Nasir Yusuf (Bandung: Ganesha, 1995), hlm. 175.
[42] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam..., hlm. 48-49.
[43] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam..., hlm. 48.
[44] Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam..., hlm. 49.

1 komentar:

Butuh buku "Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan" karya Aksin Wijaya? Hubungi 085729455365
Original From : http://m-wali.blogspot.com/2011/12/cara-pasang-iklan-di-samping-kiri-blog.html#ixzz1eavJZnQj